Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Katanya mau nggak emosi

Katanya mau nggak emosi lagi, tapi kok nggak tenang bicaranya. Apa-apa menyalahkan dan sepertinya merasa diri paling bener. walaupun suara tanpa nada tinggi, tapi masih terlihat kata-katanya menyalahkan. Ternyata sekalipun waktu sudah berlalu beberapa hari emosi itu masih bisa muncul saat ada triggernya yang terjadi di awal yang tersimpan dalam pikiran kita. Misalkan saat kita terinjak kakinya oleh pasangan saat jalan bersama, maka merasakan sakitnya (emosi) dan marah (emosi). Yang tersimpan adalah memori kejadian itu sangat kuat karena emosional kita lagi tinggi, sakit dan marah. Memori ini bisa keluar lagi saat kita jalan bersama lagi, ada perasaan takut terinjak lagi. Apa yang dilakukan ? menjaga jarak. Apakah ada sikap positif ? Sangat jarang.

Yang sangat merugikan tapi tidak bagi yang sedang emosi adalah terjadinya lagi tentang apa yang pernah kita rasakan sebelumnya (bersifat emosional). Orang yang pernah menggoreng dan terkena minyaknya, maka saat itu merasakan sakit banget. Akibatnya orang itu tidak mau menggoreng lagi. Banyak kejadian sehari-hari terjadi yang memacu emosional kita menjadi tinggi dan kita tidak berpikir logis tentang hal tersebut untuk menjadi lebih baik.

Banyak orang berpikir bahwa untuk tidak emosi mesti harus belajar mengendalikan emosi, "jangan emosi". Cara ini mungkin bisa untuk orang tertentu, tapi kebanyakan orang gagal. kata "jangan emosi" malah kita jadi emosi. Memang secara manusiawi kita cenderung emosi terus, didalam ilmu pikiran informasi yang masuk selalu masuk ke otak tengah. Otak tengah ini merupakan pintu masuk informasi untuk diteruskan ke perasaan atau akal sehat (logika). Kondisi kita yang tenang dapat membuka jalan kita melewati otak tengah menuju logika berpikir yang benar, sebaliknya jika kondisi kita yang tegang atau stress maka informasi yang melewati otak tengah malah masuk ke perasaan (kondisi ini disebut pembajakan amygdala).

Apa yang terjadi jika kita memiliki ilmu yang tersimpan dalam pikiran akal sehat ? Misalkan kita tidak tahu tentang berdagang, maka ketika diajak berdagang dalam keadaan relax. Belum tentu kita bisa berpikir logika, karena logikanya tidak ada. Maka saat ingin berpikir dagang dan pengetahuan (ilmu) tidak ada, maka proses yang terjadi adalah kita berpikir dengan emosi. Maka kita bilang,"nggak usah, saya nggak bisa dagang". Dari pemahaman ini BUKANnya kita susah untuk tidak emosi, tapi kita kekurangan ilmu dalam pikiran akal sehat. dengan demikian kita dapat merubah perilaku suka emosi menjadi sikap yang lebih baik adalah dengan belajar banyak hal tentang kehidupan ini agar saat kita menerima informasi tentang sesuatu itu dapat meresponnya dengan akal sehat. 

bagi kita yang dominan emosional, maka sikap memandang seseorang itu selalu salah dan tidak ada benernya. Sekalipun itu sudah berlalu, maka kita yang mau berpikir akal sehat pun sulit. Mengapa ? Karena gengsi. "Masak kemarin saya merasa bener dan kemarin yang salah itu dia, lalu saya mengakui saya salah hari ini. gengsi dong dalam hati kita". Akhirnya seseorang yang sudah terlanjur dominan emosional maka terus emosional. Rugi nggak ? Pasti rugi dan dijauhkan dari temen. Intropseksi diri, jika kejadian itu terjadi pada diri kita ? Maka kita tidak ingin terjadi dan mau memperbaiki diri.

kadangkala emosional itu didukung oleh pikiran kita yang cenderung berpikir maunya untung. Lengkap sudah emosional kita. Satu-satu caranya untuk memperbaiki itu semua adalah dengan hati. Dalam firmanNya,"kita menjadi sabar dan berbuat baik itu karena rahmat Allah". Jadi berusahalah untuk menjadi orang sabar dan berbuat baik dengan menjadi hamba Allah yang sebenarnya. Insya Allah kita diberikan rahmat dan karuniaNya sehingga kita bisa bersabar dan berbuat baik.




No comments:

Post a Comment

Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...