Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Minggu, Agustus 24, 2025

Udah salat, apa iya masih riya ??

Alhamdulillahirabbilalamin, keadaan kita sekarang sehat dan selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Apapun yang sudah dilakukan, Insya Allah menjadi kebaikan yang berarti untuk menemuiNya. Aamiin. 


Ketika salat tidak membuka hati bagi sesama
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, kita sering merasa tenang saat menunaikan salat. Gerakan yang teratur, bacaan yang khusyuk, dan waktu yang sejenak memisahkan kita dari dunia. Tapi pernahkah kita bertanya: Apakah salat kita benar-benar mengubah cara kita memandang sesama?
Di sudut gang, seorang ibu menahan tangis karena anaknya demam dan tak ada uang untuk membeli obat. Di masjid, kita baru saja mengangkat tangan, memohon rahmat dan ampunan. Namun langkah kita berlalu begitu saja, seolah tak ada yang perlu diperhatikan.
Inilah bentuk pendustaan yang tak terucap. Bukan karena kita mengingkari agama secara terang-terangan, tapi karena kita melupakan esensi dari ibadah itu sendiri—bahwa salat bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi juga panggilan untuk peduli secara horizontal kepada manusia.
Kisah dari sahabat Nabi, Abu Dzar al-Ghifari, mengajarkan bahwa keimanan sejati lahir dari keberanian menyuarakan keadilan dan kepedulian. Ia tidak hanya salat di padang pasir, tapi juga menggugat ketimpangan sosial di tengah umat. Ia hidup miskin, tapi hatinya kaya dengan kasih sayang dan keberanian. 
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Abu Dzar mengkritik gaya hidup sebagian pejabat yang mulai hidup mewah. Karena kritiknya dianggap bisa menimbulkan keresahan, ia dipindahkan ke daerah terpencil bernama Rabadzah, tempat ia akhirnya wafat dalam kesederhanaan. Nabi ﷺ pernah bersabda tentangnya:
"Langit tidak menaungi dan bumi tidak memikul seseorang yang lebih jujur dari Abu Dzar." (HR. Tirmidzi)

Bagaimana kita memahami hal di atas ? Sudahkah dampak salat kita tapi peka terhadap lingkungan ? Berikut ini adalaj jawaban atas semua itu dalam Al Qur'an, Surah Al Ma'un, 107 : 1 -7.
Surat Al-Ma'un (الماعون) adalah surat ke-107 dalam Al-Qur’an, terdiri dari 7 ayat. Surat ini mengandung kritik tajam terhadap orang yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan ibadah yang benar, serta menekankan pentingnya kepedulian terhadap sesama sebagai bagian dari keimanan.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
4. Maka celakalah orang-orang yang salat,

الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
5. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya,
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
6. Yang berbuat riya (pamer),
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
7. Dan enggan (memberikan) bantuan yang berguna.

Allah Swt. berfirman, bahwa tahukah engkau, hai Muhammad, orang yang mendustakan hari pembalasan ?
Itulah orang yang menghardik anak yatim. (Al-Ma'un: 2)
Yakni dialah orang yang berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, menganiaya haknya dan tidak memberinya makan serta tidak memperlakukannya dengan perlakuan yang baik.
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Al-Ma'un: 3)
Semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Sekali-kali tidak (demikian). sebenarnya kalian tidak memuliakan anak yatim, dan kalian tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (Al-Fajr: 17-18)
Makna yang dimaksud ialah orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk menutupi kebutuhan dan kecukupannya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (Al-Ma'un: 4-5)
Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang munafik yang mengerjakan salatnya terang-terangan, sedangkan dalam kesendiriannya mereka tidak salat. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: bagi orang-orang yang salat. (Al-Ma'un: 4) Yaitu mereka yang sudah berkewajiban mengerjakan salat dan menetapinya, kemudian mereka melalaikannya.
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk salat) dan mematuk (salat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.
Ini merupakan gambaran salat Asar di waktu yang terakhirnya, salat Asar sebagaimana yang disebutkan dalam nas hadis lain disebut salat wusta, dan yang digambarkan oleh hadis adalah batas terakhir waktunya, yaitu waktu yang dimakruhkan. Kemudian seseorang mengerjakan salatnya di waktu itu dan mematuk sebagaimana burung gagak mematuk, maksudnya ia mengerjakan salatnya tanpa tumaninah dan tanpa khusyuk. Karena itulah maka dikecam oleh Nabi Saw. bahwa orang tersebut tidak menyebut Allah dalam salatnya, melainkan hanya sedikit (sebentar). Barangkali hal yang mendorongnya melakukan salat tiada lain pamer kepada orang lain, dan bukan karena mengharap rida Allah. Orang yang seperti itu sama kedudukannya dengan orang yang tidak mengerjakan salat sama sekali. Allah Swt. telah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di Hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
orang-orang yang berbuat ria. (Al-Ma'un: 6)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na' im, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah yang mengatakan bahwa ketika kami sedang duduk di majelis Abu Ubaidah, lalu mereka berbincang-bincang tentang masalah riya. Maka berkatalah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Yazid, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Arnr mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang pamer kepada orang lain dengan perbuatannya, maka Allah akan memamerkannya di hadapan makhluk-Nya dan menjadikannya terhina dan direndahkan.



