Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Sudah bersungguh-sungguh ?

 Seorang temen bilang,"Mas, kok beberapa keinginan saya tidak tercapai. Ada apanya ? Padahal semua itu sudah saya lakukan dengan sungguh-sungguh." Dan saya pun membalas,"Apa iya ? Kok bisa begitu ? belum rezekinya kali". Temen saya menjadi kurang optimis dalam hidupnya, karena menganggap keinginan itu hanya mimpi dan menyikapi hidupnya dengan ada apanya.

Lalu saya pun merenungkan hal tersebut. Saya mesti perhatikan beberapa hal. Apa iya keinginannya tidak tercapai ? Apa sih yang menjadi keinginan temen saya tadi ? Sebenarnya saya pun mengalaminya dan semua orang. Yang menjadi kurang pas itu adalah saat temen saya mengharapkan keinginan itu tercapai, tapi nyata tidak. Padahal untuk keinginan yang lain diperolehnya. Dari sini saya mesti membangun sikap pertama dulu yaitu "Tidak semua keinginan tercapai". Lalu apakah saya tidak perlu memiliki keinginan lagi ? Tidak begitu juga, karena saya tidak tahu keinginan yang mana yang tercapai dan yang tidak tercapai, tetaplah memiliki keinginan dan keinginan itu adalah harapan untuk lebih baik.

Biasanya keinginan itu saya sampaikan kepada Allah agar dikabulkan. Artinya yang memenuhi keinginan saya itu adalah Allah. Allah memiliki kehendakNya sendiri dan tidak bisa dipengaruhi oleh saya. Saya membayangkan kalau keinginan saya itu tidak sesuai kehendak Allah, apa iya Allah mau memenuhinya ? Yang pasti tidak dipenuhi Allah. Agar keinginan saya bisa dipenuhi oleh Allah paling tidak saya mesti memiliki keinginan yang baik dan sesuai kriteria Allah. Jika memang keinginan saya itu memiliki nilai kebaikan, yang bukan saja kepada diri saya sendiri tapi memberi kebaikan juga buat orang disekitar saya. Maka keinginan itu mesti disampaikan kepada Allah untuk mendapatkan rahmatNya dan diupayakan sungguh-sungguh. Orang yang bersungguh-sungguh itu pasti menemui hasilnya yang gigih, konsisten dan istiqamah memperjuangkannya. kalau saya bilang sudah sungguh-sungguh mengejar keinginan tersebut, tapi sebenarnya kesungguhan itu belum terjadi bahkan sudah tidak ada. Saat saya bilang sungguh-sungguh, apa yang terjadi ? Saya sudah berhenti untuk sungguh-sungguh dan mulai ada keluhan atas hasil yang dicapai. "kok tidak ringan ya ?" atau "kapan keinginan itu tercapai ?" Pertanyaan-pertanyaan ini hasil dari status kesungguhan yang belum tercapai. Jika memang keinginan saya itu sudah baik, maka saya mesti yakin Allah memenuhiNya. Yang saya lakukan adalah sungguh-sungguh mengerjakan keinginan saya dan sayalah yang menentukan tercapainya keinginan tersebut. Allah ? Allah mengizinkan semua terjadi. 

Disisi lain, saat keinginan saya itu hanya sekedar nafsu saja. Hal ini terlihat dari dorongan di awal yang besar dan sangat fluktuatif dalam perjalanan waktunya. Untuk keinginan seperti ini, saya mesti uji apakah keinginan itu nafsu atau kebutuhan ? Kalau hanya nafsu sesaat saja, saya mesti mengurungkan niat untuk mewujudkannya. Tak hanya itu, Allah juga tidak ingin mengabulkannya kecuali saya maksa banget (hasilnya juga belum tentu berhasil). Jangan pernah untuk bersungguh-sungguh dalam memenuhi keinginan yang berdasarkan nafsu sesaat. Dari sini saya ingin mengatakan bahwa kesungguhan itu hanya untuk keinginan yang baik, yang memberi kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.

Apa yang perlu dalam perilaku bersungguh-sungguh ? Apakah hanya mengandalkan tenaga saja ? Tentu tidak hanya fisik (tenaga), karena fisik itu bisa naik turun dan dipengaruhi/mempengaruhi pikiran. Fisik yang lemah dapat merubah sikap yang ada dalam pikiran dan pikiran membalas untuk mempengaruhi fisik . Kesungguhan itu sangat memerlukan fisik yang sehat, pikiran yang sehat, dan pikiran yang sehat itu mesti disupport oleh keyakinan dan ilmu. Insya Allah kesungguhan yang dilakukan semakin dimudahkan karena kemampuan yang semakin baik. Dalam banyak persepsi orang, kesungguhan itu berat. Jika ini yang terjadi, maka kesungguhan itu bisa melemahkan. Sikap ini seperti ini mesti diubah dengan sikap bahwa kesungguhan itu mesti mengantarkan saya menjadi lebih mudah dan cepat dalam meraih keinginan saya, dimana kesungguhan itu mesti diberi ilmu, sehat fisik dan sehat pikiran, dan keyakinan yang menguat.




