Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Minggu, Juli 20, 2025

7 Langkah menuju salat semakin baik

Salam sejahtera dan bahagia selalu. Insya Allah hati ini selalu hadir dalam kebaikan. 

7 Langkah menuju salat yang lebih baik adalah upaya menemukan cara untuk menghadirkan hati dalam salat. Bersyukur saat kita mendapatkan hidayah dalam salat yang benar-benar bisa menghadirkan hati, kalau pun tidak kita bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Selalu hadirkan doa, apapun kualitas salat kita menjadi penting dalam mengukur kesungguhan kita. Kadang bagus, ya bisa juga kurang oke, dan juga kondisi yang tidak mendukung untuk lebih baik, tapi jangan lupa untuk terus berusaha menjadi semakin baik.



Beberapa hal yang perlu kita lakukan dengan semakin baik dalam menciptakan salat dengan hadirnya hati.  Berdasarkan Al-Qur’an, hadits, serta penjelasan para ulama:

1. Selalu menghadirkan hati sejak wudhu sampai selesai salat (termasuk zikir setelah salat dan berdoa).
Menghadirkan bisa dijabarkan seperti kita merasakan apa yang sedang kita baca atau gerakkan pada tubuh. Seolah-olah kita berhadapan dengan Allah, yang juga Maha melihat sehingga kita memulai salat dengan penuh kesungguhan (karena Allah melihat). Level yang lebih tinggi lagi adalah kita seolah melihat Allah.
Ihsan (الإحسان) berasal dari kata ‘ahsana’ yang artinya berbuat baik atau membuat sesuatu menjadi sempurna.
Namun dalam konteks agama, maknanya sangat dalam.
📖 Hadis Jibril yang Terkenal:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan.”
Nabi Muhammad ﷺ menjawab:
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.”
(HR. Muslim)
Salat bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi dilakukan seolah kita sedang berdiri di hadapan Allah.

2. Menjaga Wudhu dengan Sempurna
Salat yang diawali dengan wudhu yang penuh kesadaran lebih terasa kehadiran Allah.
🔹 Nabi ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang hamba berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian salat dua rakaat dengan menghadirkan hati dan wajahnya, kecuali pasti masuk surga.”
(HR. Muslim)
Dalam wudhu tidak hanya membersihkan fisik, tapi "membayangkan" air yang mengalir membasahi tubuh dan dosa-dosa terlepas dari tubuh kita. Selalu niatkan berwudhu dan berdoa agar wudhu menjadi sempurna. Sempurnakan wudhu dengan salat syukrul wudhu.

3. Memahami Bacaan Salat
Menghayati Bacaan, Bukan Sekadar Menghafalnya
Salat yang dihayati seperti membaca surat cinta — bukan sekadar dibaca cepat untuk selesai.
🔹 Ibnu Qayyim rahimahullah menulis:
“Salat yang tidak diresapi akan hilang rohnya, tinggal gerakan tanpa ruh.”
Banyak orang kehilangan rasa dalam salat karena tidak tahu apa yang dibaca.
🔹 Cobalah pelajari makna bacaan seperti:
Takbir: Allah Maha Besar, lebih besar dari segala urusan.
Al-Fatihah: Doa permohonan hidayah.
Ruku’ dan Sujud: Tunduk sepenuh hati.
📌 Memahami makna akan membuat hati lebih hidup dalam setiap gerakan.
Pahami bacaan salat yang diiringi oleh tadabbur tentang bacaan salatnya.
Menghadirkan Kesadaran Bahwa Sedang Berdiri di Hadapan Allah
Salat bukan rutinitas gerakan, tapi perjumpaan hamba dengan Rabb-nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian berdiri dalam salat, maka sesungguhnya dia sedang bermunajat kepada Rabbnya."
(HR. Bukhari & Muslim)
Khususnya membaca Al Fatihah, dalam hadist qudsi dijelaskan surah Al Fatihah itu seperti bercakap-cakap dengan Allah. Surah yang sangat indah dan penuh makna dalam salat, menunjukkan bagaimana Allah langsung merespon bacaan Al-Fatihah seorang hamba saat ia membacanya dalam salat:
Hadis Qudsi tentang Al-Fatihah dalam Salat
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Allah Ta’ala berfirman:
'Aku membagi salat (yakni Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.'
Jika hamba membaca:
“Alhamdulillahi Rabbil 'aalamin”
Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuji-Ku.”
“Ar-Rahmanir Rahim”
Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”
“Maaliki Yawmid-Din”
Allah berfirman: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”
“Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in”
Allah berfirman: “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”
“Ihdinas-siraatal mustaqim…” (hingga akhir)
Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (HR. Muslim, no. 395)
Pendapat para ulama mengatakan bahwa setelah membaca “Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in”, dibolehkan berdoa dalam bahasa Arab atas apa yang kita inginkan. Menurut kisahnya, Nabi Zakaria dalam salatnya memohon keturunan dan Allah langsung jawab (kabulkan). 

Makna Luar Biasa:
Setiap ayat Al-Fatihah dijawab langsung oleh Allah.
Ketika kita membaca Al-Fatihah dengan khusyuk dan sadar, kita sedang berdialog langsung dengan Allah.
Ini menunjukkan betapa intim dan sakralnya salat, bukan hanya rutinitas ibadah.
Renungan:
Kalau kita benar-benar menyadari bahwa setiap bacaan kita dijawab oleh Allah, mungkinkah kita masih tergesa dan lalai dalam salat ?

4. Menghindari Hal yang Mengganggu Fokus
Periksa tempat salat: jangan terlalu ramai, hindari kebisingan atau gadget yang menyala. Temukan tempat salat yang menenangkan seperti menggunakan parfum salat (tanpa alkohol) pada pakaian atau pada sajadah.
🔹 Ali bin Abi Thalib berkata:
“Termasuk kesempurnaan khusyuk adalah tidak menoleh ke mana-mana.”

