Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Jumat, Agustus 01, 2025

Mamat dan Titik Balik Amanah

Salam sejahtera dan bahagia selalu dan Insya Allah hari ini bisa menjadikan kita sadar untuk berubah menjadi semakin baik.

Hari ini saya bercerita tentang perjalanan dari Malas ke Bertanggung Jawab. Yang awalnya kerja tidak bertanggung jawab. Yang terpikir hanya gaji dan uang. Dalam kisah kantor ini saya mengambil pelakunya Mamat (nama samaran).


Mamat dulu bukan karyawan teladan. Ia bukan tipe yang mencolok karena prestasi, juga bukan yang disukai karena sikapnya. Ia sekadar ada—datang pagi dengan muka malas, bekerja dengan asal-asalan, dan pulang tanpa rasa tanggung jawab. Baginya, pekerjaan hanyalah alat tukar. Datang, duduk, menjalankan tugas seperlunya, dan menunggu akhir bulan untuk gaji. Jika ada pekerjaan tambahan, Mamat akan menolak halus atau diam-diam menghindar. Ia sering berkata dalam hati, “Gaji segini, ya kerja segini.”Ia tidak jahat. Ia tidak curang. Tapi ia juga tidak peduli. Namun semua itu mulai berubah ketika hidup menghantamnya lebih keras dari yang ia duga.

Saat Mamat mengalami keterpurukan, Waktu itu Mamat sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Anak keduanya jatuh sakit cukup parah, butuh pengobatan rutin dan biaya rumah sakit yang tidak kecil. Tabungan hampir habis. Gaji bulanan tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Di tengah tekanan itu, istrinya, yang selama ini sabar mendampingi pernah berkata pelan saat Mamat duduk diam di ruang tamu, wajah murung dan tangan menggenggam kuitansi rumah sakit. “Mat, mungkin ini saatnya abang betul-betul lihat ke dalam diri. Allah mungkin bukan cuma mau kasih ujian, tapi kasih peringatan...”. Mamat terdiam. Kata-kata itu tak ia bantah. Ia tahu, selama ini ia hanya menggugurkan kewajiban. Bahkan saat bekerja pun, ia sering mengeluh dalam hati—tentang tugas, tentang atasan, bahkan tentang teman kerja yang menurutnya ‘terlalu rajin’.
Hari itu, Mamat dipanggil atasan ke ruang kerja. Suasana serius. Atasan membuka laptop, menunjukkan beberapa laporan kerja yang tidak rapi dan sebagian besar adalah bagian yang dikerjakan oleh Mamat.

“Mat, aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Tapi kamu juga harus tahu, pekerjaan ini bukan cuma soal kamu. Banyak orang bergantung pada hasil kerja kita. Kamu harus mulai berubah… atau kamu kehilangan banyak. Kata “kehilangan” bergema di kepalanya. Ia tahu betul apa maksudnya. Dan untuk pertama kalinya, Mamat merasa takut, bukan karena kehilangan pekerjaan semata, tapi karena ia sadar selama ini ia belum pernah benar-benar bertanggung jawab.

Momen Kesadaran terjadi. Beberapa hari setelah pertemuan itu, perusahaan mengadakan pelatihan internal bertema “Bekerja dengan Kesadaran dan Amanah”. Mamat awalnya datang tanpa semangat, duduk di pojok ruangan dan lebih banyak menunduk.
Namun di tengah sesi, seorang pembicara berkata : 
Kalau kita bekerja hanya karena uang, kita akan mudah kecewa. Tapi kalau kita bekerja dengan kesadaran bahwa ini amanah, maka kita hadirkan tanggung jawab dan ketulusan, bahkan saat tak ada yang melihat.”

Kata itu menusuk hati Mamat. Ia merasa seperti ditelanjangi. Ia sadar, selama ini ia hanya hadir secara fisik—bukan dengan hati. Ia menunaikan tugas, tapi tak pernah menunaikan amanah.

