Alhamdulillahirabbilalamin, Allah telah memberi ilmu yang banyak, tapi kadang kita tidak merasakannya. Seringkali kita menganggap kecil ilmu tersebut. Padahal ilmu itu bila didalami memberi kebaikan yang banyak. Tetapi disisi lain ada orang yang tahu sedikit ngakunya tahu banyak. Insya Allah kita bisa sadar diri dan menjadi hamba yang mau semakin baik.

Dalam dunia kerja, sudah lazim soal delegasi. Setiap hari delegasi berlangsung, dari atasan ke bawahan. Bisa bernilai kecil sampai yang besar. Kata atasan, "Saya banyak tugas dan target yang lebih besar, maka saya meminta bawahan bantu saya". Setiap karyawan pernah mengalami delegasi tugas atau wewenang, baik sebagai bawahan atau juga sebagai atasan. Secara umum, delegasi tugas biasanya dilakukan dari atasan ke bawahan karena atasan memiliki tanggung jawab untuk mengelola tim dan memastikan pekerjaan terselesaikan. Namun, dalam praktik kerja modern, delegasi dari bawahan ke atasan bisa saja terjadi, meskipun dalam konteks yang berbeda. Kali ini saya menekankan delegasi dan wewenang dari bos yang sok tahu. Bos yang tidak memiliki kemampuan yang mumpuni, tapi berlagak bos. Bos yang tidak meniti dari bawah dan hanya belajar sedikit. Yang bisa dilakukan bos sok tahu ... hanya memberi tugas kepada bawahan yang dipercayanya agar tidak semua orang tahu bahwa dia adalah bos sok tahu.

Berikut ini ada obrolan 3 sahabat hati (hangat dan inspiratif) tentang kejadian dengan bos sok tahu, "Tiga Sekawan dan Satu Bos Maha Tahu"
Di Ruang kerja kecil, jam 10 pagi, kopi sudah dingin, tapi konflik masih panas.
Myra: “Guys, ini tugas dari Pak Damar lagi. Katanya urgent. Tapi brief-nya cuma satu kalimat: ‘Saya tahu, tolong diselesaikan.’ Lah, tahu apanya?!”
Mamat: “Gue udah bilang dari kemarin, kita butuh detail. Tapi tiap nanya, jawabannya selalu: ‘Saya sedang fokus ke hal yang lebih besar.’ Emangnya kita ini semut?”
Bujang: “Udah lah, kalian ribut mulu. Kita kerjain aja. Toh ujung-ujungnya kalau gagal, kita juga yang disalahin. Kalau berhasil, dia yang update di LinkedIn.
Myra: “Bujang, kamu tuh terlalu pasrah. Kita harus lawan sistem ini!”
Mamat: “Iya, kita bikin revolusi! Tapi... abis makan siang ya. Gue lapar.”
[Semua diam sejenak. Lalu notifikasi masuk: “Reminder: Deadline tugas jam 3 sore.”]
Bujang: “Oke, revolusinya kita jadwalin minggu depan. Sekarang kita kerjain dulu. Tapi sambil ngedumel, biar tetap waras.”
Myra: “Setuju. Tapi nanti kalau Pak Damar bilang ‘Saya tahu ini akan berhasil’, gue yang pertama lempar stapler.”
Mamat: “Gue yang pegang printer-nya.”
Bujang: “Gue yang rekam buat konten TikTok.”
Di sebuah kantor yang sibuk, ada seorang bos bernama Pak Damar. Ia dikenal bukan karena kepemimpinannya yang inspiratif, tapi karena satu kalimat andalannya: "Saya tahu, tolong diselesaikan karena saya tidak ada waktu dan ada tugas yang lebih besar yang saya lakukan."
Setiap kali tim menghadapi masalah kompleks, alih-alih berdiskusi atau memberi arahan yang jelas, Pak Damar langsung memotong pembicaraan. Ia tidak ingin mendengar penjelasan panjang, apalagi masukan dari tim. Baginya, semua masalah bisa diselesaikan asal "dikerjakan saja."