Dan termasuk hal yang berkaitan dengan makna firman-Nya: orang-orang yang berbuat ria. (Al-Ma'un: 6) ialah bahwa barang siapa yang melakukan suatu perbuatan karena Allah, lalu orang lain melihatnya dan membuatnya merasa takjub dengan perbuatannya, maka sesungguhnya hal ini bukan termasuk perbuatan riya.
Dalil yang membuktikan hal ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab musnadnya, bahwa: telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf, telah inenceritakan kepada kami Makhlad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy; dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa ketika aku sedang salat, tiba-tiba masuklah seorang lelaki menemuiku, maka aku merasa kagum dengan perbuatanku. Lalu aku.ceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw., maka beliau Saw. bersabda: Dicatatkan bagimu dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan.


Ayat 1–3: Kritik terhadap orang yang mendustakan agama
Mendustakan agama bukan hanya menolak secara lisan, tapi juga tidak peduli terhadap nilai-nilai sosial, seperti:
Menghardik anak yatim
Tidak mendorong pemberian makanan kepada orang miskin
Pesan utamanya : dampak Ibadah itu memberi kepedulian sosial.
Ayat 4–5: Salat yang lalai
Salat yang tidak dilakukan dengan khusyuk dan konsisten, atau hanya dilakukan untuk pamer, tidak bernilai di sisi Allah.
Ini adalah peringatan keras bahwa ritual tanpa hati dan niat yang benar adalah sia-sia.
Ayat 6–7: Riya dan enggan membantu
Orang yang salat hanya untuk dilihat orang lain (riya) dan enggan memberi bantuan kecil (al-ma’un: barang berguna seperti air, garam, piring, dll) adalah ciri orang munafik.
Islam menekankan kebaikan kecil sekalipun, sebagai bagian dari amal saleh.
Apa hubungannya antara menghardik anak yatim dengan orang yang lalai salatnya. Apakah iya orang yang lalai salatnya itu memiliki sifat menghardik anak yatim ? 
Pertanyaan ini sangat tajam dan menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap hubungan antara ibadah ritual dan akhlak sosial dalam Islam. Mari kita bahas secara sistematis:
Hubungan antara Menghardik Anak Yatim dan Lalai Salat dalam QS Al-Ma’un. 
1. Konteks Surat Al-Ma’un
Surat ini menyebut dua kelompok perilaku:
Ayat 1–3: Menghardik anak yatim dan tidak peduli pada orang miskin.
Ayat 4–7: Orang yang salat tapi lalai, riya, dan enggan memberi bantuan kecil.
Ini menunjukkan bahwa ibadah ritual (salat) dan kepedulian sosial tidak bisa dipisahkan. Salat yang benar harus berdampak pada akhlak dan empati sosial.
2. Apakah Orang yang Lalai Salat Punya Sifat Menghardik Anak Yatim ? Tidak selalu, tetapi ada korelasi yang penting:
Orang yang lalai salatnya (tidak khusyuk, tidak konsisten, atau hanya pamer) cenderung tidak memiliki kesadaran spiritual yang kuat. Akibatnya, ia kurang peduli terhadap nilai-nilai sosial, seperti menyantuni anak yatim dan membantu orang miskin.
Dalam konteks surat ini, kedua sifat itu berasal dari akar yang sama: ketiadaan iman yang sejati dan ketulusan dalam beragama.
3. Penjelasan Ulama
Ibnu Katsir: Surat ini menggabungkan antara penolakan terhadap nilai sosial dan ibadah yang tidak ikhlas, sebagai ciri orang yang mendustakan agama.
Quraish Shihab: Salat yang tidak berdampak pada perilaku sosial adalah salat yang kosong dari ruh dan makna.
Kesimpulannya : 
Menghardik anak yatim dan lalai salat adalah dua gejala dari penyakit hati yang sama: tidak memahami agama sebagai kesatuan antara ibadah dan akhlak.
Orang yang benar salatnya, seharusnya semakin lembut, peduli, dan dermawan. Maka, salat yang benar akan mencegah sifat kasar terhadap anak yatim dan orang miskin.
Salatlah dengan benar dengan dasar iman agar memiliki hati yang rindu untuk beramal saleh diantara mempedulikan anak yatim.