Saya mengajak saya sendiri untuk menyikapi dan perilaku sebagai berikut :

1. Tidak semua keinginan itu dapat diraih. Hanya Allahlah yang memenuhi keinginan tersebut, yang diberikan sesuai kehendakNya. 

2. Ciptakan keinginan yang baik, baik dimata Allah dan memberi kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain. Sampaikan kepada Allah untuk dimampukan mewujudkannya lewat kesungguhan saya lakukan.

3. Jika ada keinginan yang cenderung didasari oleh nafsu, maka sebaiknya tidak untuk dipenuhi.

4. Kesungguhan itu tak pernah ada ujungnya. Ujungnya adalah terpenuhinya keinginan itu sendiri. Kesungguhan butuh didukung oleh fisik yang sehat, pola pikir yang sehat, terus menjaga keyakinan kepada Allah. 


Insya Allah kultum motivasi ini dapat menginspirasi saya untuk bisa bersikap dan berperilaku yang benar terhadap keinginan yang hadir. keinginan yang benar mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh yang mampu memberdayakan diri dari ilmu, fisik yang sehat dan keyakinan agar tercapai.

Tujuan yang suka berubah

 Semangat pagi yang mencerahkan buat semua, hari ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hari sebelumnya yang belum dikerjakan atau yang mau diperbaiki. Kesempatan ? Iya, bersyukur atas semua ini. lakukan yang semakin baik hari ini yang membuat saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu demi waktu sampai saya bisa berbuat yang lebih baik. Insya Allah saya dimampukan oleh pemilik alam semesta ini.

Saya pernah memiliki tujuan atau keinginan. Saking pengennya, tujuan itu sangat berarti dan mendorong saya untuk mewujudkannya. Mulailah saya kerja/beraktivitas, tapi ditengah perjalanannya saya merasa ada yang tidak bener dengan tujuan saya, 

a. Bisa karena tidak mudah dicapai, "apa ya saya bisa capai ?" Mulailah ada keraguan dan menurunkan semangat untuk mencapainya.

b. Kok tujuan ini menurun dan ada tujuan lain yang lebih menarik. Mulailah imajinasi saya mengarah kepada tujuan lain untuk dicapai. Ada ketidakpastian untuk memilih meneruskan tujuan awal atau berganti tujuan baru.

c. Dengan sibuknya aktivitas/kerja rutin yang dituntut mesti diselesaikan, membuat waktu yang pendek untuk mengejar tujuan sehingga melemahkan semuanya. Akhirnya saya hanya berharap,"suatu hari saya bisa meraih tujuan saya itu".

d. Misalkan tujuan itu pengen beli rumah. Apa cukup dengan gaji saya membeli rumah ? kalau saya bisa membeli tapi rumahnya jauh banget dari tempat kerja, bikin keluar uang lagi ? Apa nggak saya kontrak rumah saja dulu ? begitu banyak tujuan awal bisa berubah menjadi lebih rendah atau lebih tinggi tergantung suasana saat itu.

Semua itu terjadi pada setiap orang sesuai tujuannya. Atau ada yang bilang,"saya mah nggak pengen apa-apa, jalani aja hidup ini". Tapi tetep aja tujuan itu bisa berubah, waktu bergaul sama temen yang punya rumah sederhana ... hadirlah tujuan pengen punya rumah dan lainnya.

Apapun tujuan atau keinginan itu baik asal dihadirkan oleh emosional. Tujuan yang emosional  cenderung tidak baik, awalnya juga tidak baik dan biasanya diikuti oleh tindakan yang tidak baik pula. Sebaiknya diam sejenak (bisa juga beberapa hari) saat ada tujuan atau keinginan. Buat apa ? Untuk memastikan tujuan atau keinginan itu diuji oleh akal sehat sebagai kebutuhan. Selanjutnya tujuan atau keinginan itu dianalisis oleh akal sehat agar menjadi nyata untuk diwujudkan. 

Tujuan atau keinginan yang sudah bulat untuk dicapai itu menjadi bener menurut saya saat itu. Apa yang terjadi ? Ada lintasan pikiran yang menghambat untuk memulai tujuan itu, ada rencana bagus yang disusun, ada banyak cara untuk mewujudkannya. Sempurna ! Langkah pertama berjalan mulus, semua hambatan atau persoalan yang dihadapi dapat dilewati. Masih ada semangat besar ...