Suatu hari, tim menghadapi kendala teknis dalam proyek klien besar. Mereka butuh keputusan strategis, tapi saat mereka mencoba menjelaskan, Pak Damar langsung berkata:
"Saya tahu masalahnya. Ini bukan hal besar. Tolong diselesaikan. Saya sedang mengurus hal yang lebih penting."
Tim pun terdiam. Mereka tahu, Pak Damar sebenarnya tidak benar-benar memahami masalahnya. Tapi karena perintah sudah keluar, mereka mencoba menyelesaikannya sendiri. Hasilnya? Proyek jadi kacau, klien kecewa, dan akhirnya... Pak Damar menyalahkan tim karena tidak "mengantisipasi risiko."
Cerita seperti ini sering terjadi di lingkungan kerja di mana komunikasi satu arah dan ego lebih dominan daripada kolaborasi. Bos yang sok tahu sering kali merasa harus terlihat paling pintar, padahal justru menghambat solusi yang lebih baik.
Bosku, Sang Maha Tahu
Di sebuah kantor yang katanya “inovatif”, hiduplah seorang bos bernama Pak Damar. Gelarnya bukan S.T. atau M.M., tapi S.M.T. — Sang Maha Tahu.
Setiap pagi, tim rapat. Mereka sudah siap dengan data, analisis, dan solusi. Tapi sebelum satu slide pun ditampilkan, Pak Damar langsung angkat tangan:
“Saya tahu. Ini masalah kecil. Tolong diselesaikan. Saya sedang mengurus tugas yang lebih besar.”
Tugas lebih besar itu? Menentukan warna latar presentasi untuk meeting minggu depan.
Ketika tim bertanya soal anggaran yang tidak cocok, Pak Damar menjawab: “Saya tahu. Anggaran itu fleksibel. Kita pakai feeling saja.” Saat sistem error dan butuh keputusan teknis, Pak Damar berkata: “Saya tahu. Restart saja komputernya. Kalau masih error, ya berarti bukan masalah kita.”
Tim pun bingung. Mereka mulai membuat istilah baru: “Damarisasi”, yaitu proses menyederhanakan masalah kompleks menjadi kalimat ajaib: “Saya tahu, tolong diselesaikan.”
Suatu hari, proyek besar gagal total. Klien marah, sistem kacau, dan reputasi hancur. Pak Damar pun mengumpulkan tim dan berkata: “Saya tahu ini akan terjadi. Tapi saya sedang fokus pada hal yang lebih besar: rebranding logo kantor.”
Seringkali bos Sang Maha Tahu, hanya bisa ngomong dengan pintar, yang hanya bicara dikit-dikit dan kalau ditanya detail, si Bos gelapan dengan berbagai alasan. Pengalaman orang menjadi penting saat menghadapi bo Sang Maha Tahu
Strategi Menghadapi Bos Sok Tahu & Tukang Salahkan
1. Dokumentasi adalah Kunci
Selalu simpan bukti komunikasi, instruksi, dan keputusan. Bisa lewat email, chat, atau catatan rapat. Ini berguna saat ada konflik atau tuduhan yang tidak adil.
Contoh: “Sesuai arahan Bapak di email tanggal 12, kami sudah jalankan langkah tersebut.”
Atau ada kesalahan dalam membuat surat dan saat memperbaiki surat disalahkan lagi dan seterusnya. Langkah yang ditempuh adalah pada surat yang salah minta bos menuliskan kata yang bener (dengan mencoret yang salah). Lalu saat menghadap lagi, kita bawa coretan dari bos, saat kita menghadap lagi.
2. Jangan Debat, Tapi Klarifikasi
Daripada berdebat, ajukan pertanyaan yang mengarah ke klarifikasi. Ini bisa bantu bos merasa tetap “berkuasa” tapi kamu tetap dapat informasi yang kamu butuhkan.
“Baik Pak, jadi maksudnya kita fokus ke bagian A dulu, lalu lanjut ke B, ya?”
