Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Masalah dan emosional

 Masalah sering dipersepsikan tidak baik bagi sebagian orang. Dengan persepsi ini mereka begitu berat menghadapinya. Perasaan tidak nyaman dan persepsi tidak baik tersebut membuat tidak mudah menemukan solusinya. Emosi yang berperan besar karena persepsi yang tidak baik itu tidak membuka pikiran untuk menemukan logika sehat sebagai solusi, yang muncul adalah solusi berdasarkan emosi. Contoh masalah yang biasa adalah karyawan yang jauh dari lokasi kerja sering terlambat, dan diperingatkan oleh atasannya. karyawan menjawab dengan anggukan dan besoknya pun masih terlambat.

Karyawan itu menganggap bahwa masalah itu sebagai hal biasa dan meminta memaklumkan keterlambatannya. Bahkan dalam hatinya,"atasan saya nggak mau tahu alasan saya terlambat". Jawaban ini merupakan tingkat kesulitan karyawan untuk menyelesaikan masalah, yang jika ditelusuri keterlambatannya adalah karena merasa tidak termotivasi lagi. Ujung-ujungnya karyawan menganggap  gaji saya udah nggak cukup. Mestinya keterlamatan dihukum, maka harapannya kalau datang lebih awal dapat tambahan dong. Masalah yang tadi sederhana soal keterlambataan merambat menjadi besar karena berpikir secara emosional.

Bagaimana dengan atasannya ? Kalau bisa tidak mau pusing, bisa aja memberi surat peringatan dan dilanjutkan dengan ceramah yang tak didengar oleh karyawan. Atau bisa jadi terus mengingatkan dan agar memberi efek jera, maka seringkali memotong insentif. Solusi yang tidak memberi solusi terbaik, bahkan solusi ini dan respon karyawan seperti lingkaran setan yang tidak pernah berujung. Solusi ini pun berindikasi dominannya emosional dalam mengambil keputusan.

Tetapi apakah semua solusi yang didominasi oleh emosional ini tidak berdampak positif ? Bisa juga solusi itu menyelesaikan masalah. Ada karyawan yang takut karena atasannya jadi tidak terlambat lagi. Karyawan sih masuk lebih awal, tapi itu semua dilakukan dengan terpaksa. Perasaan takut dipecat, takut dikurangi pendapatannya, dan tidak dipercaya mendasari keterlambatannya. Bagus nggak ? Bisa bagus saat karyawan menyadari semua itu menjadi awal untuk berubah dan semakin hari menjadi tidak terlambat dengan merasakan manfaatnya. Kalau tidak merasakan manfaatnya, maka menjadi berdampak kepada kerja yang tidak optimal. Kerja dengan perasaan takut dan sebagainya dan jarang ada produktivitas. Padahal perusahaan membutuhkan produktivitas. 

Masalah ini mesti didudukkan dengan mencari akar masalahnya. BUKAN mencari solusi berdasarkan keterlambatan saja. Ada penyebab dari keterlambatan tersebut ? Disini perlu ada komunikasi karyawan dan atasan. Misalkan saja atasan memberi kepercayaan kepada karyawan untuk memberikan pekerjaan yang besar, dimana datang lebih awal itu menjadi bagian dari kepercayaan yang diberikan. Karyawan yang terlambat diberi tugas pengawasan untuk memonitor karyawan yang produktif di awal kerja. Atasan meminta karyawan yang telambat untuk mempelajari mungkinkah karyawan produktif di awal kerja ? Dan bisa saja dengan langkah solusi yang mengajak karyawan untuk dipercaya dalam hal lain.





 







No comments:

Post a Comment

Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...