Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri
Showing posts with label buku semangat kerja yang konsisten. Show all posts
Showing posts with label buku semangat kerja yang konsisten. Show all posts

Amunisi Semangat

 Kalau ditanya tentang amunisi, banyak orang menjawab berhubungan dengan senjata. Memang begitulah persepsi lama, tapi sekarang amunisi bisa berhubungan dengan apa saja. Kalau dalam tentara, amunisi senjata dan peluru sangat menentukan kelangsungan operasi ketentaraan. Tanpa amunisi yang cukup membuat operasi menjadi terhenti dan bisa jadi tidak berhasil. Atau amunisi disiapkan bila diperlukan, yang dikirim dengan sangat cepat dan tepat.

Hari ini saya bicara amunisi untuk mempertahankan semangat kerja atau aktivitas. Kok pakai amunisi segala ? Faktanya beberapa orang bisa bersemangat kerja mulai pagi hingga siang aja dan berikutnya semangat turun atau di awal beraktivitas/kerja masih memiliki semangat tinggi dan tak lama menurun. Yang sering terjadi adalah awal tahun membuat komitmen untuk perubahan untuk masa depan yang lebih baik, tapi bulan Maret atau Juni atau sekarang (Agustus), bagaimana semangat perubahannya ? Sepertinya kembali kepada rutinitas biasa. Masih ada sih keinginan, tapi semangat untuk menggerakkannya sudah melemah. Semua kejadian ini terus berlangsung seiring waktu, dan apa yang diinginkan tak tercapai. Ada beberapa orang yang masih bisa membangkitkan semangatnya dan terus menuju keinginannya.

Apa sih yang terjadi ? Inilah yang saya bilang semangat tanpa ilmu, berjalan menuju keinginan tanpa perbekalan sehingga tidak mudah bertahan. Misalnya seorang penulis, mesti memiliki perbekalan (amunisi) yang cukup seperti membaca buku, menambah wawasan dan sejenisnya. Anumisi ini penulis dapat menjadi bekal  untuk ditulis dan menambah semangat menulisnya. Ada kalanya amunisi penulis ini bisa mendobrak sikap mental negatif dalam menulis. Atau kalau saya karyawan untuk mencapai target kerja, maka perlu amunisi yang benar (dengan ilmu), yang bukan sekedar "paksaan" dari atasan atau pekerjaan itu sendiri. Amunisi yang bener itu adalah meningkatkan kemampuan dengan ilmu yang mengantarkan saya menjadi mudah dan cepat menyelesaikan pekerjaan. Kalau hal ini tidak saya lakukan, maka saya hanya mengandalkan tuntutan dari pekerjaan itu ... terpaksa, hasilnya bisa ada tapi tidak memberi kebaikan.

Salah satu yang mesti saya pikiran tentang amunisi saya yaitu semangat, ya semangat yang konsisten. Bisa jadi 95% orang tidak pernah memikirkan amunisi semangat, yang penting semangat dulu dan kerja. karena sikap inilah banyak dari mereka mengalami kemerosotan semangat dan akhirnya kerjanya menjadi apa adanya. Pak Ogah bilang,"mau semangat cepek dulu" atau "wani piro". Seolah semangat itu bisa dibeli dengan uang. Berarti kalau semangat itu dibangkitkan oleh uang, maka orang kayalah yang paling bersemangat. Apakah iya ? BUkankah uang itu benda mati, hanya kertas atau hanya imajinasi uang itu sendiri yang mendorong orang untuk berbuat banyak hal. Yang bener, si A yang hebat yang menjadi penutan saya telah menjadi inspirator atau penyemangat saya. Kalau saya tanya, si A bisa mengatakan sesuatu yang membuat saya semangat. Kalau saya ada masalah, si A bisa menjawab dan diajak komunikasi sehingga memberikan solusi untuk meneruskan semangat. Begitulah semestinya semangat dengan amunisi yang bener.

Tapi yang menjadi pertanyaan saya, saat si A lagi tidak semangat juga (bukankah si A sama seperti saya). Iya ya ? Terus amunisi seperti apa yang saya butuhkan. Amunisi semangat saya itu mesti mutlak kebenarannya sehingga membuat saya melakukan kerjanya yang terus-menerus. Lalu siapa yang bisa memberikan itu ? Sesuatu yang lebih hebat dari manusia, siapa dia ? Allah swt, Tuhan yang menciptakan manusia dan saya. Hal ini terjadi yang dapat membangkitkan keimanan saya, keyakinan penuh. Yang luar biasanya, Allah menghadirkan hati yang bersemangat, yang berilmu dan yang berenergi. Hanya keyakinan kepada Allah lah yang mampu terus menjaga semangat untuk menuju tujuan (yang benar).