Atau kita mencari tahu tentang bos dari sekretaris atau orang yang dipercaya. Dengan tahu banyak gaya dan perilaku bos dari sumber yang dipercaya, maka kita tidak perlu banyak berdebat tapi memberi solusi yang biasa disukai bos.
3. Gunakan Bahasa yang Diplomatis
Kalau bos mulai menyalahkan, jangan langsung defensif. Gunakan bahasa yang netral dan fokus pada solusi.
“Terima kasih masukannya, Pak. Kami evaluasi dan pastikan ke depan lebih tepat sasaran.”
4. Bangun Aliansi Internal
Kalau kamu punya Myra, Mamat, dan Bujang di tim, manfaatkan mereka! Diskusi bareng, saling backup, dan jaga kekompakan. Kadang solidaritas tim bisa jadi tameng dari tekanan atasan.
5. Tetap Profesional, Tapi Jangan Jadi Karpet
Jangan biarkan dirimu jadi tempat bos “mengelap” kesalahan. Kalau memang bukan tanggung jawabmu, sampaikan dengan sopan tapi tegas.
“Kami siap bantu, Pak. Tapi untuk bagian ini, sepertinya perlu koordinasi dengan tim X dulu.”
6. Evaluasi Jangka Panjang
Kalau situasinya terus berulang dan merusak mental atau kariermu, mungkin saatnya evaluasi: apakah lingkungan ini masih sehat untukmu?
Ternyata ada kalanya bos delegasikan tugasnya karena beberapa hal. Sikap atasan terhadap bawahan yang mendelegasikan tugas bisa sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan mereka. Mari kita lihat dua tipe yang kamu sebutkan: bossy dan sebaliknya (mungkin lebih terbuka atau kolaboratif).
1. Atasan Bossy (Otoriter atau Dominan)
Ciri-ciri:
- Suka mengontrol detail pekerjaan
- Kurang memberi ruang untuk inisiatif bawahan
- Menganggap dirinya sebagai satu-satunya pengambil keputusan
- Respons terhadap delegasi dari bawahan:
- Bisa merasa tersinggung atau menganggap bawahan tidak kompeten
- Menolak permintaan dengan alasan “itu tugasmu”
- Kurang terbuka terhadap diskusi atau kolaborasi
Cara menyikapi:
Gunakan pendekatan komunikasi yang diplomatis, misalnya:
“Saya sudah berusaha menyelesaikan bagian ini, tapi ada kendala yang mungkin lebih cocok ditangani oleh level manajerial. Boleh saya minta arahan atau dukungan?”
Fokus pada eskalasi masalah, bukan “mendelegasikan” langsung
Sertakan data atau alasan kuat kenapa tugas tersebut perlu bantuan atasan
Atasan Kolaboratif atau Terbuka
Ciri-ciri:
- Mendorong komunikasi dua arah
- Memberi ruang untuk diskusi dan ide dari tim
- Tidak keberatan turun tangan jika dibutuhkan
- Respons terhadap delegasi dari bawahan:
- Lebih terbuka untuk membantu atau mengambil alih sebagian tugas
- Bisa melihat ini sebagai bentuk kepercayaan dan kerja sama
- Memberi umpan balik konstruktif
Cara menyikapi:
- Bisa lebih langsung dan jujur, misalnya: “Saya sedang overload dengan beberapa tugas, dan bagian ini membutuhkan keputusan strategis. Apakah bisa Bapak/Ibu bantu atau ambil alih sementara?”
- Gunakan momen ini untuk membangun kepercayaan dan komunikasi tim
Tips Umum:
Kenali gaya komunikasi atasan sebelum menyampaikan permintaan. Jangan gunakan kata “delegasi” secara langsung, karena bisa terdengar seperti “memindahkan tanggung jawab”
Gunakan pendekatan kolaboratif dan berbasis solusi
Bagaimana solusi kalau atasannya tersinggung
Kalau atasan tersinggung karena merasa “didelegasikan” tugas oleh bawahan, itu memang situasi yang sensitif. Tapi masih bisa diatasi dengan pendekatan yang bijak dan komunikatif. Berikut beberapa solusi yang bisa kamu coba:
1. Klarifikasi Niat dengan Rendah Hati
Segera temui atau hubungi atasan dan sampaikan bahwa maksudmu bukan untuk memindahkan tanggung jawab, tapi untuk mencari solusi bersama.