5. berusaha untuk Salat di Awal Waktu
Salat di awal waktu membuat hati lebih tenang dan tidak terburu-buru.
🔹 Allah berfirman:
"Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman."
(QS. An-Nisa: 103)

6. Menyadari Bahwa Salat Bisa Jadi yang Terakhir
Cobalah hadirkan perasaan: "Bagaimana jika ini salat terakhirku?"
🔹 Nabi ﷺ bersabda:
“Jika engkau berdiri untuk salat, salatlah seperti orang yang mengucapkan salam perpisahan.”
(HR. Ibn Majah)
Salat Terakhirmu, Hari Terakhirmu
Apa Artinya? Kalimat ini mengajarkan kita untuk salat seakan-akan kita tak akan pernah salat lagi setelah ini.
Tak akan ada: Sujud lagi, Takbir lagi, Waktu untuk taubat lagi
Lalu bagaimana kita akan memperlakukan salat itu?
Apakah masih terburu-buru? Masih memikirkan dunia? Masih dengan bacaan yang tak dipahami?
Renungan: Seandainya Ini Salat Terakhirmu…
Apakah kamu akan mempercepat bacaanmu?
Apakah kamu akan menggerakkan tubuh tanpa menghadirkan hati?
Atau kamu akan menangis dalam rukuk dan sujud, memohon agar Allah mengampuni dosa-dosamu?
Mengapa Kita Lupa? Karena kita hidup seolah masih punya banyak waktu.
Padahal: 
Orang sehat bisa meninggal mendadak
Orang muda tak dijamin hidup lebih lama dari orang tua
Kematian datang tanpa peringatan resmi
Cara Menghidupkan Perasaan "Salat Terakhir":
Niat yang jujur di awal salat:
“Ya Allah, aku salat ini seolah inilah rakaat terakhirku di dunia.”
Hadirkan rasa takut dan harap:
Takut akan dosa-dosa yang belum diampuni, dan harap agar salat ini diterima.
Perlambat gerakan, rasakan setiap bacaan:
Seperti salam perpisahan terakhir yang tak ingin tergesa.
Jika kita menjadikan setiap salat seperti salat terakhir, maka:
Hati akan lebih hidup
Dosa terasa lebih berat
Dunia jadi lebih ringan
Karena salat terakhir tak pernah ada repetisinya.

7. Tuma’ninah (الطمأنينة) adalah salah satu syarat sah dalam salat yang sering dilupakan, padahal ia adalah jiwa dari kekhusyukan dan inti dari bertemu Allah dengan tenang. Apa Itu Tuma’ninah? Tuma’ninah secara bahasa berarti: tenang, tidak terburu-buru, berhenti sejenak dengan mantap.
Tuman'ninah dalam salat:Tuma’ninah adalah berhentinya anggota tubuh pada tiap gerakan salat dengan tenang, tidak tergesa, dan tidak seperti orang yang sedang dikejar-kejar.
1. Hadis tentang “Orang yang buruk salatnya”
Rasulullah ﷺ melihat seseorang salat dengan cepat sekali.
Lalu beliau bersabda: "Kembalilah dan salatlah, karena kamu belum salat."
Orang itu mengulang hingga 3 kali, tetap Rasulullah ﷺ mengatakan: "Kamu belum salat." Akhirnya Rasulullah ﷺ mengajarkan:
“Jika engkau rukuk, maka rukuklah dengan tuma’ninah. Jika engkau sujud, sujudlah dengan tuma’ninah...”
(HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa tuma’ninah adalah syarat sah salat.
Tuma’ninah dalam Setiap Rukun salat :
Saat rukuk: Jangan langsung bangun, beri jeda hingga punggung tenang dan membaca "Subhana Rabbiyal ‘Adzim…” dengan tuma’ninah.
Saat i’tidal: Jangan langsung turun ke sujud. Berdiri tegak dulu, ucapkan “Rabbana lakal hamd” dengan sadar.
Saat sujud dan duduk antara dua sujud: Ambil waktu, rasakan ketundukan, jangan buru-buru bangun.
Keindahan Tuma’ninah membuat salat terasa lebih nikmat.
Memberi ruang untuk berdoa dan merenung dalam salat.
Membantu menghadirkan hati dan kesadaran bahwa kita sedang ‘menghadap Allah’.
Sebaliknya, Tidak Bertuma’ninah menjadi Salat jadi seperti rutinitas fisik belaka. Hati tetap gelisah meski sudah salat. Dalam hadis, orang yang salat tanpa tuma’ninah dianggap "belum salat" oleh Nabi ﷺ.
Latih diri salat pelan di rumah, tanpa target waktu.
Fokus pada makna bacaan, bukan kecepatan.
Sadari bahwa Allah sedang melihatmu dalam tiap gerakan.

Demikianlah 7 upaya untuk salat semakin baik. Banyak ? berat ? Itu semua karena kita yang belum menerapkan ke-7 hal di atas. Pertama lakukan, kemudian lakukan lagi sehingga menjadi ringan.  

Insya Allah kita memahami beberapa hal di atas dan apapun yang terkait. Tidak lain dengan latihan agar mampu memberdayakan diri menjadi semakin baik salatnya. Inilah motivasi Islam yang mesti kita cara untuk lebih baik. Teruslah motivasi diri 

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

Manajemen waktu menuntut diri yang berkemampuan

Salam sejahtera dan bahagia selalu. Insya Allah kita dimampukan untuk terus mengembangkan kemampuan untuk menjadi orang yang siap mengahadapi masalah. 


Hari ini saya ingin menulis tentang manajemen waktu. Mengapa ? Karena banyak orang belum bisa mengelola waktu dengan baik. Padahal saat kita mampu mengelola waktu dengan benar, maka kita menjadi orang yang efektif dan efisien dengan waktu yang ada dan hasilnya proporsional. Tetapi semakin majunya teknologi dengan medsos, ternyata bukan menjadi kebaikan tapi malah membuat diri kita terganggu dengan kehadirannya. Bahasan saya lebih menekankan bahwa menajemen waktu itu adalah manajemen diri dengan terus mengembangkan kemampuan diri untuk mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang kita hadapi.
 
Secara umum, makna dari manajemen waktu adalah kemampuan untuk merencanakan, mengatur, dan mengendalikan waktu yang dimiliki agar digunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen waktu bukan sekadar soal membuat jadwal, tapi mencakup kesadaran atas prioritas, kedisiplinan dalam bertindak, serta kemampuan mengatakan “tidak” pada hal-hal yang tidak penting.

Beberapa poin penting dalam makna manajemen waktu:
Mengelola Prioritas: Memilah mana yang penting dan mendesak, sehingga fokus pada hal yang benar-benar perlu dilakukan.
Efisiensi dan Produktivitas: Menghindari pemborosan waktu, menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dan hasil yang baik.
Kedisiplinan Diri: Menepati waktu, konsisten terhadap rencana, dan tidak menunda-nunda tugas.
Pengendalian Stres: Dengan waktu yang terkelola baik, beban kerja terasa lebih ringan dan tidak menumpuk di akhir waktu.
Peningkatan Kualitas Hidup: Waktu yang teratur memberi ruang untuk keseimbangan antara pekerjaan, ibadah, keluarga, dan diri sendiri.
Contoh sederhana: Seseorang yang mampu membagi waktu antara bekerja, belajar, beribadah, dan istirahat secara teratur, akan lebih tenang dan terarah dalam hidupnya dibanding yang menjalani hari secara spontan tanpa rencana.
Jika kamu ingin saya bantu uraikan makna manajemen waktu dalam konteks tertentu (misalnya dalam Islam, dalam pekerjaan, atau untuk pelajar), saya bisa bantu juga.