Bersemangat itu tidak cukup, tapi butuh ilmu yang mengantarkan saya kepada semangat yang konsisten. Semangat mesti berilmu dengan merencanakannya :

1. Memiliki energi yang kuat untuk beraktivitas/kerja

2. Melemahkan hal yang menghambat saya untuk tidak bersemangat.

3. Mendorong untuk selalu menjadi semakin baik sehingga semakin berkembang.

4. Memberi keyakinan diri untuk meraih keinginan bersama Allah swt (amunisi saya).

Mau ? Tulisan ini terdapat dalam buku saya,"Semangat kerja yang konsisten". Dalam buku semangat kerja yang konsisten ini dibahas banyak hal tentang semangat, pendorongnya, dan menemukan semangat yang sebenarnya.


Insya Allah tulisan hari ini bisa menginspirasi untuk memotivasi diri. Saya menyebutkan kultum motivasi untuk memberdayakan diri. 




Berkata baik itu buat diri sendiri

 Apa sih makna dari perkataan saya yang ucapkan ? Pertama adalah saya mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya saat itu. Misalkan dalam pikiran saya memikirkan "mau berbagi ilmu", maka perkataan saya adalah mengajak orang untuk ngobrol dan berdiskusi. Saya menyampaikan ilmunya. Ada kata,"Mas, tahu nggak tentang syukur ?" Saya mau berbagi nih dan seterusnya.

Untuk siapa sih ucapan yang saya sampaikan ? Untuk diri sendiri atau orang lain. Ucapan itu merupakan sesuatu yang saya keluarkan seringkali mengundang saya (membuat saya senang) untuk dinilai atau dihargai sama orang lain. Seperti memberi ilmu, memberi nasehat atau malah membimbing dan sebagainya. Kalau hal ini yang terjadi, maka saya bisa merasakan senang dan bisa juga merasakan tidak nyaman atas respon (nilai dari) orang lain. Porsi senangnya tidak melebihi dari yang tidak senang. Lalu jadi pertanyaan saya adalah buat apa dong saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tidak senang dan tidak nyaman ? Dari sini saya mulai berpikir ulang bahwa saya berkata baik dan sejenisnya adalah untuk saya sendiri.

Kok bisa saya berkata baik itu buat diri sendiri ? Kalau masih dalam pikiran, saya pun belum "mengamalkan apa yang saya yakini dalam pikiran". Maka saya mesti mengutarakannya agar saya memahaminya dengan benar. Apa yang ada dalam pikiran saya belum nyata, dan apa yang saya ucapkan menjadi nyata. Dimana nyatanya ? Ada feedback atas apa yang saya ucapkan, "kok jadi begini ?" atau "kayaknya saya salah ngucapin" dan sebagainya. Dan saya pun mendapatkan feedback dari orang lain, misalkan "Nggak begitu juga dan mesti dicek dulu bener atau nggaknya". Sebenarnya kedua feedback ini menjadi evaluasi untuk menyempurnakan ucapan saya (atau apa yang saya pikirkan). Jadi kedua feedback itu menjadi baik buat saya. 

Apa yang saya ucapkan menjadi nyata benernya, maka menambah keyakinan saya dalam berpikir. Tapi sebaliknya juga dapat mengkoreksi pikiran saya menjadi semakin bener. Biasanya feedback dari orang lain itu bisa bener, tapi saya cenderung sudah menilai orangnya yang kurang bener.

Apa sih yang saya rasakan saat ada feedback dari orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan saya ? Saya cenderung emosional dan tidak nyaman, sepertinya orang itu tidak menghargai saya. Penerimaan feedback orang lain dominan oleh emosional/perasaan bukan akal sehat sehingga saya tidak senang dan tidak nyaman. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu benar, maka ucapan saya dimaksudkan untuk menguji kebenaran ucapan saya. Dan orang lain yang saya ajak bicara mesti diacungi jempol dan ucapan terima kasih karena mau merespon dan tidak dibayar lagi.

Jangan pernah berpikir lagi bahwa ucapan saya adalah untuk orang lain. Untuk orang lain ? hanya dampaknya saja. Misalkan saya mengucapkan,"mas, jangan ke situ. Jalannya buntu". Makna pesan itu adalah saya pernah mengikuti jalan itu dan berharap orang lain tidak mengikutinya. Ada 2 kemungkinan yang terjadi orang itu mengikuti ucapan saya atau tidak mengikuti. Apapun yang dilakukan orang itu tidak menjadi penting buat saya. Pesan itu sudah membuat saya lebih baik.

Miliki buku Semangat kerja yang konsisten agar menjadi pribadi yang produktif.


