Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri
Tampilkan postingan dengan label buku semangat kerja yang konsisten. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku semangat kerja yang konsisten. Tampilkan semua postingan

Senin, April 28, 2025

Ulasan 2 buku "Semangat kerja yang konsisten"

 Semangat pagi semuanya, terima kasih sudah membaca tulisan blog ini. Insya Allah kita diberi solusi atas persoalan yang kita hadapi. Aamiin

Dalam ulasan 2 buku semangat kerja yang konsisten, mengenai tulsan awal dari buku ini. BUku yang dirancang semaksimal mungkin menggunakan bahasa atau kalimat positif, untuk apa ? Mengajak pembaca untuk membaca, yang sekaligus memprogram alam bawah sadarnya dengan kalimat positif.  Proses ini dapat menyimpan kalimat positif yang menjadi faktor kita dalam bertindak. Semakin banyak hal positif yang disimpan dapat memacu pembaca bersikap dan berperilaku yang baik.




Sebagai contoh kata saya atau pengganti lainnya. Dalam sebuah buku yang saya baca seperti berikut,"Anda mesti melakukan perubahan dalam hidup ini agar kehidupan Anda menjadi semakin menarik"

1. Kata "Anda" yang ditulis oleh penulis merujuk kepada yang membaca buku. Tetapi kenyataannya saat pembaca membaca kata "Anda", tanpa disadarinya pembaca tetap membaca "Anda" yang diterjemahkan tidak merujuk kepada pembaca. Dan hal ini terekam pada pikiran bawah sadar (memori sebagai Anda, orang lain). 

2. Pikiran bawah sadar pembaca yang menyimpan kata "Anda" tidak bisa membangkitkan dirinya sendiri untuk melakukan perubahan (kalimat dalam buku). Maka apa yang dibaca oleh pikiran bawah sadar itu (pembaca) tidak memberi efek kepada dirinya untuk berubah.

3. Agar pembaca dapat memahami makna kalimat dalam buku itu, maka butuh kesadaran untuk melakukannya. Tidak otomatis, tapi pembaca butuh mengeluarkan keadaan yang sadar (pikiran sadar) untuk paham dan melakukan perubahan.

Padahal keadaan tertentu kita perlu trigger dari pikiran bawah sadar untuk memulainya. Begitulah pikiran bawah sadar berperan dalam tindakan. 

Saya menulis buku "Semangat kerja yang konsisten" menggunakan kata saya. Jadi pada saat pembaca membaca buku tersebut, maka pembaca menjadi aktor dalam buku itu. Sebagai aktor dari buku itu, pembaca diajak hadir dalam setiap tulisan kalimat. Bisa merasakan, bisa berpikir dan mengalami yang sama dengan apa yang saya tulis dalam buku "semangat kerja yang kosnsiten". Dan sekaligus menyimpan kata "saya" pada apikiran bawah sadarnya sebagai langkah program pikiran bawah sadar untuk otomatis bersikap dan bertindak. 

Mungkin penulisan buku "Semangat kerja yang konsisten" ini tidak biasanya. Karena banyak orang menggunakan kata "Anda" dan seterusnya. Pembaca bukan sebagai pelakunya. Inilah yang saya tulis sebagai pembeda dari buku lainnya dan memberikan buku yang terbaik bagi pembaca. 


Bayangkan kembali ...

Saya mesti melakukan perubahan dalam hidup ini agar kehidupan saya menjadi semakin menarik

Kalau ditanya siapa pelaku perubahan itu ? SAYA

Siapa yang menikmati perubahan itu ? SAYA

Hidup siapa yang diubah ? SAYA

Saya dan saya telah menjadi kata yang berulang untuk menguatkan afirmasi bagi diri saya untuk berpikir, bersikap dan bertindak dalam perubahan yang saya lakukan.

Sama halnya kalau ada kata "kita" dalam kalimat berikut ini "Kerja ini harus dikerjakan kita bersama " . Kata "kita" merujuk kepada beberapa orang yang disepakati dalam forum itu. Kita itu saya, dia, kamu yang berarti kelompok orang. Dalam pikiran saya mengatakan bahwa kerja itu tidak bisa dikerjakan kalau oleh saya sendiri tanpa melibatkan sekelompok orang tadi. Memang secara sadar kata kita itu adalah sekelompok orang. Tapi dalam pikiran bawah sadar yang menyimpan kalimat itu tetap menyimpannya kata "kita" dengan definisi kelompok orang. Tidak ada bekerja tanpa semua orang yang hadir.



Membiasakan kata saya atau aku dalam sehari-hari mesti tepat agar sangat membantu siapapun untuk bisa menjadi pelaku sendiri. Sebagai penulis saya meraskan itu, maka saya menulis buku "semangat kerja yang konsisten" dengan "saya", yang berarti saya sebagai penulis dan saya sebagai pembaca.