Apakah iya saya memiliki tujuan itu saja ? pasti tidak, banyak sekali tujuan lain. Kalau mau ditulis, kayaknya lebih dari 10 tujuan, tujuan keluarga, tujuan pasangan, tujuan anak-anak dan sebagainya. Tujuan mana yang lebih dulu untuk dicapai ? Disini mulai bercabang dan salah satu tujuan bisa melemah saat itu. Tidak bisa disalahkan bahwa tujuan hadir dan berkembang sesuai waktunya. Bahkan bisa jadi tujuan awal melemah dan berganti dengan tujuan lain.

Apa yang terjadi ? Tujuan itu sebaiknya mesti memiliki batas waktu pencapaiannya, terjadwal dan memiliki komitmen untuk mencapainya. Batas waktunya tidak terlalu lama, sebaiknya dalam rentang maksimal 1 bulan atau lebih sedikit oke saja. Bagaimana kalau 6 bulan atau 1 tahun ? Bisa juga, sesuai dengan besar kecilnya tujuan. Alangkah baiknya, tujuan itu dipecah menjadi beberapa tujuan kecil bertahap. Tujuan yang pendek memudahkan pikiran untuk meraihnya dan memberi semangat tambahan saat mendekati waktunya. Selanjutnya tujuan berikutnya menjadi menarik untuk diwujudkan. Ini adalah cara menyikapi saya tidak berubah-berubah terhadap tujuan yang berubah.

Tujuan bisa saja berubah sesuai waktunya. Saya bisa mengubah tujuan asal masih sejalan dan lebih baik. Yang terpenting adalah tujuan itu pasti untuk dicapai, jadi hindari untuk meninggalkan tujuan tersebut. Alangkah indahnya, saat saya memiliki tujuan dan tujuan itu saya sampaikan kepada Allah agar diberi rahmat lewat doa. Doa yang tidak memaksa untuk diizinkan (dikabulkan) atas tujuan saya. Kalimat yang pantas saya sampaikan kepada Allah untuk tidak mendikte tapi hanya menyampaikan apa yang saya alami, "Ya Allah hari ini saya memiliki tujuan membeli rumah, tujuan ini sesuai dengan apa yang saya rasakan penting bagi saya dan keluarga. Kalaulah tujuan ini Engkau rahmati, mampukan dan mudahkan jalan menuju tujuan itu. Tapi kalau tujuan ini belum Engkau rahmati dan belum baik bagi saya sekarang, maka sudilah Engkau yang Maha Penyayang dari yang paling sayang di bumi ini memberi saya yang lebih baik. Bimbing, arahkan dan mampukan saya untuk menjalaninya" Dalam doa ini saya berharap dengan tujuan saya, tapi saya tahu bahwa Allah Maha Tahu yang terbaik buat saya dan saya memohon petunjuk yang lebih baik buat saya. Tidak memaksa dikabulkan tapi berharap rahmat Allah untuk saya.




Demikianlah apa yang bisa saya bagikan untuk menghadapi tujuan yang suka berubah. Tujuan yang berubah tak perlu disesali, tapi perlu disikapi dengan ilmu yang lebih baik. Inilah kultum motivasi yang bisa menginspirasi saya untuk lebih baik, memberdayakan diri untuk jauh lebih baik.

Amunisi Semangat

 Kalau ditanya tentang amunisi, banyak orang menjawab berhubungan dengan senjata. Memang begitulah persepsi lama, tapi sekarang amunisi bisa berhubungan dengan apa saja. Kalau dalam tentara, amunisi senjata dan peluru sangat menentukan kelangsungan operasi ketentaraan. Tanpa amunisi yang cukup membuat operasi menjadi terhenti dan bisa jadi tidak berhasil. Atau amunisi disiapkan bila diperlukan, yang dikirim dengan sangat cepat dan tepat.

Hari ini saya bicara amunisi untuk mempertahankan semangat kerja atau aktivitas. Kok pakai amunisi segala ? Faktanya beberapa orang bisa bersemangat kerja mulai pagi hingga siang aja dan berikutnya semangat turun atau di awal beraktivitas/kerja masih memiliki semangat tinggi dan tak lama menurun. Yang sering terjadi adalah awal tahun membuat komitmen untuk perubahan untuk masa depan yang lebih baik, tapi bulan Maret atau Juni atau sekarang (Agustus), bagaimana semangat perubahannya ? Sepertinya kembali kepada rutinitas biasa. Masih ada sih keinginan, tapi semangat untuk menggerakkannya sudah melemah. Semua kejadian ini terus berlangsung seiring waktu, dan apa yang diinginkan tak tercapai. Ada beberapa orang yang masih bisa membangkitkan semangatnya dan terus menuju keinginannya.