Insya Allah saya mulai memahami bahwa ucapan saya adalah apa yang saya pikiran, dan apa yang saya pikirkan belum tentu bener (nyata baiknya). maka sampaikan untuk terus menguji dan memperbaiki menjadi semakin bener (nyata).



Pilih kata yang baik bagi diri

 Dalam beberapa hal memang tidak mudah untuk memilih kata yang baik bagi diri, apalagi dalam kondisi emosional. Lagi tidak nyaman, maka yang terucap adalah kata yang tidak mensupport saya menjadi lebih baik. Lagi malas, saya berkata,"Jangan ganggu saya dengan tensi suara tinggi". Kata "Ganggu" seolah membuat orang lain agak tidak nyaman, karena bisa jadi ada sesuatu yang baik mau disampaikan. Akibatnya saya selalu tidak dapat berpikir jernih (positif).

Mana yang lebih baik berkata :

"Saya sakit sudah 2 minggu ini" atau 

"Saya kurang sehat 2 minggu ini".

Kata "sakit" dan "sehat" memiliki dampak yang berbeda. Kata "sakit" mempengaruhi diri memang merasa sakit dan saya merasakan keadaan tidak nyaman. Sebaliknya menggunakan kata "kurang sehat" memberi semangat untuk sehat.

Bayangkan kalau saya terus mengatakan kata "sehat" daripada kata "sakit", maka dalam pikiran saya terus berakumulasi kata sehat dan dapat mendorong saya untuk selalu sehat. Untuk itu, saya melatih diri untuk menggantikan kata-kata berikut ini

1. Kata "akan" saya hilangkan dalam kalimat

2. Kata "besok" saya ganti dengan waktu dimaksud, misalkan hari Selasa, tgl sekian, bila perlu pukul sekian atau bisa mengatakan kata "hari berikutnya". Atau gantikan kata "nanti" dengan waktu yang dimaksud atau dihilangkan.

3. Kata "mungkin" memberi makna ya dan tidak. Sangat memberi motivasi jika saya menggunakan kata "Insya Allah" atau "bisa jadi". 

4. Selalu menggunakan kata "saya"  daripada kata "kita", "kami" dan sejenisnya. Hal ini untuk mengambil peran aktif dari saya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain (melibatkan orang lain)

5. Kata yang bermakna negatif diganti dengan menambahkan kata "tidak" atau "kurang" pada lawan katanya. 

    a. Kata "sakit" diganti dengan "tidak sehat"

    b. Kata "malas" menjadi "tidak rajin"

    c. Kata "gagal" menjadi "belum sukses"

    d. dan lainnya

6. Bisa juga saya membuat kalimat positif, dimana didalam kalimatnya ada kata negatif. Kata negatif yang digunakan belum ada yang bisa menjelaskan dengan baik dan dikhawatirkan kalimat menjadi kurang dipahami.

Sebenarnya yang terpenting bagaimana saya membangun sikap dengan menggunakan kalimat yang baik dan membalas respond dengan kalimat yang baik pula terhadap apa yang saya alami. Perhatikan dalam kondisi cuaca yang panas, saya cenderung mengatakan "panas bener hari ini". Ini sudah tidak baik buat saya karena menyimpan memori yang kuat dalam pikiran (emosional saat itu merasakan bener panasnya). Alangkah baiknya saya mengatakan "Alhamdulillah cuaca hari ini bisa menyemangati saya". Selain dalam cuaca panas tersebut semua orang seperti buru-buru dalam berkendara. Maka respon saya mesti yang baik, yaitu tetap berkendara tanpa emosional.

Memilih kata yang baik bisa tercermin dari perilaku saya. Misalkan saya bisa membangunkan anak saya dengan suara bahkan dengan tekanan suara lebih tinggi. Ini bentuk "kekecewaan" karena anak susah dibangunkan. Alangkah baiknya saya membangunkan anak saya dengan menepuk pundak atau badannya agar bisa bangun. Banyak hal lain yang bisa saya bangun untuk membangun diri menjadi semakin baik, lewat kata baik dan perilaku baik.

Insya Allah, ini adalah amal saleh dari sebuah keyakinan (iman) saya kepada Allah sehingga saya mendapatkan kekuatan untuk istiqamah menjalaninya. Laa haula Wa Laa Quwwata illa billah. 

Dampak tidak berpikir positif

 Ada beberapa hal yang bisa saya ungkapkan untuk menemukan beberapa orang belum mampu berpikir positif. Alasan kuat adalah adanya dorongan emosional, gengsi, ketersinggungan, membela harga diri, pernah kecewa dan sejenisnya. Semua keadaan ini adalah trigger belum mampu berpikir positif. Akibatnya interaksi dua orang atau lebih dengan belum mampu berpikir positif adalah konflik ringan sampai besar.