Insya Allah ada yang saya lakukan menulis buku yang lebih baik ini dapat memberi manfaat bagi pembaca. Dapat dijadikan inspirasi dan motivasi serta sekaligus memberdayakan diri untuk mewujudkan semangat kerja yang konsisten. 

Sahabatmu

Munir Hasan Basri


Minggu, April 27, 2025

Ulasan 2 buku "Semangat kerja yang konsisten"

 Semangat pagi semuanya, terima kasih sudah membaca tulisan blog ini. Insya Allah kita diberi solusi atas persoalan yang kita hadapi. Aamiin

Dalam ulasan 2 buku semangat kerja yang konsisten, mengenai tulsan awal dari buku ini. BUku yang dirancang semaksimal mungkin menggunakan bahasa atau kalimat positif, untuk apa ? Mengajak pembaca untuk membaca, yang sekaligus memprogram alam bawah sadarnya dengan kalimat positif.  Proses ini dapat menyimpan kalimat positif yang menjadi faktor kita dalam bertindak. Semakin banyak hal positif yang disimpan dapat memacu pembaca bersikap dan berperilaku yang baik.




Sebagai contoh kata saya atau pengganti lainnya. Dalam sebuah buku yang saya baca seperti berikut,"Anda mesti melakukan perubahan dalam hidup ini agar kehidupan Anda menjadi semakin menarik"

1. Kata "Anda" yang ditulis oleh penulis merujuk kepada yang membaca buku. Tetapi kenyataannya saat pembaca membaca kata "Anda", tanpa disadarinya pembaca tetap membaca "Anda" yang diterjemahkan tidak merujuk kepada pembaca. Dan hal ini terekam pada pikiran bawah sadar (memori sebagai Anda, orang lain). 

2. Pikiran bawah sadar pembaca yang menyimpan kata "Anda" tidak bisa membangkitkan dirinya sendiri untuk melakukan perubahan (kalimat dalam buku). Maka apa yang dibaca oleh pikiran bawah sadar itu (pembaca) tidak memberi efek kepada dirinya untuk berubah.

3. Agar pembaca dapat memahami makna kalimat dalam buku itu, maka butuh kesadaran untuk melakukannya. Tidak otomatis, tapi pembaca butuh mengeluarkan keadaan yang sadar (pikiran sadar) untuk paham dan melakukan perubahan.

Padahal keadaan tertentu kita perlu trigger dari pikiran bawah sadar untuk memulainya. Begitulah pikiran bawah sadar berperan dalam tindakan. 

Saya menulis buku "Semangat kerja yang konsisten" menggunakan kata saya. Jadi pada saat pembaca membaca buku tersebut, maka pembaca menjadi aktor dalam buku itu. Sebagai aktor dari buku itu, pembaca diajak hadir dalam setiap tulisan kalimat. Bisa merasakan, bisa berpikir dan mengalami yang sama dengan apa yang saya tulis dalam buku "semangat kerja yang kosnsiten". Dan sekaligus menyimpan kata "saya" pada apikiran bawah sadarnya sebagai langkah program pikiran bawah sadar untuk otomatis bersikap dan bertindak. 

Mungkin penulisan buku "Semangat kerja yang konsisten" ini tidak biasanya. Karena banyak orang menggunakan kata "Anda" dan seterusnya. Pembaca bukan sebagai pelakunya. Inilah yang saya tulis sebagai pembeda dari buku lainnya dan memberikan buku yang terbaik bagi pembaca. 


Bayangkan kembali ...

Saya mesti melakukan perubahan dalam hidup ini agar kehidupan saya menjadi semakin menarik

Kalau ditanya siapa pelaku perubahan itu ? SAYA

Siapa yang menikmati perubahan itu ? SAYA

Hidup siapa yang diubah ? SAYA

Saya dan saya telah menjadi kata yang berulang untuk menguatkan afirmasi bagi diri saya untuk berpikir, bersikap dan bertindak dalam perubahan yang saya lakukan.

Sama halnya kalau ada kata "kita" dalam kalimat berikut ini "Kerja ini harus dikerjakan kita bersama " . Kata "kita" merujuk kepada beberapa orang yang disepakati dalam forum itu. Kita itu saya, dia, kamu yang berarti kelompok orang. Dalam pikiran saya mengatakan bahwa kerja itu tidak bisa dikerjakan kalau oleh saya sendiri tanpa melibatkan sekelompok orang tadi. Memang secara sadar kata kita itu adalah sekelompok orang. Tapi dalam pikiran bawah sadar yang menyimpan kalimat itu tetap menyimpannya kata "kita" dengan definisi kelompok orang. Tidak ada bekerja tanpa semua orang yang hadir.