Contoh kalimat:
“Maaf kalau penyampaian saya sebelumnya kurang tepat. Maksud saya bukan untuk melempar tugas, tapi saya merasa perlu dukungan atau arahan agar pekerjaan ini bisa berjalan lebih baik.”
2. Tunjukkan Komitmen dan Tanggung Jawab
Tegaskan bahwa kamu tetap bertanggung jawab atas tugas tersebut, dan hanya ingin melibatkan atasan karena ada bagian yang membutuhkan keputusan atau otoritas lebih tinggi.
Contoh:
“Saya tetap akan mengerjakan bagian teknisnya, tapi ada aspek yang saya rasa lebih tepat jika Bapak/Ibu yang menangani, terutama karena menyangkut kebijakan atau keputusan strategis.”
3. Gunakan Pendekatan Kolaboratif
Alih-alih “mendelegasikan”, ubah narasi menjadi permintaan kolaborasi atau masukan.
Contoh:
“Saya ingin memastikan hasilnya sesuai ekspektasi. Kalau Bapak/Ibu berkenan, saya sangat terbantu jika bisa mendapat masukan atau dukungan dalam bagian ini.”
4. Evaluasi Cara Komunikasi
Kadang bukan isi pesannya yang salah, tapi cara penyampaiannya. Gunakan bahasa yang sopan, tidak menyudutkan, dan hindari nada menyuruh.
Sebagai bawahan tentu secara fungsional, atasan itu lebih tahu dan paham yang lebih luas. Saya ibaratkan, bawahan berada di lantai bawah, yang kalau melihat hanya sebatas di hadapannya. Kalau ada jalanan macet karena melihat beberapa mobil bergerak lambat atau berhenti. Lalu karena pandangan ini, kita sering protes dengan keadaan ini. Tapi atasan yang berada di lantai 3 atau lebih tinggi, mampu melihat di depan sejauh mata memandang. Atasan melihat keadaan macet tapi melihat juga seberapa parah macetnya. Dan ada kalanya untuk jarak beberapa meter dari sudut pandang yang berada di lantai bawah tidak terjadi kemacetan. Dengan demikian atasan memang memiliki posisi yang lebih tinggi dan mampu melihat lebih luas, maka dia bisa menentukan tugas mana yang mesti didelagasikan.
Bawahan yang selalu menerima delegasi atau tugas dari atas, sebaiknya tak perlu merisaukan hal ini. Yang perlu dikuatkan adalah mengerjakan dan terus menambah ilmu agar tugas yang diberikan membuat bawahan menjadi semakin mampu. Bila perlu memohon kepada atasan untuk bisa mengerjakan tugasnya. Sikap ini jauh lebih baik daripada kita menganggap bos sok Tahu.
Di dunia kerja, kita tidak selalu bisa memilih atasan, tapi kita bisa memilih cara menyikapi. Belajar dari Myra, Mamat, dan Bujang, kita tahu bahwa kerja keras, komunikasi yang baik, dan sedikit humor bisa membuat suasana kerja jadi lebih sehat dan produktif.
Insya Allah wawasan atasan dan bawahan di atas, dapat membuka pikiran kita untuk lebih bijak baik sebagai atasan (bos) atau sebagai bawahan. Soal waktu saja kalau kita bisa mengambil hikmahnya ... mau tetap jadi bawahan atau naik menjadi atasan (bos). Upaya ini adalah sikap dan perilaku untuk memberdayakan diri semakin baik. Inilah motivasi diri yang baik dan mesti terus disemangati.
Sahabatmu
Munir Hasan Basri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar