Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Sabar dan cerewet

 Menjadi orang sabar adalah impian semua orang, perilaku yang cerewet itu sangat tidak sukai banyak orang. Lalu membayangkan tidak ada yang cerewet didunia ini, kayaknya sepi. Dan memang keadaan ini tidak terjadi. Sabar dan cerewet adalah 2 sisi dari mata uang, yang satu cerewet dan yang sisi lain sabar. Bisakah saya sabar dengan lawan hidup yang cerewet ?

Orang berpandangan bahwa orang sabar terjadi jika orang lain sabar. Orang yang ingin sabar selalu berharap tidak bertemu orang cerewet. Logika kita membenarkan ada laki-laki dan perempuan, ada positif dan negatif, dan seterusnya. Semua berlawanan, tapi sebenarnya Orang sabar bikin orang lain tidak sabar (cerewet), sebaliknya orang cerewet bikin orang sabar. Jangan langsung komentar, tapi renungkan lebih dalam. 

Kita dilatih menjadi sabar karena keseringan bertemu orang cerewet, terkadang kita bilang,"kok ada ya orang cerewet begitu". Orang cerewet itu tidak ada yang ingin terjadi, cerewet itu terjadi karena sudah membiasa tanpa disadari. Cerewet adalah ungkapan rasa kecewa yang membangkitkan emosional. Lihat keadaan yang tidak bersih setiap hari, bisa membuat orang kecewa dan cerewet untuk menyelesaikannya. Apa yang terjadi saat kita menghadapi orang cerewet setiap hari ? Apa yang menjadi isi dari cerewet segera kita selesaikan agar kita tidak mendengarkan cerewetan lagi. Atau dengan tenang kita menjawab cerewet itu dengan sikap yang berbeda yang menenangkan yaitu sabar. Sabar bukan sekedar tenang mendengarkan cerewetannya, tapi mulai menjalani isi ceretannya. 

Ingin jadi sabar ? hadapi mereka yang cerewet. Bagi yang cerewet mungkin rugi, dan kitalah yang beruntung jika merespon positif (sabar). Langkah menjadi sabar itu adalah tidak panik atau responsif sehingga membangkitkan keadaan kita untuk mau jadi pendengar yang baik. Dengan menjadi pendengar yang baik, dapat membuka hati untuk mau berempati dan mau membantu orang yang cerewet itu menjadi lebih baik. Kita dapat memahami cerewetannya karena kita mampu mendengar dengan baik dan berempati, lalu kita memberikan melaksanakannya. 

Dalam sudut pandang lain, orang cerewet menjadi sebuah kebutuhan untuk mengingatkan orang menjadi baik. Penyeimbang agar balance. bayangkan tidak ada orang cerewet, maka kita bisa berjalan tanpa kontrol atau pengingat. Kalau sudah begini, cerewet menjadi profesi yang jauh lebih bijak. Cerewet bukan lagi "marah-marah", tapi memberi masukan. Kita sering bilang,"yang begini aja diingatkan, saya sudah tahu". Jika yang kecil saja sering dibicarakan semakin membuat kita tidak sabar. Disinilah kita diuji bisa sabar atau tidak ? Bersabar itu bukan urusan logika, tapi urusan hati. Bahkan saya membayangkan ketika saya bicara sendiri, "ayo bersihkan aja dulu, nanti dicerewetin loh tentang kebersihan", dimana saya menciptakan saya sendiri cerewet dan menuntaskannya sendiri cerewetnya. langkah yang antisipatif yang baik, karena awalnya ada yang cerewet dan membangkitkan saya dengan kesadaran sendiri.

Saya membuat level sabar dan cerewet itu sebagai berikut :

1. Level dasar adalah sabar terpaksa, dengan cerewet yang cenderung emosional

2. Level menengah adalah sabar karena tidak ingin berhadapan orang cerewet sehingga melakukan langkah antisipatif

3. Level tinggi adalah menciptakan sabar dan cerewet itu dalam diri sendiri. Kita mengempati orang yang cerewet dalam diri kita, lalu kita melakukan langkah perbaikan agar orang tidak cerewet (tidak terjadi). Saat kita menghadapi orang cerewet yang terjadi adalah komunikasi yang baik, sama-sama menjadi sabar.

Dimanakah tingkat sabar dan cerewet kita ? Insya Allah kita bisa belajar untuk semakin tinggi level. Tidak "membenci orang yang cerewet", tapi ingin memberi kebaikan agar orang cerewet menyadari keadaannya. Cerewet sebagai media mengungkapkan peringatan kepada orang lain bisa digantikan dengan lebih bijak.  Dengan hati semua orang bia mendapatkan kebaikan.


Bisa juga sabar itu sebagai langkah bersyukur kita, karena kita memiliki hati  untuk merespon dengan lebih baik. Sudahkah kita memanfaatkan hati dalam merespon perilaku orang lain terhadap kita ? Lihatlah dalam ketenangan, Allah telah memberitahu kita bahwa hati itu lebih baik dari logika dan emosional. Petunjuk sudah Allah sampaikan kepada kita, "Allah bersama orang yang memilih sabar". Apakah kita masih tidak bersyukur dengan hati dan petunjuk bener ? Kalau kita menggunakan emosional kita, atau logika karena ada kepentingan, maka kita termasuk orang yang kufur. Insya Allah bukan sekedar menjadi sabar pada level tinggi, tapi jauh lebih tinggi lagi dengan bersyukur untuk memilih sabar.










No comments:

Post a Comment

Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...