Membiasakan kata saya atau aku dalam sehari-hari mesti tepat agar sangat membantu siapapun untuk bisa menjadi pelaku sendiri. Sebagai penulis saya meraskan itu, maka saya menulis buku "semangat kerja yang konsisten" dengan "saya", yang berarti saya sebagai penulis dan saya sebagai pembaca.

Insya Allah ada yang saya lakukan menulis buku yang lebih baik ini dapat memberi manfaat bagi pembaca. Dapat dijadikan inspirasi dan motivasi serta sekaligus memberdayakan diri untuk mewujudkan semangat kerja yang konsisten. 

Sahabatmu

Munir Hasan Basri


Kamis, April 24, 2025

Ulasan 1 Buku "Semangat kerja yang konsisten"

 Semangat pag rekan0rekan. Insya Allah hari ini selalu diberkahi Allah dalam langkah aktivitas hari ini. Aamiin

Mulai hari ini, saya ingin berbagi tentang penulisan buku "Semangat kerja yang konsisten" dari latar belakang dan isi materinya. Saya adalah penulis buku "Semangat kerja yang konsisten", yang diterbitkan oleh Penerbit Adab, tahun 2023. BUku ini adalah salah satu bagian dari tema buku yang terus saya kembangkan dan tulis, yaitu "Iman (percaya) dan Produktivitas kerja" atau iman dan produktivitas itu sejalan. Iman disini adalah iman (percaya dan yakin) kepada Allah, sedangkan produktivitas adalah amal soleh yang berupa ibadah khusus dan umum. Dari tema ini saya mulai menulis judul buku tentang "Semangat kerja yang konsisten". Semangat sangat dibutuhkan semua dalam melakukan kerja, sebagai kerja kantoran atau bisnis dan sebagai beraktivitas dalam sehari-hari. Kata konsisten saya tambahkan merupakan "semangat" yang saya bicarakan itu ternyata bisa konsisten. 

Latar belakang saya menulis buku "Semangat kerja yang konsisten" berasal dari pengalaman kerja saya selama hampir 30 tahun sebagai karyawan, manager dan direktur. Dan tentunya terdapat juga pengalaman dari rekan kerja atau partner kerja. Pengalaman tentang apa ? Yaitu tentang kuran harmonisnya hubungan antara iman kepada Allah dalam hal ini ibadah yang saya lakukan dengan pekerjaan yang saya hadapi. Bisa jadi orang bilang keduanya mesti sejalan, iman dan kerja (produktivitas). Dibicarakan sepertinya mudah, tapi dalam kenyataannya tidak mudah. Perhatikan sebagai seorang muslim banyak bekerja di kantor atau bisnis tidak menonjol dalam bekerja. Pendapat pertama, ada yang muslim taat sehingga dia mementingkan ibadah khusus jauh lebih baik dan tidak begitu peduli dengan kerja (yang penting dapat gaji). Tapi sebaliknya pendapat kedua yang mengatakan kalau mau sukses di kantor atau bisnis, biasanya agamanya biasa-biasa saja. Atau ada pendapat lain yaitu menyelaraskan iman dan kerja ... biasanya bikin perusahaan muslim sehingga keduanya selaras. Beberapa fakta menunjukkan hanya sedikit yang bisa melakukannya, tapi malah perusahaan muslim itu memang cenderung memperhatikan ibadah khusus saja. Perusahaan muslim itu tidak lebih hebat dari perusahaan kebanyakan, saya katakan produktivitas sedang-sedang saja.

Saya belu mampu membangun perusahaan, tapi pengen membuat perusahaan dimana iman dan kerja itu selaras. Saya memulainya dengan menulis buku "Semangat kerja yang konsisten". Salah satu faktor tinggi produktivitas dalam kerja adalah semangat. Maka saya mencari makna semangat itu, apakah karena saya memiliki tujuan tertentu jadi semangat atau semangat itu ada hubungannya dengan iman. Mestinya ada, tapi saat itu saya belum menemukannya. Sesuai ilmu dan wawasan saya saat itu, saya menemukan semangat kerja itu karena saya memiliki tujuan, semakin besar tujuan itu maka semakin besarlah semangat saya. Kata orang semua tujuan itu dimulai dengan mimpi di masa depan. Misalkan saya mau menjadi manager, maka saya memiliki semangat dalam kerja untuk mengejar tujuan menjadi manager. Apapun yang saya miliki diupayakan untuk dioptimalkan agar saya mencapai tujuan saya. Dan tidak itu saja, apa yang belum saya miliki juga saya adakan untuk tujuan saya. Apa yang terjadi ? Saya menghabiskan banyak sumber dana dan tenaga (pikiran)  serta waktu. Saya kerja lebih keras tanpa peduli kesehatan, saya kerja habiskan banyak waktuu dan fokus pada pekerjaan yang telah melalaikan saya untuk waktu bersama keluarga dan ibadah.  Dari pengalaman itu saya bisa mencapai semua itu, tapi saya telah kehilangan banyak hal, diantaranya waktu dan kedekatan kepada Allah (iman). Semangat kerja yang saya lakukan hanya tertuju kepada tujuan menjadi manager yang menyebabkan saya telah hilang "hati", semua diukur dengan logika yang berparameter untung dan rugi dan diukur dengan perasaan yang berparameter nyaman dan tidak nyaman. Apa yang terjadi ? Saya hanya mengerjakan yang berhubungan dengan tujuan saya, dan saya melaksanakan apa yang menyenangkan saya. Disinilah timbul banyak konflik. Semangat saya jadi naik turun. Kadang tinggi dan kadang turun, apa sebabnya ? Karena ada senang dan ada kecewa terhadap hasil yang saya dapat.