Saya berpendapat bahwa manajemen waktu adalah mengatur kemampuan diri sendiri dan mencerminkan esensi yang lebih dalam dari konsep manajemen waktu.
Mengapa? Karena waktu itu tetap, tidak bisa ditambah atau dikurangi — semua orang punya 24 jam sehari. Jadi, yang sebenarnya kita kelola bukan waktunya, tapi kemampuan diri kita sendiri dalam menggunakan waktu itu.
Penjelasan Lebih Lanjut:
Manajemen waktu = Manajemen diri
Waktu tidak bisa diubah. Tapi cara kita berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan dalam memanfaatkan waktu itulah yang bisa diatur. waktu yang kita habiskan sangat menentukan berapa lama waktu yang kita habiskan. 
Jadi, inti manajemen waktu adalah pengendalian diri: kemampuan, disiplin, fokus, tanggung jawab, dan kesadaran.
Refleksi Kesadaran Diri
Orang yang bisa mengatur waktu dengan baik, sebenarnya sedang melatih kesadaran diri tentang apa yang penting, apa yang seharusnya dilakukan, dan kapan harus melakukannya.
Latihan Karakter
Mengelola waktu menuntut sifat-sifat seperti jujur, konsisten, bertanggung jawab, dan sabar. Ini semua adalah bentuk pengelolaan karakter pribadi.
Contoh: Dua orang diberi waktu yang sama: 3 jam. Orang pertama menyusun prioritas, menonaktifkan gangguan, dan menyelesaikan tugas penting.
Orang kedua menunda, scroll media sosial, dan panik menjelang deadline.
Perbedaan hasil bukan karena “jamnya kurang”, tapi karena cara mengelola diri dalam waktu yang sama.
Maka dari contoh di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
“Manajemen waktu sebenarnya adalah manajemen diri: bagaimana kita memanfaatkan kemampuan, mendisiplinkan, mengarahkan, dan mengendalikan diri agar setiap waktu bernilai.”

Berikut percakapan dalam suasana kantor dengan tokoh Myra, Bujang, dan Mamat, tentang manajemen waktu :
Judul: “Ngatur Diri, Nggak Cukup Cuma Semangat”
Tokoh: Myra – Karyawan teliti tapi sering merasa waktunya kurang, Bujang – Teman sekantor yang kalem dan penuh akal, dan Mamat – Senior yang bijak dan suka menasihati dengan logika sederhana.
[Jam 09.15 pagi,  Myra sedang menuang kopi sambil menghela napas panjang. Bujang duduk sambil membuka laptop, Mamat baru masuk bawa roti tawar isi keju.]
Myra : sambil duduk. Aduh Bujang… rasanya aku udah coba semangat, bikin to-do list, bangun pagi... tapi kok ya tetap aja waktuku berantakan. Tiap hari ada aja yang bikin molor kerjaan.
Bujang : Dengan tersenyum kecil. Semangat tanpa strategi itu kayak naik sepeda tapi bannya kempes, Myra. Laju, sih... tapi ngos-ngosan.
Myra : Iya juga sih. Tapi aku beneran udah lakukan, lho. Apa aku memang nggak cocok kerja terstruktur?
[Mamat duduk di samping mereka, ikut nimbrung sambil mengunyah pelan.]
Mamat: Sebenarnya bukan soal cocok atau nggak cocok, Myra. Tapi soal siap atau belum siap ngatur diri dengan ilmu. Banyak orang mau berubah, tapi belum ngerti caranya.
Myra: Ilmu? Maksudnya aku harus ikut training lagi gitu, Mat?
Mamat: Bisa iya, bisa juga cukup mulai dari belajar dasar-dasarnya dulu. Misal: cara nentukan prioritas, ngerti kapan harus bilang “enggak”, tahu kapan fokus dan kapan jeda.
Bujang: Kayak aku, Myra. Dulu aku pikir aku orang yang malas. Tapi ternyata aku cuma belum tahu cara kerja yang cocok buatku. Setelah coba metode “time blocking”, kerjaan jadi jauh lebih kepegang.
Myra: Time blocking? Baru dengar.
Mamat: Tuh kan. Makanya tadi aku bilang: ngatur diri bukan cuma soal kemauan, tapi soal kemampuan yang berdasar ilmu. Kalau kamu tahu ilmunya, insyaAllah bisa lebih ringan jalannya.
Bujang: Ibaratnya kayak masak. Punya niat bikin rendang sih bagus, tapi kalau nggak tahu resep dan tekniknya... ya bisa-bisa malah gosong.
Myra: tertawa kecil.Oke, oke. Kalian berhasil menyadarkan aku. Jadi langkah pertama aku harus belajar dulu ya?
Mamat: Betul. Mulai dari yang sederhana. Banyak ilmu pengelolaan diri yang bisa kamu pelajari — asal konsisten, hasilnya bakal kerasa. Dan satu hal penting: jangan cuma sibuk, tapi pastikan sibukmu bermakna.
Bujang dan Myra : Menjawab bareng, siap pak bos !

Apa saja yang mesti dikelola tentang kemampuan diri dalam manajemen waktu
1. Pikiran (Mindset & Fokus)
Mengelola cara berpikir, termasuk prioritas hidup, kesadaran akan tujuan, dan pola pikir produktif.
Menghindari overthinking, distraksi mental, dan rasa malas.
Contoh: memfokuskan pikiran pada satu tugas sebelum pindah ke yang lain (single-tasking).
2. Emosi
Mengelola rasa malas, cemas, panik, atau perfeksionis yang bisa menghambat pekerjaan.
Belajar tenang saat dikejar deadline atau saat agenda berubah tiba-tiba.
Emosi yang stabil membantu pengambilan keputusan cepat dan tepat.
3. Kebiasaan
Disiplin bangun pagi, membuat to-do list, mencicil tugas, atau istirahat yang cukup.
Kebiasaan buruk seperti menunda-nunda (prokrastinasi), begadang, atau terlalu banyak konsumsi sosial media harus dikelola atau dikurangi.
4. Kemauan (Disiplin & Komitmen)
Mampu berkata “tidak” pada gangguan yang tidak penting.
Menepati jadwal, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi.
Ini adalah inti dari self-management dalam penggunaan waktu.
5. Energi & Kesehatan
Mengelola diri berarti juga menjaga fisik dan stamina.
Tidur cukup, makan sehat, dan berolahraga supaya tetap fit dan fokus saat menjalani aktivitas.
6. Tujuan Hidup & Nilai Pribadi
Menyadari bahwa waktu harus digunakan sesuai arah hidup yang kita yakini (misalnya: bekerja sebagai amanah, belajar sebagai ibadah, dsb).
Nilai ini memberi makna dan arah dalam memilih aktivitas.