Berita TV yang mengabarkan hanya soal uang parkir yang diperebutkan 2 kelompok menyebabkan perkelahian masal yang menyebabkan korban meninggal. Begitu juga persoalan rumah tangga, hanya karena cemburu mengundang cekcok sampai kepada KDRT. Hampir setiap hari saya mendengar berita ketidakmampuan berpikir positif menjadi konflik yang besar. Apakah saya mau mengalami hal seperti ini ? Terlihatnya sepele tapi dampaknya luar biasa tidak baiknya.

Ketidakmampuan seorang karyawan berpikir positif dapat mengundang pola pikir yang tidak baik, demotivasi dan menurunnya produktivitas. Karyawan yang tidak terima hanya karena ditegur atasannya, yang menyebabkan karyawan menjadi tidak nyaman dan membalas dengan kerja yang produktif. 

Setiap orang selalu ada kecenderungan untuk membalas dengan hal yang sama, jika menerima perlakukan tidak positif. Semua ini berawal dari pola tidak berpikir positif. Terus, apa yang bisa saya lakukan ? Berempati ... merasakan orang yang belum mampu berpikir positif, yang sebenarnya ingin berpikir positif tapi belum menguasai dirinya dengan benar. Karena saya atau Anda tidak bisa mengontrol dan menguasai orang lain untuk berpikir dan bertindak kepada saya. Maka  sayalah yang harus memulai berpikir positif dan selalu membalas perlakuan yang tidak positif dengan pikiran positif. Tidak mudah, karena dalam diri saya pun selalu ada dorongan atau bisikan untuk membalas yang sama,"enak aja saya diperlakukan begitu, saya pun bisa".

Apa yang sih yang diharapkan orang yang belum mampu berpikir positif dari saya ? Orang seperti ini merasa benar dan ingin menyampaikan orang lain itu salah. "Kamu itu kerjanya tidak bener", kata temen. Respon pikiran saya di awal adalah membantah dan membela diri, tapi sejatinya saya tak perlu menanggapi hal tersebut. Cukuplah berterima kasih atas ucapannya dan selanjutnya saya perbaiki apa yang dikatakan. Interaksi tersebut tidak lama, tapi jika saya meladeni ucapan itu dapat menyebabkan perdebatan yang panjang dan menyakitkan. Cara ini adalah cara terbaik dan sangat baik buat diri saya untuk menjaga dapat berpikir positif terus dan bisa juga memberi cermin kepada orang lain bahwa berpikir positif itu sehat dan nyaman.

Disisi lain, saat orang lain berpikir tidak positif tidak perlu saya ikutan. Yang menjadi persoalan bukan pada diri saya, dan saya tidak mau meracuni pikiran saya dengan ikut-ikutan menjadi tidak positif. Keadaan ini menjadi dorongan motivasi saya untuk menjaga dan memelihara selalu berpikir positif. Dan akhirnya, berpikir positif bukan sekedar untuk kebaikan diri saya, tapi merupakan rasa syukur saya kepada Allah yang telah memberi pikiran dan hati. Jika ini saya lakukan, maka kekuatan untuk berpikir positif menjadi semakin besar karena ada energi Allah bersama saya. 

Berdasarkan hal terakhir di atas, berpikir positif bukan lagi tidak mudah, tapi menjadi ringan dan ikhlas (tidak dipaksakan). Misalkan saat menunggu orang yang janjinya terlambat, maka tak perlu ada prasangka tidak baik kepada orang tersebut. Tapi saya bisa berpikir positif, seperti saya mendoakan orang tersebut dimudahkan dan dilancarkan untuk selamat bertemu dengan saya, dan waktu menunggu saya gunakan untuk hal positif apa saja. Sesampainya orang tersebut, sayapun tak perlu membahas keterlambatannya tapi membicarakan pertemuan yang sudah disiapkan. Apa yang terjadi setelah itu ? Orang yang terlambat memuji kepribadian saya dan selalu mendukung saya. Inilah yang balasan kebaikan (berpikir positif) itu kepada saya, dan memang begitulah lidah dan hati saya diciptakan Allah bukan untuk tindakan yang tidak baik, tapi mengajak lidah dan hati untuk berdoa. Tak perlu juga membalas dengan mengatakan tidak profesional dan sebagainya, tapi mengajak untuk fokus kepada apa yang dibicarakan. 

Tulisan ini menjadi ulasan dari buku kami "semangat kerja yang konsisten"


Insya Allah berpikir positif itu berdampak baik bagi diri saya sendiri, yang membuat pikiran saya sehat dan mampu mengendalikan diri, serta mendapatkan kekuatan dari Allah. Akhirnya saya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...