Dari pengalaman tadi saya menemukan "hati" saya kembali. Dengan hati itu ada Allah, dan Allah adalah penolong dan sekaligus pemberi harapan (janji) yang terbaik. Hal ini tumbuh dari iman yang semakin baik. Saya mulai percaya dan yakin dengan meningkatkan iman, dan ternyata dalam perjalanannya saya merasa dengan iman itu saya jadi semangat. Setelah habis shalat, saya jadi semangat untuk bekerja kembali dengan produktivitas tinggi. Bayangkan saja, semangat itu semakin tinggi saat kita yakin apa yang kita kerjakan itu menuju harapan baru. Semangat itu tidak saya cari, tapi saya menemukannya (pemberian Allah) karena saya percaya (iman) kepada Allah. Allah yang memberi kehidupan ini, Allah yang mengatur segalanya untuk makhluknya lewat rezeki, Allah juga yang memberi petunjuk dan Allah pula yang menolong saya. Saya uji definisi yang saya buat, apa iya kalau saya percaya saya bersemangat ? Sewaktu saya membuat tujuan dan saya yakin tujuan itulah yang membawa saya menuju perubahan. Maka saat itu hadir semangat, semangat untuk mengerjakannya.  Sama halnya saya percaya bahwa Allah memberi kehidupan dunia dan akhirat lebih  baik, maka ada harapan dan semangat untuk menjalaninya (taqwa).  Akhirnya saya berkesimpulan bahwa semangat itu tidak perlu dicari dengan menciptakan tujuan atau keinginan, tapi  saya hanya perlu percaya tanpa ragu Allah petunjuk Allah. Dengan iman itu saya menjadi bersemangat dan sekaligus bertenaga energi sehingga pengen segera menjalani petunjuk Allah. 

Sebagai contoh, saat saya percaya bahwa Allahlah yang memberi ilmu kepada saya dan dengan ilmu ilmu saya mendapatkan amal jariah jika saya berbagi. Dan dengan ilmu itu saya bisa menjadi lebih mampu (naik lecel) dalam berkarir. Percaya kepada Allah tentang ilmu itu memberi saya semangat dan mendorong saya untuk belajar. Percaya kepada Allah yang mengatur semuanya, mengizinkan ilmunya dan membalas ata sedekah ilmu saya. Salah satu media dan fasilitas saya di kantor adalah belajar itu bekerja dengan produktivitas yang konsisten. Semangat yang mendasarkan kepada iman membuat saya untuk merawatnya (konsisten dan produktif). Adakalanya waktu dan dukungan kantor tidak kita dapatkan, maka belajar dengan otodidak dan menyesuaikan dengan kemampuan dan keuangan yang saya miliki. Bukankah ini adalah petunjuk Allah untuk hambaNya yang mau berubah (berubah sesuai kemampuan yang terus-menerus). Saat itu saya sebagai trainer, mengumpulkan peralatan presentasi secara bertahap, yang saya tabung dari sisa gaji. Awalnya saya beli proyektor, lalu audio sistem dan lainnya. Apa yang terjadi ? Saya bisa melakukan training dengan lebih baik lewat alat-alat yang saya miliki, ini adalah produktivitas. Saya percaya kepada Allah dengan selalu beribadah khusus dan saya pun produktif dalam bekerja. Produktivitas saya menimbulkan kepercayaan dari perusahaan sehingga karir saya meningkat dan tentunya gajipun lebih baik. 



Tidak saya saja yang mempraktekkan semangat ini, anak buah saya pun berhasi melakukannya. Saya memberi bimbingan dan bahkan mendrikan "sekolah" di perusahaan saya bekerja. Hasilnya beberapa murid dari bimbingan dan sekolah itu sudah mampu menduduki level manager di perusahaan lain. Alhamdulillahnya ketika saya sedang berbelanja atau main ke Mall, saya disapa oleh murid-murid saya yang sudah berhasil.  




Bagaimana ? Tertarik ? Saya berbagi ilmu ini dengan gratis. Bila ada yang ingin berkonsultasi, saya siap membantu. Buku "Semangat kerja yang konsisten" adalah buku pertama saya, dimana penulisan buku ini memakan waktu yang lama. Hal ini disebabkan banyak hal yang ingin dituliskan dan adanya keinginan menulis sempurna. Hampir 5 tahun buku baru terwujud dan diterbitkan. 