Malam itu, di rumah, ia duduk di ruang tamu dalam gelap, hanya ditemani cahaya lampu dapur. Ia merenung lama sekali, banyak self talk yang terjadi. Ia teringat anaknya, istrinya, dan hidup yang ia jalani setengah hati. Ia teringat rekan-rekan kerja yang selama ini ia remehkan karena ‘terlalu serius’. Ia bahkan teringat ayahnya, dulu seorang pekerja bangunan yang bangun sebelum subuh dan tak pernah mengeluh, bahkan saat kakinya cedera.

Dan di titik itu, Mamat menangis. Bukan karena putus asa. Tapi karena malu. Perubahan Dimulai. Perubahan Mamat tidak langsung besar. Ia mulai dari hal kecil: datang lebih pagi. Ia merapikan meja kerjanya. Ia mulai bertanya lebih sering, mencatat tugas dengan detail, dan mulai menyelesaikan pekerjaan tepat waktu tanpa disuruh ulang. Beberapa rekan terkejut. Ada yang mengira ia sedang cari muka. Tapi Mamat tak peduli. Ia tidak sedang membuktikan sesuatu kepada orang lain ia sedang berdamai dengan dirinya sendiri.

Ketika ada rekan kerja yang izin sakit, Mamat dengan tenang menawarkan diri untuk membantu. Ia bahkan meminta izin pada atasan untuk menyusun ulang SOP gudang yang selama ini membingungkan sesuatu yang dulu pasti ia hindari. Mamat tahu, ia tidak sempurna. Tapi ia mulai merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: harga diri karena bekerja dengan niat baik.

Gaji masih tetap sama. Tapi kini ia merasa lebih tenang. Saat pulang ke rumah, ia bisa menatap mata anak dan istrinya tanpa beban. Ia merasa lebih berarti. Bahkan, kondisi keuangan perlahan mulai membaik—bukan karena keajaiban instan, tapi karena ia mulai mengelola segalanya dengan lebih bertanggung jawab.

Mamat menjadi Pribadi yang Bisa Diandalkan. Beberapa bulan kemudian, atasan kembali memanggil Mamat kali ini dengan senyum. “Saya lihat perubahan besar dari kamu, Mat. Jujur, saya bangga. Kamu bukan cuma berubah sikap, tapi juga membawa dampak buat tim. Kita sedang rencanakan rotasi tanggung jawab, dan saya pikir kamu siap naik level.”

Mamat tersenyum kecil. Dalam hati, ia mengucap syukur. Bukan karena jabatan, tapi karena kini ia tahu: ia bisa diandalkan. Baginya, itu lebih berharga dari sekadar angka di slip gaji.

Mamat sudah memiliki prinsip Hidup yang Baru. Kini, jika seseorang bertanya apa yang menggerakkan Mamat untuk bekerja, jawabannya sederhana:

“Saya kerja bukan cuma buat cari uang. Saya kerja karena ini amanah. Karena saya ingin hidup saya punya arti. Dan karena saya tahu, Allah melihat kerja keras, meski kadang manusia tidak.”

Kisah Mamat adalah gambaran banyak dari kita—yang pernah bekerja dengan setengah hati, sampai hidup menampar dan menyadarkan. Bahwa bekerja bukan sekadar aktivitas rutin, tapi ruang untuk tumbuh, belajar, dan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.

Dan perubahan selalu mungkin, selama kita mau jujur pada diri sendiri dan memulai, meski dari langkah kecil.

Hampir banyak orang mengalami hal ini, tapi tidak semua dapat berubah seperti Mamat. Bisa jadi semua orang tahu cara untuk berubah, tapi yang bisa merubahnya adalah keberanian dan momen yang bisa menggugah mereka. Ada juga alsan tertentu orang berubah, yang pasti izin Allah. Izin Allah itu pasti didahului keinginan untuk berubah.  Saya sih berharap mereka yang kalah dengan perubahan yang diinginkan, dapat menemukan jalan terbaiknya menjadi karyawan semakin baik dan hamba Allah yang bertaqwa.

Insya Allah kisah Mamat di atas, dapat menginspirasi siapa saja yang mau berubah menjadi semakin baik. Ini bisa jadi motivasi diri untuk memberdayakan diri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured post

Dari Mata turun ke pikiran

 Salam bahagia selalu, merasa bahagia itu penting dan membuat diri kita menjadi semakin bahagia. Insya Allah imajinasi dan apa yang kita lih...