Apa sih yang terjadi ? Inilah yang saya bilang semangat tanpa ilmu, berjalan menuju keinginan tanpa perbekalan sehingga tidak mudah bertahan. Misalnya seorang penulis, mesti memiliki perbekalan (amunisi) yang cukup seperti membaca buku, menambah wawasan dan sejenisnya. Anumisi ini penulis dapat menjadi bekal  untuk ditulis dan menambah semangat menulisnya. Ada kalanya amunisi penulis ini bisa mendobrak sikap mental negatif dalam menulis. Atau kalau saya karyawan untuk mencapai target kerja, maka perlu amunisi yang benar (dengan ilmu), yang bukan sekedar "paksaan" dari atasan atau pekerjaan itu sendiri. Amunisi yang bener itu adalah meningkatkan kemampuan dengan ilmu yang mengantarkan saya menjadi mudah dan cepat menyelesaikan pekerjaan. Kalau hal ini tidak saya lakukan, maka saya hanya mengandalkan tuntutan dari pekerjaan itu ... terpaksa, hasilnya bisa ada tapi tidak memberi kebaikan.

Salah satu yang mesti saya pikiran tentang amunisi saya yaitu semangat, ya semangat yang konsisten. Bisa jadi 95% orang tidak pernah memikirkan amunisi semangat, yang penting semangat dulu dan kerja. karena sikap inilah banyak dari mereka mengalami kemerosotan semangat dan akhirnya kerjanya menjadi apa adanya. Pak Ogah bilang,"mau semangat cepek dulu" atau "wani piro". Seolah semangat itu bisa dibeli dengan uang. Berarti kalau semangat itu dibangkitkan oleh uang, maka orang kayalah yang paling bersemangat. Apakah iya ? BUkankah uang itu benda mati, hanya kertas atau hanya imajinasi uang itu sendiri yang mendorong orang untuk berbuat banyak hal. Yang bener, si A yang hebat yang menjadi penutan saya telah menjadi inspirator atau penyemangat saya. Kalau saya tanya, si A bisa mengatakan sesuatu yang membuat saya semangat. Kalau saya ada masalah, si A bisa menjawab dan diajak komunikasi sehingga memberikan solusi untuk meneruskan semangat. Begitulah semestinya semangat dengan amunisi yang bener.

Tapi yang menjadi pertanyaan saya, saat si A lagi tidak semangat juga (bukankah si A sama seperti saya). Iya ya ? Terus amunisi seperti apa yang saya butuhkan. Amunisi semangat saya itu mesti mutlak kebenarannya sehingga membuat saya melakukan kerjanya yang terus-menerus. Lalu siapa yang bisa memberikan itu ? Sesuatu yang lebih hebat dari manusia, siapa dia ? Allah swt, Tuhan yang menciptakan manusia dan saya. Hal ini terjadi yang dapat membangkitkan keimanan saya, keyakinan penuh. Yang luar biasanya, Allah menghadirkan hati yang bersemangat, yang berilmu dan yang berenergi. Hanya keyakinan kepada Allah lah yang mampu terus menjaga semangat untuk menuju tujuan (yang benar).

Bersemangat itu tidak cukup, tapi butuh ilmu yang mengantarkan saya kepada semangat yang konsisten. Semangat mesti berilmu dengan merencanakannya :

1. Memiliki energi yang kuat untuk beraktivitas/kerja

2. Melemahkan hal yang menghambat saya untuk tidak bersemangat.

3. Mendorong untuk selalu menjadi semakin baik sehingga semakin berkembang.

4. Memberi keyakinan diri untuk meraih keinginan bersama Allah swt (amunisi saya).

Mau ? Tulisan ini terdapat dalam buku saya,"Semangat kerja yang konsisten". Dalam buku semangat kerja yang konsisten ini dibahas banyak hal tentang semangat, pendorongnya, dan menemukan semangat yang sebenarnya.


Insya Allah tulisan hari ini bisa menginspirasi untuk memotivasi diri. Saya menyebutkan kultum motivasi untuk memberdayakan diri. 




Kapan Ujian hidup ?

 Semangat pagi semuanya, Insya Allah sehat dan diberi kemampuan untuk beraktivitas hari ini. Hari ini saya menulis tentang Ujian hidup, memang agak terlalu luas dan saya memberi beberapa contoh sederhana. Ada yang bilang kalau ujian hidup sih setiap hari terjadi dan dalam setiap langkah kehidupan. Kalau memang setiap aktivitas saya itu adalah ujian, tapi mengapa saya mengulang hal yang sama ? Apakah saya tidak lulus ? atau masih terus mengikuti ujian ? atau saking rutinnya ujian itu membuat saya merasa tidak ujian.