Insya Allah saya terus mengulas buku "Semangat kerja yang konsisten" dalam beberapa tulisan blog saya berikutnya. Saya ucapkan terima kasih.

Sahabatmu 

Munir Hasan Basri




Senin, Agustus 21, 2023

Amunisi Semangat

 Kalau ditanya tentang amunisi, banyak orang menjawab berhubungan dengan senjata. Memang begitulah persepsi lama, tapi sekarang amunisi bisa berhubungan dengan apa saja. Kalau dalam tentara, amunisi senjata dan peluru sangat menentukan kelangsungan operasi ketentaraan. Tanpa amunisi yang cukup membuat operasi menjadi terhenti dan bisa jadi tidak berhasil. Atau amunisi disiapkan bila diperlukan, yang dikirim dengan sangat cepat dan tepat.

Hari ini saya bicara amunisi untuk mempertahankan semangat kerja atau aktivitas. Kok pakai amunisi segala ? Faktanya beberapa orang bisa bersemangat kerja mulai pagi hingga siang aja dan berikutnya semangat turun atau di awal beraktivitas/kerja masih memiliki semangat tinggi dan tak lama menurun. Yang sering terjadi adalah awal tahun membuat komitmen untuk perubahan untuk masa depan yang lebih baik, tapi bulan Maret atau Juni atau sekarang (Agustus), bagaimana semangat perubahannya ? Sepertinya kembali kepada rutinitas biasa. Masih ada sih keinginan, tapi semangat untuk menggerakkannya sudah melemah. Semua kejadian ini terus berlangsung seiring waktu, dan apa yang diinginkan tak tercapai. Ada beberapa orang yang masih bisa membangkitkan semangatnya dan terus menuju keinginannya.

Apa sih yang terjadi ? Inilah yang saya bilang semangat tanpa ilmu, berjalan menuju keinginan tanpa perbekalan sehingga tidak mudah bertahan. Misalnya seorang penulis, mesti memiliki perbekalan (amunisi) yang cukup seperti membaca buku, menambah wawasan dan sejenisnya. Anumisi ini penulis dapat menjadi bekal  untuk ditulis dan menambah semangat menulisnya. Ada kalanya amunisi penulis ini bisa mendobrak sikap mental negatif dalam menulis. Atau kalau saya karyawan untuk mencapai target kerja, maka perlu amunisi yang benar (dengan ilmu), yang bukan sekedar "paksaan" dari atasan atau pekerjaan itu sendiri. Amunisi yang bener itu adalah meningkatkan kemampuan dengan ilmu yang mengantarkan saya menjadi mudah dan cepat menyelesaikan pekerjaan. Kalau hal ini tidak saya lakukan, maka saya hanya mengandalkan tuntutan dari pekerjaan itu ... terpaksa, hasilnya bisa ada tapi tidak memberi kebaikan.

Salah satu yang mesti saya pikiran tentang amunisi saya yaitu semangat, ya semangat yang konsisten. Bisa jadi 95% orang tidak pernah memikirkan amunisi semangat, yang penting semangat dulu dan kerja. karena sikap inilah banyak dari mereka mengalami kemerosotan semangat dan akhirnya kerjanya menjadi apa adanya. Pak Ogah bilang,"mau semangat cepek dulu" atau "wani piro". Seolah semangat itu bisa dibeli dengan uang. Berarti kalau semangat itu dibangkitkan oleh uang, maka orang kayalah yang paling bersemangat. Apakah iya ? BUkankah uang itu benda mati, hanya kertas atau hanya imajinasi uang itu sendiri yang mendorong orang untuk berbuat banyak hal. Yang bener, si A yang hebat yang menjadi penutan saya telah menjadi inspirator atau penyemangat saya. Kalau saya tanya, si A bisa mengatakan sesuatu yang membuat saya semangat. Kalau saya ada masalah, si A bisa menjawab dan diajak komunikasi sehingga memberikan solusi untuk meneruskan semangat. Begitulah semestinya semangat dengan amunisi yang bener.

Tapi yang menjadi pertanyaan saya, saat si A lagi tidak semangat juga (bukankah si A sama seperti saya). Iya ya ? Terus amunisi seperti apa yang saya butuhkan. Amunisi semangat saya itu mesti mutlak kebenarannya sehingga membuat saya melakukan kerjanya yang terus-menerus. Lalu siapa yang bisa memberikan itu ? Sesuatu yang lebih hebat dari manusia, siapa dia ? Allah swt, Tuhan yang menciptakan manusia dan saya. Hal ini terjadi yang dapat membangkitkan keimanan saya, keyakinan penuh. Yang luar biasanya, Allah menghadirkan hati yang bersemangat, yang berilmu dan yang berenergi. Hanya keyakinan kepada Allah lah yang mampu terus menjaga semangat untuk menuju tujuan (yang benar).