Kita dapat menyimpulkan tentang Manajemen Waktu adalah Mengelola Diri untuk Mengelola Waktu. Banyak orang berpikir bahwa manajemen waktu berarti mengatur jadwal sebaik mungkin. Tapi kenyataannya, waktu tidak pernah bisa diatur. Ia terus berjalan, tanpa menunggu atau berhenti. Maka pertanyaan yang lebih tepat bukanlah, “Bagaimana mengatur waktu?” melainkan, “Bagaimana mengatur diri dalam menggunakan waktu yang ada?”
Manajemen waktu sejatinya adalah manajemen diri. Kita bukan sedang melawan waktu, tapi sedang melatih bagaimana mengelola bagian-bagian dalam diri kita: pikiran, emosi, kebiasaan, kemauan, bahkan kesehatan.
Lalu, apa saja yang perlu kita kelola dalam diri agar waktu benar-benar menjadi berkah dan produktif?
1. Pikiran: Fokus dan Pola Pikir Produktif
Segala sesuatu dimulai dari pikiran. Pikiran yang tidak teratur akan mudah terdistraksi, sulit memutuskan prioritas, dan akhirnya membuat kita sibuk tapi tidak produktif.
Mengelola pikiran berarti:
Menyadari apa yang penting dan harus didahulukan.
Melatih fokus pada satu hal dalam satu waktu (single-tasking).
Menyingkirkan kebiasaan overthinking yang menguras waktu tanpa hasil.
2. Emosi: Tetap Tenang, Jangan Tunda
Emosi seperti malas, cemas, panik, atau bahkan perfeksionis bisa menjadi musuh besar produktivitas. Orang sering menunda tugas karena merasa tidak siap secara emosional, bukan karena tidak punya waktu.
Mengelola emosi berarti:
Belajar mengatasi rasa malas dan penundaan.
Membangun ketenangan saat deadline mendekat.
Tidak terjebak dalam keinginan “sempurna” yang malah menunda penyelesaian.
3. Kebiasaan: Rutinitas yang Mendukung Produktivitas
Manajemen waktu akan terasa sulit jika kebiasaan sehari-hari justru merusak alur kerja kita. Misalnya: tidur terlalu malam, membuka media sosial terlalu lama, atau memulai hari tanpa rencana.
Kebiasaan kecil seperti bangun pagi, membuat to-do list, dan istirahat teratur bisa membuat perbedaan besar.
4. Kemauan: Disiplin dan Komitmen
Waktu bisa saja tersedia, tapi tanpa kemauan kuat, kita tidak akan menggunakannya dengan bijak. Disiplin adalah kemampuan menepati rencana, bahkan saat tidak ada yang mengawasi.
Mengelola kemauan berarti:
Mampu berkata "tidak" pada distraksi.
Menepati komitmen pribadi meskipun tidak mudah.
Melatih diri untuk menyelesaikan tugas tepat waktu.
5. Energi dan Kesehatan
Tak banyak yang menyadari bahwa energi fisik sangat berpengaruh dalam penggunaan waktu. Tubuh yang lelah dan tidak sehat membuat pekerjaan lebih lambat dan tidak fokus.
Mengelola energi berarti:
Tidur cukup dan berkualitas.
Menjaga pola makan dan olahraga ringan.
Memberi jeda istirahat di antara aktivitas penting.
6. Tujuan dan Nilai Pribadi
Tanpa arah yang jelas, kita mudah terjebak dalam kesibukan yang tidak bermakna. Tujuan hidup dan nilai pribadi memberi panduan dalam memilih aktivitas, serta menyaring mana yang pantas menyita waktu kita.
Apakah waktu yang kita habiskan setiap hari sudah mendekatkan kita pada tujuan hidup? Inilah pertanyaan yang membantu kita hidup lebih sadar dan terarah.

Waktu Tidak Perlu Diatur, Diri Kitalah yang Perlu Dikelola. 
“You don’t manage time. You manage yourself in time.” – Brian Tracy

Manajemen waktu bukan sekadar soal jadwal, tapi soal karakter. Kemampuan, Disiplin, fokus, tanggung jawab, dan kesadaran diri—semua itu yang akan menentukan apakah waktu menjadi sahabat atau justru beban.
Jadi, sebelum mengatur agenda harian, mulailah dengan satu pertanyaan sederhana: “Sudahkah aku mengelola diriku hari ini?”


Manajemen waktu dari sudut pandang Islam, 
Manajemen Waktu: Mengelola Diri dalam Bingkai Kesadaran kepada Allah
Dalam kehidupan ini, setiap insan diberi waktu yang sama: 24 jam sehari. Namun, hasil yang didapat setiap orang bisa sangat berbeda. Bukan karena waktu mereka lebih banyak, tetapi karena cara mereka mengelola diri dalam memanfaatkan waktu tersebut.
Dalam Islam, waktu adalah amanah. Allah bersumpah dengan waktu dalam banyak ayat, seperti:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian...”
(QS. Al-‘Ashr: 1–2)
Itu artinya, waktu bukan hanya soal produktivitas, tapi juga pertanggungjawaban di hadapan Allah. Maka, manajemen waktu sejatinya adalah manajemen diri dalam kesadaran kepada-Nya.
Apa Saja yang Perlu Dikelola dari Diri?

1. Pikiran: Menata Niat dan Fokus
Segalanya bermula dari niat. Niat yang lurus karena Allah menjadikan setiap detik bernilai ibadah. Mengelola pikiran berarti: 
* Memurnikan niat: bekerja, belajar, berkeluarga, semuanya karena Allah. 
* Fokus pada yang bermanfaat dan mendekatkan diri kepada-Nya. 
* Menjauhi pikiran sia-sia, keluh kesah, dan pikiran yang melemahkan semangat.
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya...” (HR. Bukhari)

2. Emosi: Sabar, Tenang, Tidak Menunda
Kadang kita tahu apa yang harus dilakukan, tapi emosi negatif seperti malas, gelisah, atau takut gagal membuat kita menunda.
Mengelola emosi berarti:
* Bersabar dalam menjalaninya.
* Tidak menunda tugas atau ibadah dengan alasan suasana hati.
* Menjaga ketenangan hati agar tidak gegabah dalam membuat keputusan.