Contoh sederhana, "Saya ingin tidak emosi atau sabar". Tanpa ada orang atau tidak banyak saya terlibat dalam berbagai aktivitas, maka menjadi sabar itu lebih mudah. karena tidak ada yang ganggu atau menguji ? Lulus nggak saya ? Ya, belum lulus karena tidak mengikuti ujian yang sesungguhnya. Ujian mulai berlangsung saat saya yang sabar untuk membuat ruangan selalu bersih, tiba-tiba ada orang yang membuang tissue sembarangan. Apa reaksi saya ? Saya mengerutkan dada dan dalam hati berkata, "kok nggak ngerti ya perilaku seperti itu tidak bener dan bikin emosi ?" Tak sampai disini, ada lanjutannya. Saya mesti menegur agar tidak terjadi lagi. Saya bilang dengan santun,"Mas, mohon tissuenya dibuang di tempat sampah dong". Dan dengan santun pula orang itu mengerjakannya. Selesai ? Ternyata tidak, emosi saya masih "membara". Dalam hati,"kok gitu aja. nggak ada minta maafnya". bahkan saya sudah menyimpan memori tentang orang itu yang sembrono. Ternyata sabar itu tidak perlu panjang, menyelesaikan masalah emosi saat itu juga dan menerima keadaan dengan ikhlas. Sabar menjadi tidak sabar karena perasaan selalu diikuti lagi dengan perasaan (prasangka yang belum tentu terjadi). hampir semua orang mengalami hal ini. "Sabar tapi belum sabar".

Ada berapa ratus kejadian setiap hari seperti hal di atas. Yang saya bayangkan adalah betapa lelahnya saya yang terkuras oleh energi emosi tadi yang begitu panjang sehingga tidak mudah untuk fokus beraktivitas/kerja. Dari sini ternyata sabar itu berhubungan dengan produktivitas, orang yang sabar memiliki fokus kerja yang bener dan sangat produktif. Salah satu penyebabnya adalah selalu mengandalkan akal sehat bahkan hati dan meminimalkan emosi. 

Berandai ruangan yang bersih tadi dikotori oleh sesuatu yang tidak saya lihat kejadiannya. Bagaimana sabarnya ? Apakah mencari penyebabnya ? atau Saya beranikan diri untuk membersihkannya tanpa perlu meneruskan penyebab kekotorannya. Artinya saya sudah menghentikan perasaan (tidak emosi) dan segera fokus kerja. Sama halnya dalam dunia kerja, ada bos marah-marah kepada saya atas kerja saya. Disinilah kesabaran saya diuji untuk meneruskan persoalan marah-marah bos itu menjadi panjang, yang berupa self talk dalam diri saya. Self talk itu tidak ada ujungnya karena bos tidak terlibat dalam self talk tersebut. Saat saya bertemu bos lagi, saya jadi bete. Begitulah ujian kesabaran itu terjadi. Buatlah diri saya untuk relax dan tenang dalam menghadapi segala hal. Mengapa mesti begitu ? Semua keadaan itu mendorong diri saya tidak terpancing emosional dan tetap terus berpikir akal sehat. Dengan akal sehat itu saya mengikuti ujian kesabaran dengan segera menyelesaikan masalah dengan tuntas dan cepat.

Perhatikan ... 

  1. Saya sering bete dalam kerja. Segera hentikan karena itu membuat saya tidak produktif, tidak sabar. 
  2. Saya sering malas kerja atau kerja apa adanya. Segera hentikan karena kemalasan itu membuat saya kerja yang menjadi lama (tidak produktif), ambil udara segar dan buatlah diri tenang agar oksigen (udara segar) memberi otak untuk berpikir akal sehat.
  3. Kalau kerja tidak beres-beres. Stop dan ambil waktu rehat, jadilah orang sabar yang memutuskan tercampurnya akal sehat dengan emosional (tidak fokus). Mulai berdiskusi atau bertanya kepada teman yang mahir dan bersegeralah untuk meneruskan pekerjaan sampai tuntas. 
  4. Dan banyak kejadian lain untuk menguji kesabaran saya, Ujian hidup.
kapan ujian hidup itu terjadi ? Untuk kesabaran, ujian itu terjadi saat saya tidak mampu mengendalikan emosi yang berkelanjutan. Stop emosional, dan segera relax untuk bisa berpikir akal sehat. 
Sabar bukan berarti tidak "marah" atau emosi, tapi bersegeralah untuk menghentikan kelanjutan perasaan dan menggantikannya dengan akal sehat. Akal sehat mendorong saya untuk berbuat baik, "Orang-orang sabar bersama Allah dan Allah itu dekat dengan orang yang berbuat baik". Iringi pula dengan doa untuk bersabar.
Insya Allah kultum motivasi ini dapat memberdayakan diri saya untuk menjadi produktif dalam kerja dan hidup ini. 

Tindakan negatif akibat respon tidak positif

 Judul di atas saya tulis setelah membaca dengan tenang tentang kisah Nabi Yunus as terhadap kaumnya. Apa yang terjadi ? Beginilah kisahnya,

Dan ingatlah kisah Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah, karena mereka berpaling dari dirinya dan tidak mau menerima ajaran Allah ketika ia berdakwah kepada mereka. Lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya karena sikapnya yang tidak sabar itu. Lalu ia naik perahu, namun beban perahu yang ditumpanginya terlalu berat sehingga harus ada seorang yang dilemparkan ke laut. Setelah diundi tiga kali, Nabi Yunus yang harus dilemparkan ke laut. Allah segera mendatangkan seekor ikan menelan beliau. Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, di dalam perut ikan, di dalam laut, dan pada malam hari dengan kesadaran, “Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim, karena aku marah meninggalkan kaum yang seharusnya dibimbing olehku.”