Bersemangat itu tidak cukup, tapi butuh ilmu yang mengantarkan saya kepada semangat yang konsisten. Semangat mesti berilmu dengan merencanakannya :

1. Memiliki energi yang kuat untuk beraktivitas/kerja

2. Melemahkan hal yang menghambat saya untuk tidak bersemangat.

3. Mendorong untuk selalu menjadi semakin baik sehingga semakin berkembang.

4. Memberi keyakinan diri untuk meraih keinginan bersama Allah swt (amunisi saya).

Mau ? Tulisan ini terdapat dalam buku saya,"Semangat kerja yang konsisten". Dalam buku semangat kerja yang konsisten ini dibahas banyak hal tentang semangat, pendorongnya, dan menemukan semangat yang sebenarnya.


Insya Allah tulisan hari ini bisa menginspirasi untuk memotivasi diri. Saya menyebutkan kultum motivasi untuk memberdayakan diri. 




Kamis, Agustus 03, 2023

Berkata baik itu buat diri sendiri

 Apa sih makna dari perkataan saya yang ucapkan ? Pertama adalah saya mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya saat itu. Misalkan dalam pikiran saya memikirkan "mau berbagi ilmu", maka perkataan saya adalah mengajak orang untuk ngobrol dan berdiskusi. Saya menyampaikan ilmunya. Ada kata,"Mas, tahu nggak tentang syukur ?" Saya mau berbagi nih dan seterusnya.

Untuk siapa sih ucapan yang saya sampaikan ? Untuk diri sendiri atau orang lain. Ucapan itu merupakan sesuatu yang saya keluarkan seringkali mengundang saya (membuat saya senang) untuk dinilai atau dihargai sama orang lain. Seperti memberi ilmu, memberi nasehat atau malah membimbing dan sebagainya. Kalau hal ini yang terjadi, maka saya bisa merasakan senang dan bisa juga merasakan tidak nyaman atas respon (nilai dari) orang lain. Porsi senangnya tidak melebihi dari yang tidak senang. Lalu jadi pertanyaan saya adalah buat apa dong saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tidak senang dan tidak nyaman ? Dari sini saya mulai berpikir ulang bahwa saya berkata baik dan sejenisnya adalah untuk saya sendiri.

Kok bisa saya berkata baik itu buat diri sendiri ? Kalau masih dalam pikiran, saya pun belum "mengamalkan apa yang saya yakini dalam pikiran". Maka saya mesti mengutarakannya agar saya memahaminya dengan benar. Apa yang ada dalam pikiran saya belum nyata, dan apa yang saya ucapkan menjadi nyata. Dimana nyatanya ? Ada feedback atas apa yang saya ucapkan, "kok jadi begini ?" atau "kayaknya saya salah ngucapin" dan sebagainya. Dan saya pun mendapatkan feedback dari orang lain, misalkan "Nggak begitu juga dan mesti dicek dulu bener atau nggaknya". Sebenarnya kedua feedback ini menjadi evaluasi untuk menyempurnakan ucapan saya (atau apa yang saya pikirkan). Jadi kedua feedback itu menjadi baik buat saya. 

Apa yang saya ucapkan menjadi nyata benernya, maka menambah keyakinan saya dalam berpikir. Tapi sebaliknya juga dapat mengkoreksi pikiran saya menjadi semakin bener. Biasanya feedback dari orang lain itu bisa bener, tapi saya cenderung sudah menilai orangnya yang kurang bener.

Apa sih yang saya rasakan saat ada feedback dari orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan saya ? Saya cenderung emosional dan tidak nyaman, sepertinya orang itu tidak menghargai saya. Penerimaan feedback orang lain dominan oleh emosional/perasaan bukan akal sehat sehingga saya tidak senang dan tidak nyaman. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu benar, maka ucapan saya dimaksudkan untuk menguji kebenaran ucapan saya. Dan orang lain yang saya ajak bicara mesti diacungi jempol dan ucapan terima kasih karena mau merespon dan tidak dibayar lagi.

Jangan pernah berpikir lagi bahwa ucapan saya adalah untuk orang lain. Untuk orang lain ? hanya dampaknya saja. Misalkan saya mengucapkan,"mas, jangan ke situ. Jalannya buntu". Makna pesan itu adalah saya pernah mengikuti jalan itu dan berharap orang lain tidak mengikutinya. Ada 2 kemungkinan yang terjadi orang itu mengikuti ucapan saya atau tidak mengikuti. Apapun yang dilakukan orang itu tidak menjadi penting buat saya. Pesan itu sudah membuat saya lebih baik.

Miliki buku Semangat kerja yang konsisten agar menjadi pribadi yang produktif.