3. Kebiasaan: Membangun Amal Rutin
Dalam Islam, amal yang sedikit tapi konsisten (istiqamah) lebih dicintai Allah daripada yang besar namun terputus-putus.
Mengelola kebiasaan berarti:
* Bangun pagi, shalat tepat waktu, dzikir harian, dan agenda teratur.
* Menghindari kebiasaan buruk seperti begadang tanpa manfaat atau sibuk dengan media sosial berlebihan.
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim)

4. Kemauan: Disiplin dan Amanah
Manajemen diri artinya memegang amanah waktu dengan tanggung jawab. Orang yang menyia-nyiakan waktu sejatinya sedang menyia-nyiakan amanah Allah.
Mengelola kemauan berarti:
* Berusaha menepati janji, jadwal, dan tanggung jawab.
* Melatih diri untuk taat dan patuh, meskipun tanpa pengawasan manusia.
* Tidak menunda amal shalih ketika waktu tersedia.

5. Energi: Menjaga Kesehatan sebagai Ibadah
Kesehatan adalah modal untuk beribadah dan berkarya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ada dua nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak manusia: nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Mengelola energi berarti:
Tidur cukup, makan halal dan bergizi, serta bergerak aktif.
Tidak menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

6. Tujuan: Hidup untuk Allah, Bukan Sekadar Sibuk
Manusia bisa sangat sibuk, tapi tidak semua kesibukan bermakna. Orang beriman menyadari bahwa setiap aktivitas adalah jalan menuju ridha Allah.
Mengelola tujuan berarti:
* Menyelaraskan aktivitas dengan peran sebagai hamba dan khalifah di bumi.
* Menanyakan setiap hari: “Apakah ini membuatku lebih dekat kepada Allah?”
* Menjadikan waktu sarana untuk memperbanyak amal sebelum ajal tiba.

Waktu Adalah Amanah, Diri Adalah Kunci
“Waktu bukan untuk dikejar, tapi untuk diisi dengan makna. Dan makna itu hadir bila kita mengelola diri dalam kesadaran kepada Allah.”

Mengelola diri bukan sekadar agar lebih produktif, tapi agar hidup lebih bernilai ibadah. Maka sebelum membuka agenda harian, mari bertanya kepada diri:
“Apakah hari ini aku telah menggunakan waktuku sebagai bentuk syukur dan tanggung jawab kepada Allah?”

menjadi penting saat ini adalah untuk terus belajar mencari ilmu agar tidak tertinggal lagi atas ilmu yang dibutuhkan dalam pekerjaan dan tugas kita. Bukankah mengatur diri adalah mempersiapkan kemampuan yang berdasarkan ilmu agar bisa mengatur diri dengan baik
Mengatur diri bukan sekadar niat atau kemauan, tapi perlu disertai dengan ilmu dan kemampuan yang tepat agar hasilnya benar-benar efektif.
Mengatur diri (self-management) adalah proses sadar dalam mengendalikan pikiran, perasaan, kebiasaan, dan tindakan agar sejalan dengan tujuan hidup. Tapi untuk bisa mengatur diri dengan benar dan konsisten, seseorang perlu mempersiapkan kemampuan tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pemahaman yang benar.
Jadi, mengatur diri itu membutuhkan:
1. Ilmu yang Benar
@ Tentang prioritas (mana yang wajib, sunnah, penting, dan sia-sia).
@ Tentang tujuan hidup menurut agama dan akal sehat.
@ Tentang strategi manajemen diri seperti membuat jadwal, teknik fokus, mengatasi penundaan, dll.
Tanpa ilmu, kita mudah terjebak dalam kesibukan yang tidak berdampak, atau bahkan menyia-nyiakan waktu untuk hal yang kelihatan penting padahal sebenarnya tidak.

2. Kemampuan Praktis (Skills)
@ Mengatur waktu dengan teknik yang sesuai (contoh: time-blocking, to-do list, skala prioritas).
@ Berpikir jernih dan kritis dalam mengambil keputusan.
@ Melatih konsistensi dan disiplin meski tanpa pengawasan.
@ Kemampuan mengelola emosi, agar tetap tenang dan rasional saat menghadapi tekanan.

3. Kesadaran Diri (Self-awareness)
@ Menyadari kebiasaan buruk diri dan memperbaikinya.
@ Mengetahui batas kemampuan dan kapasitas waktu.
@ Mampu mengevaluasi diri: sudahkah hari ini digunakan dengan baik?

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut :
Mengatur diri = Ilmu + Keterampilan + Kesadaran
Maka benar jika dikatakan:
“Mengatur diri membutuhkan persiapan kemampuan yang didasarkan pada ilmu.”

Tanpa ilmu, kita hanya “mengira-ngira”. Tapi dengan ilmu dan latihan, manajemen diri bisa menjadi kekuatan utama dalam meraih keberhasilan — baik dunia maupun akhirat.

Berikut contoh percakapan dalam suasana kantor yang menggambarkan pemahaman bahwa mengatur diri itu membutuhkan ilmu dan kemampuan, bukan hanya kemauan:
Judul: “Ngatur Diri Nggak Cukup Cuma Niat”
Tokoh:
Bujang – Supervisor yang bijak
Myra – Karyawan muda, semangat tapi sering keteteran
Mamat – Rekan kerja, cukup disiplin dan teratur
[Pagi hari di ruang istirahat kantor, Myra tampak lelah sambil menyeruput kopi. Mamat datang membawa laptop.]
Mamat : Rani, semalam lembur lagi ya? Kelihatan banget kamu capek.
Myra : Iya, aku nyusun laporan yang sebenarnya bisa selesai kemarin, tapi keburu ada revisi dari klien. Kayaknya aku tuh… kurang bisa ngatur waktu deh.
Mamat : (tersenyum) Ngatur waktu itu memang nggak semudah kelihatannya. Tapi kamu sebenarnya sudah cukup niat, tinggal cara dan kebiasaannya yang perlu dilatih.
[Bujang masuk dan mendengar percakapan mereka.]
Bujang : Nah, saya setuju sama Mamat. Banyak orang berpikir ngatur waktu itu soal niat dan semangat aja. Padahal, itu soal kemampuan juga.