Kisah Nabi Yunus as tersebut banyak kemiripan dengan perjalanan hidup semua orang. Saya pernah kecewa karena respon tidak positif orang lain, lalu saya bisa tidak nyaman dan bertindak yang tidak positif lagi. Dapat musibah lagi ... Lalu semakin tidak nyaman. Solusinya adalah doa sepenuh hati dan mengakui apa yang saya lakukan semua itu adalah zalim terhadap diri sendiri, dan iringi dengan doa di atas.

Al Qur'an itu petunjuk bagi semua orang yang bertaqwa. Mau baca saja udah bagus, apalagi memahaminya. Tapi percuma dong kalau saya paham saja. Mari ikut mengamalkannya dan berbagi ke semua orang agar mendapatkan kebaikan untuk diri sendiri dan menjadi amal jariah.

Insya Allah kultum motivasi singkat untuk menginspirasi dan memberdayakan diri agar semakin produktif dalam hidup. 

Berkata baik itu buat diri sendiri

 Apa sih makna dari perkataan saya yang ucapkan ? Pertama adalah saya mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya saat itu. Misalkan dalam pikiran saya memikirkan "mau berbagi ilmu", maka perkataan saya adalah mengajak orang untuk ngobrol dan berdiskusi. Saya menyampaikan ilmunya. Ada kata,"Mas, tahu nggak tentang syukur ?" Saya mau berbagi nih dan seterusnya.

Untuk siapa sih ucapan yang saya sampaikan ? Untuk diri sendiri atau orang lain. Ucapan itu merupakan sesuatu yang saya keluarkan seringkali mengundang saya (membuat saya senang) untuk dinilai atau dihargai sama orang lain. Seperti memberi ilmu, memberi nasehat atau malah membimbing dan sebagainya. Kalau hal ini yang terjadi, maka saya bisa merasakan senang dan bisa juga merasakan tidak nyaman atas respon (nilai dari) orang lain. Porsi senangnya tidak melebihi dari yang tidak senang. Lalu jadi pertanyaan saya adalah buat apa dong saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tidak senang dan tidak nyaman ? Dari sini saya mulai berpikir ulang bahwa saya berkata baik dan sejenisnya adalah untuk saya sendiri.

Kok bisa saya berkata baik itu buat diri sendiri ? Kalau masih dalam pikiran, saya pun belum "mengamalkan apa yang saya yakini dalam pikiran". Maka saya mesti mengutarakannya agar saya memahaminya dengan benar. Apa yang ada dalam pikiran saya belum nyata, dan apa yang saya ucapkan menjadi nyata. Dimana nyatanya ? Ada feedback atas apa yang saya ucapkan, "kok jadi begini ?" atau "kayaknya saya salah ngucapin" dan sebagainya. Dan saya pun mendapatkan feedback dari orang lain, misalkan "Nggak begitu juga dan mesti dicek dulu bener atau nggaknya". Sebenarnya kedua feedback ini menjadi evaluasi untuk menyempurnakan ucapan saya (atau apa yang saya pikirkan). Jadi kedua feedback itu menjadi baik buat saya. 

Apa yang saya ucapkan menjadi nyata benernya, maka menambah keyakinan saya dalam berpikir. Tapi sebaliknya juga dapat mengkoreksi pikiran saya menjadi semakin bener. Biasanya feedback dari orang lain itu bisa bener, tapi saya cenderung sudah menilai orangnya yang kurang bener.

Apa sih yang saya rasakan saat ada feedback dari orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan saya ? Saya cenderung emosional dan tidak nyaman, sepertinya orang itu tidak menghargai saya. Penerimaan feedback orang lain dominan oleh emosional/perasaan bukan akal sehat sehingga saya tidak senang dan tidak nyaman. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu benar, maka ucapan saya dimaksudkan untuk menguji kebenaran ucapan saya. Dan orang lain yang saya ajak bicara mesti diacungi jempol dan ucapan terima kasih karena mau merespon dan tidak dibayar lagi.

Jangan pernah berpikir lagi bahwa ucapan saya adalah untuk orang lain. Untuk orang lain ? hanya dampaknya saja. Misalkan saya mengucapkan,"mas, jangan ke situ. Jalannya buntu". Makna pesan itu adalah saya pernah mengikuti jalan itu dan berharap orang lain tidak mengikutinya. Ada 2 kemungkinan yang terjadi orang itu mengikuti ucapan saya atau tidak mengikuti. Apapun yang dilakukan orang itu tidak menjadi penting buat saya. Pesan itu sudah membuat saya lebih baik.