Insya Allah saya mulai memahami bahwa ucapan saya adalah apa yang saya pikiran, dan apa yang saya pikirkan belum tentu bener (nyata baiknya). maka sampaikan untuk terus menguji dan memperbaiki menjadi semakin bener (nyata).



Pilih kata yang baik bagi diri

 Dalam beberapa hal memang tidak mudah untuk memilih kata yang baik bagi diri, apalagi dalam kondisi emosional. Lagi tidak nyaman, maka yang terucap adalah kata yang tidak mensupport saya menjadi lebih baik. Lagi malas, saya berkata,"Jangan ganggu saya dengan tensi suara tinggi". Kata "Ganggu" seolah membuat orang lain agak tidak nyaman, karena bisa jadi ada sesuatu yang baik mau disampaikan. Akibatnya saya selalu tidak dapat berpikir jernih (positif).

Mana yang lebih baik berkata :

"Saya sakit sudah 2 minggu ini" atau 

"Saya kurang sehat 2 minggu ini".

Kata "sakit" dan "sehat" memiliki dampak yang berbeda. Kata "sakit" mempengaruhi diri memang merasa sakit dan saya merasakan keadaan tidak nyaman. Sebaliknya menggunakan kata "kurang sehat" memberi semangat untuk sehat.

Bayangkan kalau saya terus mengatakan kata "sehat" daripada kata "sakit", maka dalam pikiran saya terus berakumulasi kata sehat dan dapat mendorong saya untuk selalu sehat. Untuk itu, saya melatih diri untuk menggantikan kata-kata berikut ini

1. Kata "akan" saya hilangkan dalam kalimat

2. Kata "besok" saya ganti dengan waktu dimaksud, misalkan hari Selasa, tgl sekian, bila perlu pukul sekian atau bisa mengatakan kata "hari berikutnya". Atau gantikan kata "nanti" dengan waktu yang dimaksud atau dihilangkan.

3. Kata "mungkin" memberi makna ya dan tidak. Sangat memberi motivasi jika saya menggunakan kata "Insya Allah" atau "bisa jadi". 

4. Selalu menggunakan kata "saya"  daripada kata "kita", "kami" dan sejenisnya. Hal ini untuk mengambil peran aktif dari saya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain (melibatkan orang lain)

5. Kata yang bermakna negatif diganti dengan menambahkan kata "tidak" atau "kurang" pada lawan katanya. 

    a. Kata "sakit" diganti dengan "tidak sehat"

    b. Kata "malas" menjadi "tidak rajin"

    c. Kata "gagal" menjadi "belum sukses"

    d. dan lainnya

6. Bisa juga saya membuat kalimat positif, dimana didalam kalimatnya ada kata negatif. Kata negatif yang digunakan belum ada yang bisa menjelaskan dengan baik dan dikhawatirkan kalimat menjadi kurang dipahami.

Sebenarnya yang terpenting bagaimana saya membangun sikap dengan menggunakan kalimat yang baik dan membalas respond dengan kalimat yang baik pula terhadap apa yang saya alami. Perhatikan dalam kondisi cuaca yang panas, saya cenderung mengatakan "panas bener hari ini". Ini sudah tidak baik buat saya karena menyimpan memori yang kuat dalam pikiran (emosional saat itu merasakan bener panasnya). Alangkah baiknya saya mengatakan "Alhamdulillah cuaca hari ini bisa menyemangati saya". Selain dalam cuaca panas tersebut semua orang seperti buru-buru dalam berkendara. Maka respon saya mesti yang baik, yaitu tetap berkendara tanpa emosional.

Memilih kata yang baik bisa tercermin dari perilaku saya. Misalkan saya bisa membangunkan anak saya dengan suara bahkan dengan tekanan suara lebih tinggi. Ini bentuk "kekecewaan" karena anak susah dibangunkan. Alangkah baiknya saya membangunkan anak saya dengan menepuk pundak atau badannya agar bisa bangun. Banyak hal lain yang bisa saya bangun untuk membangun diri menjadi semakin baik, lewat kata baik dan perilaku baik.

Insya Allah, ini adalah amal saleh dari sebuah keyakinan (iman) saya kepada Allah sehingga saya mendapatkan kekuatan untuk istiqamah menjalaninya. Laa haula Wa Laa Quwwata illa billah. 

Selasa, Agustus 01, 2023

Dampak tidak berpikir positif

 Ada beberapa hal yang bisa saya ungkapkan untuk menemukan beberapa orang belum mampu berpikir positif. Alasan kuat adalah adanya dorongan emosional, gengsi, ketersinggungan, membela harga diri, pernah kecewa dan sejenisnya. Semua keadaan ini adalah trigger belum mampu berpikir positif. Akibatnya interaksi dua orang atau lebih dengan belum mampu berpikir positif adalah konflik ringan sampai besar.