Myra : Maksudnya kemampuan seperti apa, Pak?
Bujang: Kemampuan ngatur diri. Termasuk ngerti cara bikin skala prioritas, tahu kapan harus bilang “tidak”, bisa atur energi, dan tentu... tahu ilmunya. Misalnya: kamu tahu teknik time blocking, atau Eisenhower Matrix?
Myra : Hmm... belum pernah dengar sih, Pak.
Bujang : Nah, itu contohnya. Mengatur diri itu bukan sekadar niat bangun pagi dan bilang “aku harus semangat”, tapi juga belajar cara kerja yang efisien, sadar kapasitas diri, dan tahu alat bantu yang tepat.
Mamat : Dulu saya juga begitu, Mbak. Tapi setelah belajar sedikit tentang manajemen waktu dan cara kerja fokus, alhamdulillah lebih terarah.
Myra : Iya juga, ya. Selama ini aku pikir aku tuh nggak disiplin aja. Tapi ternyata, aku juga kurang tahu caranya.
Bujang : Betul. Disiplin itu bisa dilatih, asal tahu ilmunya. Di kantor ini, kamu boleh minta waktu coaching sama saya atau cari referensi buat bantu manajemen diri. Nanti saya bantu arahkan.
Myra : Wah, terima kasih banget, Pak. Kayaknya ini yang selama ini aku butuhin.
Bujang : Sama-sama. Ingat, waktu itu tetap — yang harus berubah itu diri kita. Dan perubahan diri butuh ilmu, latihan, dan niat baik.

Menarik untuk menyimak perpcakapan di atas, ada saja yang terjadi setiap dalam pekerjaan kita. Bahkan kita sendiri yang belum maksimal dalam mengatur diri sehingga waktu kita efisien dan efektif.

Ada beberapa pertanyaan yang mesti kita temukan jawabannya agar kita mampu mengendalikan atau mengatur diri.
1. Mengelola waktu bukan sekadar soal jadwal, tapi tentang mengelola diri dengan ilmu, kesadaran, dan kemampuan praktis
Berikut Ilustrasi Kasus (Percakapan Ringan)
Myra: Aku udah coba semangat, bikin to-do list, bangun pagi... tapi kok waktuku tetap berantakan.
Bujang: Semangat tanpa strategi itu kayak naik sepeda tapi bannya kempes, Myra.
Mamat: Ngatur diri itu bukan cuma soal niat, tapi soal kemampuan yang berdasarkan ilmu. Kalau kamu tahu ilmunya, insyaAllah bisa lebih ringan jalannya.
Bujang: Ibaratnya masak. Punya niat bikin rendang bagus, tapi kalau nggak tahu resep dan tekniknya… ya bisa-bisa malah gosong.
Myra: Jadi langkah pertama aku harus belajar dulu ya?
Mamat: Betul. Jangan cuma sibuk, tapi pastikan sibukmu bermakna.
Pertanyaannya :
a. Menurut Anda, apa yang paling sulit dalam mengatur diri untuk memanfaatkan waktu secara efektif?
b. Apa contoh nyata dari ‘semangat tanpa strategi’ yang pernah Anda alami atau lihat di kantor?
c. Mengapa penting bagi kita untuk belajar ilmu manajemen diri, bukan hanya mengandalkan niat baik?
d. Apa saja kemampuan yang menurut Anda perlu dimiliki agar bisa mengelola waktu dengan baik?
e. Bagaimana caranya kita bisa mulai membangun kebiasaan dan kemampuan itu secara bertahap di lingkungan kerja?

Waktu tidak bisa ditambah, yang bisa diubah adalah cara kita mengelola diri.
Semangat tanpa ilmu bisa membuat kita lelah tanpa hasil.
Disiplin, kebiasaan baik, dan strategi yang tepat harus dilatih — bukan ditunggu datangnya.
Mengatur diri adalah bentuk tanggung jawab atas amanah waktu yang diberikan oleh Allah.
Setelah menemukan jawaban atas pertanyaan di atas, Tulislah satu kebiasaan buruk terkait waktu yang ingin diubah. 
 ..................


Faktanyal, banyak orang tidak mau mengembangkan kemampuan dengan menambah ilmunya. Alasannya selalu tidak ada waktu, Lalu pertanyaannya, Apakah mereka yang tak berkemampuan bisa mengelola diri untuk menunjang manajemen waktu?
Jawabannya: masih Bisa, asal diberikan bimbingan dan kesadaran secara bertahap. Siapa yang bertanggung jawab atas ini adalah atasannya dan diri sendiri yang mengambil inisiatif.
Tapi mari kita bedah lebih jujur dan menyeluruh:
1. Apa yang Dimaksud "Tak Berkemampuan"?
Kalau yang dimaksud adalah: 
a. Tidak punya latar belakang pendidikan tinggi
b. Tidak terbiasa mengatur waktu
c. Lingkungan tidak mendukung
d. Kurang wawasan tentang cara mengelola diri
Bukan berarti mereka tidak mampu, melainkan belum diberi bekal dan pembiasaan yang tepat. Kemampuan bisa dibentuk — asal ada niat, pembinaan, dan contoh yang baik.

“Tidak semua orang langsung bisa, tapi semua orang bisa belajar.”

2. Manajemen Diri Itu Bisa Dipelajari oleh Siapa Saja
Mengelola diri tidak harus dimulai dengan kecanggihan — justru dimulai dari:
Kesadaran sederhana: 
"Waktu saya terbatas, jadi harus digunakan sebaik-baiknya." 
Kebiasaan kecil: datang tepat waktu, membuat catatan tugas harian, menghindari menunda.
Contoh:
Banyak orang tua di desa yang tidak sekolah tinggi, tapi waktu Subuh sudah bangun, bekerja, pulang tepat waktu, dan hidupnya teratur. Itu pun bentuk manajemen diri.

3. Tugas Pemimpin dan Lingkungan: Mendidik, Bukan Menghakimi
Jika ada karyawan atau anggota tim yang belum terampil mengatur diri dan waktu, bukan berarti mereka “tidak bisa berubah.” Mungkin mereka:
a. Belum tahu caranya
b. Tidak pernah diberi contoh
c. Tidak pernah diberi kesempatan belajar
Jangan langsung menuntut disiplin tinggi dari orang yang belum pernah diajarkan mengelola waktu.

4. Kesimpulan:
Semua orang pada dasarnya bisa mengelola diri untuk menunjang manajemen waktu, asalkan:
a. Ada niat dari dalam diri (yang bisa dibangun dengan motivasi spiritual & tujuan hidup)
b. Ada ilmu yang ditanamkan secara sederhana
c. Ada lingkungan yang membimbing dan memberi contoh

jika orang itu tidak berilmu, bagaimana ? Maka yang menjadi kuncinya adalah dirinya sendiri'. Diri sendiri harus sadar dengan keadaannya dan berkomitmen untuk bisa berilmu dengan berbagai cara. Yang terpenting adalah lakukan atau praktekkan apa yang sudah diperoleh dari ilmu.
1. Manusia Diciptakan untuk Belajar
Setiap manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, sebagaimana firman Allah:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, lalu Dia memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur."
(QS. An-Nahl: 78)
Ini menunjukkan bahwa keterbatasan ilmu bukan penghalang, melainkan titik awal. Orang yang tidak berilmu hari ini, bisa berubah bila diberi akses belajar yang sesuai kapasitasnya.