Miliki buku Semangat kerja yang konsisten agar menjadi pribadi yang produktif.


Insya Allah saya mulai memahami bahwa ucapan saya adalah apa yang saya pikiran, dan apa yang saya pikirkan belum tentu bener (nyata baiknya). maka sampaikan untuk terus menguji dan memperbaiki menjadi semakin bener (nyata).



Pilih kata yang baik bagi diri

 Dalam beberapa hal memang tidak mudah untuk memilih kata yang baik bagi diri, apalagi dalam kondisi emosional. Lagi tidak nyaman, maka yang terucap adalah kata yang tidak mensupport saya menjadi lebih baik. Lagi malas, saya berkata,"Jangan ganggu saya dengan tensi suara tinggi". Kata "Ganggu" seolah membuat orang lain agak tidak nyaman, karena bisa jadi ada sesuatu yang baik mau disampaikan. Akibatnya saya selalu tidak dapat berpikir jernih (positif).

Mana yang lebih baik berkata :

"Saya sakit sudah 2 minggu ini" atau 

"Saya kurang sehat 2 minggu ini".

Kata "sakit" dan "sehat" memiliki dampak yang berbeda. Kata "sakit" mempengaruhi diri memang merasa sakit dan saya merasakan keadaan tidak nyaman. Sebaliknya menggunakan kata "kurang sehat" memberi semangat untuk sehat.

Bayangkan kalau saya terus mengatakan kata "sehat" daripada kata "sakit", maka dalam pikiran saya terus berakumulasi kata sehat dan dapat mendorong saya untuk selalu sehat. Untuk itu, saya melatih diri untuk menggantikan kata-kata berikut ini

1. Kata "akan" saya hilangkan dalam kalimat

2. Kata "besok" saya ganti dengan waktu dimaksud, misalkan hari Selasa, tgl sekian, bila perlu pukul sekian atau bisa mengatakan kata "hari berikutnya". Atau gantikan kata "nanti" dengan waktu yang dimaksud atau dihilangkan.

3. Kata "mungkin" memberi makna ya dan tidak. Sangat memberi motivasi jika saya menggunakan kata "Insya Allah" atau "bisa jadi". 

4. Selalu menggunakan kata "saya"  daripada kata "kita", "kami" dan sejenisnya. Hal ini untuk mengambil peran aktif dari saya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain (melibatkan orang lain)

5. Kata yang bermakna negatif diganti dengan menambahkan kata "tidak" atau "kurang" pada lawan katanya. 

    a. Kata "sakit" diganti dengan "tidak sehat"

    b. Kata "malas" menjadi "tidak rajin"

    c. Kata "gagal" menjadi "belum sukses"

    d. dan lainnya

6. Bisa juga saya membuat kalimat positif, dimana didalam kalimatnya ada kata negatif. Kata negatif yang digunakan belum ada yang bisa menjelaskan dengan baik dan dikhawatirkan kalimat menjadi kurang dipahami.

Sebenarnya yang terpenting bagaimana saya membangun sikap dengan menggunakan kalimat yang baik dan membalas respond dengan kalimat yang baik pula terhadap apa yang saya alami. Perhatikan dalam kondisi cuaca yang panas, saya cenderung mengatakan "panas bener hari ini". Ini sudah tidak baik buat saya karena menyimpan memori yang kuat dalam pikiran (emosional saat itu merasakan bener panasnya). Alangkah baiknya saya mengatakan "Alhamdulillah cuaca hari ini bisa menyemangati saya". Selain dalam cuaca panas tersebut semua orang seperti buru-buru dalam berkendara. Maka respon saya mesti yang baik, yaitu tetap berkendara tanpa emosional.

Memilih kata yang baik bisa tercermin dari perilaku saya. Misalkan saya bisa membangunkan anak saya dengan suara bahkan dengan tekanan suara lebih tinggi. Ini bentuk "kekecewaan" karena anak susah dibangunkan. Alangkah baiknya saya membangunkan anak saya dengan menepuk pundak atau badannya agar bisa bangun. Banyak hal lain yang bisa saya bangun untuk membangun diri menjadi semakin baik, lewat kata baik dan perilaku baik.

Insya Allah, ini adalah amal saleh dari sebuah keyakinan (iman) saya kepada Allah sehingga saya mendapatkan kekuatan untuk istiqamah menjalaninya. Laa haula Wa Laa Quwwata illa billah. 

Dampak tidak berpikir positif

 Ada beberapa hal yang bisa saya ungkapkan untuk menemukan beberapa orang belum mampu berpikir positif. Alasan kuat adalah adanya dorongan emosional, gengsi, ketersinggungan, membela harga diri, pernah kecewa dan sejenisnya. Semua keadaan ini adalah trigger belum mampu berpikir positif. Akibatnya interaksi dua orang atau lebih dengan belum mampu berpikir positif adalah konflik ringan sampai besar.