Berita TV yang mengabarkan hanya soal uang parkir yang diperebutkan 2 kelompok menyebabkan perkelahian masal yang menyebabkan korban meninggal. Begitu juga persoalan rumah tangga, hanya karena cemburu mengundang cekcok sampai kepada KDRT. Hampir setiap hari saya mendengar berita ketidakmampuan berpikir positif menjadi konflik yang besar. Apakah saya mau mengalami hal seperti ini ? Terlihatnya sepele tapi dampaknya luar biasa tidak baiknya.

Ketidakmampuan seorang karyawan berpikir positif dapat mengundang pola pikir yang tidak baik, demotivasi dan menurunnya produktivitas. Karyawan yang tidak terima hanya karena ditegur atasannya, yang menyebabkan karyawan menjadi tidak nyaman dan membalas dengan kerja yang produktif. 

Setiap orang selalu ada kecenderungan untuk membalas dengan hal yang sama, jika menerima perlakukan tidak positif. Semua ini berawal dari pola tidak berpikir positif. Terus, apa yang bisa saya lakukan ? Berempati ... merasakan orang yang belum mampu berpikir positif, yang sebenarnya ingin berpikir positif tapi belum menguasai dirinya dengan benar. Karena saya atau Anda tidak bisa mengontrol dan menguasai orang lain untuk berpikir dan bertindak kepada saya. Maka  sayalah yang harus memulai berpikir positif dan selalu membalas perlakuan yang tidak positif dengan pikiran positif. Tidak mudah, karena dalam diri saya pun selalu ada dorongan atau bisikan untuk membalas yang sama,"enak aja saya diperlakukan begitu, saya pun bisa".

Apa yang sih yang diharapkan orang yang belum mampu berpikir positif dari saya ? Orang seperti ini merasa benar dan ingin menyampaikan orang lain itu salah. "Kamu itu kerjanya tidak bener", kata temen. Respon pikiran saya di awal adalah membantah dan membela diri, tapi sejatinya saya tak perlu menanggapi hal tersebut. Cukuplah berterima kasih atas ucapannya dan selanjutnya saya perbaiki apa yang dikatakan. Interaksi tersebut tidak lama, tapi jika saya meladeni ucapan itu dapat menyebabkan perdebatan yang panjang dan menyakitkan. Cara ini adalah cara terbaik dan sangat baik buat diri saya untuk menjaga dapat berpikir positif terus dan bisa juga memberi cermin kepada orang lain bahwa berpikir positif itu sehat dan nyaman.

Disisi lain, saat orang lain berpikir tidak positif tidak perlu saya ikutan. Yang menjadi persoalan bukan pada diri saya, dan saya tidak mau meracuni pikiran saya dengan ikut-ikutan menjadi tidak positif. Keadaan ini menjadi dorongan motivasi saya untuk menjaga dan memelihara selalu berpikir positif. Dan akhirnya, berpikir positif bukan sekedar untuk kebaikan diri saya, tapi merupakan rasa syukur saya kepada Allah yang telah memberi pikiran dan hati. Jika ini saya lakukan, maka kekuatan untuk berpikir positif menjadi semakin besar karena ada energi Allah bersama saya. 

Berdasarkan hal terakhir di atas, berpikir positif bukan lagi tidak mudah, tapi menjadi ringan dan ikhlas (tidak dipaksakan). Misalkan saat menunggu orang yang janjinya terlambat, maka tak perlu ada prasangka tidak baik kepada orang tersebut. Tapi saya bisa berpikir positif, seperti saya mendoakan orang tersebut dimudahkan dan dilancarkan untuk selamat bertemu dengan saya, dan waktu menunggu saya gunakan untuk hal positif apa saja. Sesampainya orang tersebut, sayapun tak perlu membahas keterlambatannya tapi membicarakan pertemuan yang sudah disiapkan. Apa yang terjadi setelah itu ? Orang yang terlambat memuji kepribadian saya dan selalu mendukung saya. Inilah yang balasan kebaikan (berpikir positif) itu kepada saya, dan memang begitulah lidah dan hati saya diciptakan Allah bukan untuk tindakan yang tidak baik, tapi mengajak lidah dan hati untuk berdoa. Tak perlu juga membalas dengan mengatakan tidak profesional dan sebagainya, tapi mengajak untuk fokus kepada apa yang dibicarakan. 

Tulisan ini menjadi ulasan dari buku kami "semangat kerja yang konsisten"


Insya Allah berpikir positif itu berdampak baik bagi diri saya sendiri, yang membuat pikiran saya sehat dan mampu mengendalikan diri, serta mendapatkan kekuatan dari Allah. Akhirnya saya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Featured post

Dari Mata turun ke pikiran

 Salam bahagia selalu, merasa bahagia itu penting dan membuat diri kita menjadi semakin bahagia. Insya Allah imajinasi dan apa yang kita lih...