2. Mengelola Diri Tidak Harus Dimulai dari Ilmu Tinggi
Ilmu manajemen waktu dan manajemen diri bukan berarti harus tahu teori psikologi atau strategi korporat. Tapi bisa dimulai dari nilai-nilai dasar, seperti:
a. Menepati janji = waktu shalat tepat
b. Tidak menunda = segera menyelesaikan pekerjaan harian
c. Bertanggung jawab = menyelesaikan tugas sesuai amanah
Bahkan orang yang tidak bisa baca-tulis bisa:
* Bangun pagi karena sudah terbiasa
* Datang kerja tepat waktu karena merasa itu tanggung jawab
* Mengerjakan tugas karena paham bahwa itu kewajiban
Ini semua bentuk manajemen diri — berdasarkan nilai, bukan teori.

3. Yang Dibutuhkan: Pembiasaan, Bukan Ceramah Berat
Orang yang belum berilmu tetap bisa berkembang jika:
a. Diberi contoh nyata (pemimpin yang disiplin dan sabar)
b. Dibimbing dengan bahasa sederhana
c. Diberi lingkungan yang mendorong praktik langsung
Contoh:
* Dibiasakan menyusun rencana harian meskipun dengan gambar/simbol
* Diajari mengenal waktu lewat jam analog
* Diberi peran kecil tapi konsisten untuk membangun rasa tanggung jawab

Orang yang tidak berilmu bisa menjadi teratur dan bertanggung jawab — jika pembinaannya tidak menghakimi, tapi mendidik.

Ilmu adalah syarat, tapi bukan rintangan.
Jika belum ada ilmu, maka tugas lingkungan dan pemimpin adalah menghadirkan ilmu itu secara bertahap dan ramah.

Orang yang tidak berilmu bisa mengelola diri, asal diarahkan, dilatih, dan diberi makna atas tindakannya.

Rasulullah ﷺ tidak langsung memberi beban berat kepada sahabat-sahabat awal. Beliau membangun iman, memberi contoh, dan menanamkan nilai satu per satu — sampai orang-orang yang tadinya tidak berilmu menjadi pemimpin dunia.


Mari kita renungkan hal berikut ini ;
Kalau Aku Tak Berilmu, Masih Mungkinkah Mengatur Diri?
Pertanyaan ini mungkin terlintas di benak sebagian orang:
“Saya bukan orang berpendidikan tinggi. Saya tidak paham teknik manajemen waktu. Saya bingung harus mulai dari mana... Lalu, apakah saya bisa mengelola diri saya?”

Jawaban jujurnya adalah: bisa. Sangat bisa.
Karena sejatinya, kemampuan mengatur diri tidak hanya berasal dari teori, tapi dari kesadaran, pembiasaan, dan nilai-nilai hidup yang ditanamkan.

Islam Mengajarkan: Semua Manusia Memulai dari Ketidaktahuan
Allah berfirman:

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, lalu Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl: 78)

Setiap manusia, secerdas apa pun hari ini, dulunya tidak tahu apa-apa. Maka kekurangan ilmu bukanlah akhir — itu adalah awal. Allah memberi potensi belajar kepada semua hamba-Nya.

Yang Diperlukan Adalah Arah, Bukan Gelar
Mengatur diri bukan soal punya gelar tinggi atau bisa menyusun strategi ala perusahaan besar. Tapi soalnya adalah :

Melatih menepati janji, seperti shalat di awal waktu.

Menyelesaikan pekerjaan meski kecil, karena merasa itu amanah.

Tidak menunda, karena tahu waktu hidup terbatas.

Bahkan seorang petani yang tak bisa baca-tulis pun bisa bangun sebelum Subuh, bekerja teratur, dan menepati janji kepada orang lain. Itu pun bentuk dari manajemen diri.

Yang tahu, ya Membimbing, Bukan Menghakimi
Jika seseorang belum terampil mengelola diri, bisa jadi karena:
a. Ia belum pernah diajarkan secara langsung
b. Ia tidak dibiasakan dari kecil
c Atau ia belum punya lingkungan yang memberi contoh baik

Maka peran pemimpin, keluarga, atau rekan kerja adalah:
* Menghadirkan ilmu secara sederhana
* Membimbing lewat teladan dan pembiasaan

Memberi ruang untuk bertumbuh tanpa tekanan
Renungan Pribadi
Saya mungkin belum tahu caranya, tapi saya bisa belajar.”
“Saya mungkin bukan orang yang pintar teori, tapi saya bisa jadi orang yang bertanggung jawab.”
“Allah menilai usaha saya — bukan seberapa canggih teori saya, tapi seberapa sungguh-sungguh saya ingin berubah.”

Pahami diri bahwa Semua orang bisa mengatur diri, asalkan diberi ilmu, contoh, dan kesempatan.
Tidak tahu bukan aib — asal mau belajar dan memperbaiki diri.

Jika belum tahu caranya, mulailah dari hal kecil yang bisa kamu jaga hari ini: satu janji yang ditepati, satu tugas yang tidak ditunda, satu waktu yang kamu jaga dengan niat baik.

Berikut ini yang perlu dipelajari dalam belajar untuk bisa mengatur waktu adalah mengelola waktu memang harus diikuti oleh ilmu yang benar tentang setiap bagian waktunya.
Mengapa?
Karena mengatur waktu tanpa memahami nilai dan manfaat dari waktu itu sendiri akan membuat seseorang:
1. Mengatur secara mekanis, tapi tidak bermakna
2. Mengisi waktu tanpa arah yang jelas
3. Kehilangan motivasi untuk konsisten
Contoh: Mengelola Waktu Pagi
Jika seseorang hanya diberi jadwal:
“Bangun jam 4:30 pagi, lalu mulai aktivitas pukul 5:00.”
Tanpa tahu mengapa itu penting, maka lama-lama dia akan:
* Merasa terpaksa
* Kembali bangun siang
* Menyia-nyiakan waktu paginya
Tapi jika dia tahu ilmunya:
Pagi adalah waktu yang diberkahi oleh Allah (barakah) – HR. Tirmidzi
* Otak bekerja paling jernih di pagi hari
* Bangun pagi menumbuhkan kedisiplinan dan ketenangan
* Banyak tokoh sukses (termasuk ulama dan pemimpin) memulai hari lebih awal
* Shalat Subuh di awal waktu = bentuk kesadaran dan syukur
… maka ia akan lebih mudah menjaga kebiasaan itu dengan hati, bukan sekadar patuh jadwal.