Berita TV yang mengabarkan hanya soal uang parkir yang diperebutkan 2 kelompok menyebabkan perkelahian masal yang menyebabkan korban meninggal. Begitu juga persoalan rumah tangga, hanya karena cemburu mengundang cekcok sampai kepada KDRT. Hampir setiap hari saya mendengar berita ketidakmampuan berpikir positif menjadi konflik yang besar. Apakah saya mau mengalami hal seperti ini ? Terlihatnya sepele tapi dampaknya luar biasa tidak baiknya.

Ketidakmampuan seorang karyawan berpikir positif dapat mengundang pola pikir yang tidak baik, demotivasi dan menurunnya produktivitas. Karyawan yang tidak terima hanya karena ditegur atasannya, yang menyebabkan karyawan menjadi tidak nyaman dan membalas dengan kerja yang produktif. 

Setiap orang selalu ada kecenderungan untuk membalas dengan hal yang sama, jika menerima perlakukan tidak positif. Semua ini berawal dari pola tidak berpikir positif. Terus, apa yang bisa saya lakukan ? Berempati ... merasakan orang yang belum mampu berpikir positif, yang sebenarnya ingin berpikir positif tapi belum menguasai dirinya dengan benar. Karena saya atau Anda tidak bisa mengontrol dan menguasai orang lain untuk berpikir dan bertindak kepada saya. Maka  sayalah yang harus memulai berpikir positif dan selalu membalas perlakuan yang tidak positif dengan pikiran positif. Tidak mudah, karena dalam diri saya pun selalu ada dorongan atau bisikan untuk membalas yang sama,"enak aja saya diperlakukan begitu, saya pun bisa".

Apa yang sih yang diharapkan orang yang belum mampu berpikir positif dari saya ? Orang seperti ini merasa benar dan ingin menyampaikan orang lain itu salah. "Kamu itu kerjanya tidak bener", kata temen. Respon pikiran saya di awal adalah membantah dan membela diri, tapi sejatinya saya tak perlu menanggapi hal tersebut. Cukuplah berterima kasih atas ucapannya dan selanjutnya saya perbaiki apa yang dikatakan. Interaksi tersebut tidak lama, tapi jika saya meladeni ucapan itu dapat menyebabkan perdebatan yang panjang dan menyakitkan. Cara ini adalah cara terbaik dan sangat baik buat diri saya untuk menjaga dapat berpikir positif terus dan bisa juga memberi cermin kepada orang lain bahwa berpikir positif itu sehat dan nyaman.

Disisi lain, saat orang lain berpikir tidak positif tidak perlu saya ikutan. Yang menjadi persoalan bukan pada diri saya, dan saya tidak mau meracuni pikiran saya dengan ikut-ikutan menjadi tidak positif. Keadaan ini menjadi dorongan motivasi saya untuk menjaga dan memelihara selalu berpikir positif. Dan akhirnya, berpikir positif bukan sekedar untuk kebaikan diri saya, tapi merupakan rasa syukur saya kepada Allah yang telah memberi pikiran dan hati. Jika ini saya lakukan, maka kekuatan untuk berpikir positif menjadi semakin besar karena ada energi Allah bersama saya. 

Berdasarkan hal terakhir di atas, berpikir positif bukan lagi tidak mudah, tapi menjadi ringan dan ikhlas (tidak dipaksakan). Misalkan saat menunggu orang yang janjinya terlambat, maka tak perlu ada prasangka tidak baik kepada orang tersebut. Tapi saya bisa berpikir positif, seperti saya mendoakan orang tersebut dimudahkan dan dilancarkan untuk selamat bertemu dengan saya, dan waktu menunggu saya gunakan untuk hal positif apa saja. Sesampainya orang tersebut, sayapun tak perlu membahas keterlambatannya tapi membicarakan pertemuan yang sudah disiapkan. Apa yang terjadi setelah itu ? Orang yang terlambat memuji kepribadian saya dan selalu mendukung saya. Inilah yang balasan kebaikan (berpikir positif) itu kepada saya, dan memang begitulah lidah dan hati saya diciptakan Allah bukan untuk tindakan yang tidak baik, tapi mengajak lidah dan hati untuk berdoa. Tak perlu juga membalas dengan mengatakan tidak profesional dan sebagainya, tapi mengajak untuk fokus kepada apa yang dibicarakan. 

Tulisan ini menjadi ulasan dari buku kami "semangat kerja yang konsisten"


Insya Allah berpikir positif itu berdampak baik bagi diri saya sendiri, yang membuat pikiran saya sehat dan mampu mengendalikan diri, serta mendapatkan kekuatan dari Allah. Akhirnya saya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...