Alangkah indahnya saya kisahkan obrolan 3 sahabat hati (hangat dan inspiratif) tentang ibadah dan amalan sosialnya. 
Mira: Kopi sore ini enak banget ya... Tapi aku tadi baca Surah Al-Ma’un, dan jadi kepikiran. Katanya orang yang mendustakan agama itu bukan cuma yang nggak salat, tapi juga yang cuek sama anak yatim dan orang miskin.
Mamat: Iya, aku juga pernah dengar itu. Jadi, kalau kita salat rajin tapi nggak peduli sama tetangga yang kelaparan, itu bisa termasuk mendustakan agama ya? Serem juga...
Bujang: Betul banget. Aku jadi ingat kemarin, ada ibu-ibu di ujung gang yang anaknya sakit tapi nggak punya uang buat beli obat. Kita lewat aja, padahal kita baru pulang dari masjid. Itu termasuk mendustakan agama nggak sih?
Mira: Kalau kita tahu dan bisa bantu tapi memilih diam, itu bisa jadi bentuk pendustaan. Karena agama itu bukan cuma soal ritual, tapi soal kasih sayang dan kepedulian.
Mamat: Jadi, salat itu harus bikin kita lebih peka ya? Bukan cuma gerakan, tapi harus bikin hati kita hidup.
Bujang: Setuju. Aku jadi pengen mulai dari hal kecil. Mungkin besok aku bisa ajak anak-anak di gang buat belajar bareng, atau bantu ibu itu beli obat.
Mira: Masya Allah, itu keren, Jang. Kadang kita nggak perlu jadi orang kaya buat peduli. Cukup punya hati yang mau berbagi.
Mamat: Yuk kita mulai bareng-bareng. Biar salat kita nggak cuma jadi rutinitas, tapi jadi sumber cahaya buat sekitar.

Mari kita pahami dengan membaca surah Al Ma'un dengan tuma'ninah, mentadaburi ayat demi ayat  yang mengajari kita beberapa hal berikut :
  1. Salat dan ibadah lainnya mesti membawa dampak positif bagi kita terhadap orang sekitar kita, yang melahirkan kepedulian sosial.
  2. Ada hati yang terpanggil menyuarakan kebenaran adalah bagian dari iman. jangan sampai kita disindir oleh ayat di atas, yaitu orang yang mendustakan agama (hari pembalasan) , kita tahu tapi tidak melaksanakannya, dan bahkan menunjukkan sebaliknya.
  3. Kesederhanaan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kesederhanaan dalam hidup agar tidak menjadi ketimpangan dalam linkungan kita. Kekayaan bukan untuk ditimbun, tapi untuk dibagikan.
  4. Pendustaan agama bisa terjadi saat kita meninggalkan nilai-nilai sosial dalam ibadah. Salat yang benar harus membuat kita lebih peduli, lebih lembut, dan lebih dermawan. Kepedulian sosial adalah bagian dari keimanan yang sejati.
Insya Allah petunjuk Allah ini dapat mengingatkan kita, dan bersegera untuk melaksanakannya. Teruslah memberdayakan diri untuk menjadi semakin dekat dengan Allah, yaitu jalan iman dan ketaqwaan. Tiada hari untuk selalu memotivasi diri dengan motivasi yang islami. Hidup ini semakin dekat kepada Allah, karena usia mendekat kepada pertemuan denganNya, kedekatan itu terasa dengan karunia dan rahmatNya dan kita pun membiasakan setiap hari untuk dekat dengan petunjukNya. 

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured post

Udah salat, apa iya masih riya ??

Alhamdulillahirabbilalamin, keadaan kita sekarang sehat dan selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Apapun yang sudah dilakukan, Insya A...