Dari contoh di atas, bahwa Manajemen waktu yang efektif harus dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang fungsi dan nilai setiap bagian waktu.

Insya Allah kita dapat mengambil hikmah dari tema manajemen waktu dengan benar. Tidak ada yang tidak bisa, asal kita selalu mengambil inisiatif untuk terus memulai dan mempertahankan belajar ilmunya. Semua ini untuk meningkatkan pemberdayaan diri yang didorong oleh motivasi diri yang islami. Niat dan kesungguhan menunjukkan minat dan komitmen kita untuk efektif dan efisien dalam mengatur waktu.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

Sabtu, Juli 19, 2025

Kesalahan itu ujian untuk kembali bener

 Salam sehat dan bahagia di hari Sabtu ini, Insya Allah banyak hal yang membuat kita berbahagia. Aamiin

Dari sebuah obrolan berikut ini ada hikmah yang dapat kita mabil pelajaran. Apa itu ? Melakukan kesalahan. Pernah kan ? Yuk kita ikuti obrolannya “Pelajaran dari Kesalahan”
(Di ruang istirahat kantor, sambil minum kopi pagi)
Myra: “Kalian pernah nggak… ngerasa malu banget karena pernah ngelakuin kesalahan di masa lalu?”
Mamat: “Heh, itu mah tiap hari aku mikirin dosa-dosa lama. Kadang sampai pengen ngilang aja dari muka bumi.”
Bujang: “Serius, Mat? Bukannya kamu dulu juga pernah cerita... dari kesalahan itu justru kamu jadi berubah total?”
Mamat:“Iya sih. Gara-gara dulu pernah ngebohongin bos dan ketahuan, sekarang aku paling anti dusta. Tapi tetap aja, rasa bersalah itu masih ada.”
Myra : “Aku malah pernah denger begini: ‘Kesalahan itu bukan akhir, tapi cermin yang bisa bikin kita kenal diri sendiri.’ Kalau kita mau lihat dengan jujur, kadang justru dari kesalahan, Allah kasih kita pelajaran besar.”
Bujang: “Setuju. Bahkan kadang, dari kegagalan atau keburukan yang kita sesali, muncul pintu taubat, muncul kesadaran, muncul tekad untuk gak ngulangin.”
Mamat: “Berarti... bukan soal kita gak pernah jatuh. Tapi soal kita bisa belajar waktu jatuh, ya?”
Myra: “Nah, itu. Allah Maha Pengampun bukan supaya kita terus berbuat salah, tapi supaya kita gak berhenti belajar jadi lebih baik.”
Bujang: “Dan bisa jadi... justru dari titik paling buruk dalam hidup, kita mulai kenal Allah. Itu anugerah yang tersembunyi.”

“Jangan cuma menyesali kesalahan. Lihat ke belakang hanya untuk memahami, bukan untuk tinggal di sana. Allah bukakan kesadaran dari situ — agar kita tumbuh, bukan hancur.”
Yang menjadi pertanyaanya adalah kok ada orang yang tidak mengambil pelajaran masa lalunya ? Merasa bener dengan apa yang sudah dilakukannya. Jadi nggak ada yang perlu disesali.



Untukmu yang Belum Berubah
Mungkin kamu belum berubah.
Masih mengulang kesalahan yang sama.
Masih memilih diam daripada taubat.
Masih merasa, “Ah, nanti saja… Allah kan Maha Pengampun.”
Tapi pernahkah kamu berpikir…
Sampai kapan kamu ingin menunda sadar?
Sampai kapan kamu nyaman berjalan di jalan yang kamu tahu salah?
Allah tak pernah lelah mengajakmu kembali.
Bahkan saat kamu lupa, Dia tetap menjagamu.
Bahkan saat kamu pura-pura baik-baik saja, Dia tetap menyapamu lewat rasa gelisah, lewat kejadian-kejadian kecil yang menampar hati.
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri."
(QS. Al-Hasyr: 19)

Renungkan itu:
Allah tak akan memaksa kamu berubah, tapi Dia tak akan berhenti menunggu.
Mungkin kamu merasa terlalu kotor untuk kembali.
Terlalu jauh untuk dimaafkan.
Tapi tahukah kamu?
Rasa malu karena dosa bisa jadi awal hidayah.
Air mata penyesalan bisa jadi lebih bersih daripada seribu kata bijak.
Jika hari ini kamu membaca ini, dan hatimu sedikit bergetar,
jangan abaikan.
Itu bukan sekadar tulisan —
itu mungkin bisikan lembut dari Tuhanmu yang rindu kamu kembali.
Doa Singkat:
“Ya Allah... jika aku lambat dalam menyadari kesalahan, jangan palingkan kasih sayang-Mu. Jangan biarkan aku terbiasa dengan dosa. Bangunkan aku... meski dengan luka.”

Banyak orang yang tidak berubah bukan karena mereka benar-benar “tidak mau,” tapi karena beberapa alasan berikut yang sering tidak disadari:
1. Merasa Sudah Benar (Self-Justification)
Beberapa orang tidak berubah karena merasa:
“Yang penting aku gak nyakitin orang.”“Orang lain juga begitu kok.”
“Ini bukan dosa besar, masih bisa ditoleransi.”
Mereka membuat standar sendiri untuk membenarkan keadaan yang salah.
Ini seperti orang yang berada di ruangan gelap terlalu lama — sampai matanya terbiasa dengan gelap dan tak tahu kalau cahaya itu ada.
2. Terlalu Nyaman (Comfort Zone dalam Dosa)
Kadang, seseorang tahu bahwa yang dia lakukan salah, tapi tetap dilakukan karena : Sudah terbiasa, Lingkungannya mendukung, Tidak ada tekanan untuk berubah, Merasa hidup baik-baik saja
Inilah yang membuat hati perlahan mati rasa terhadap dosa kesalahan yang tampak bagus.
Allah menyebut kondisi ini dalam Al-Qur'an:

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi." (QS. Al-Baqarah: 74)

3. Takut Proses Perubahan
Perubahan itu butuh: Keberanian, Pengorbanan, Rasa malu
Dan sebagian orang tidak siap menanggung itu. Mereka takut kehilangan pergaulan, kenyamanan, atau citra.
4. Tidak Merasa Dosa sebagai Hal Mendesak
“Nanti aja taubatnya.”, “Masih muda.”, “Belum siap hijrah.”
Ini seperti orang sakit tapi tidak merasa butuh obat — padahal penyakitnya terus menggerogoti perlahan.
5. Belum Tersentuh Hidayah yang Menyentak Hati
Kadang hati perlu “diguncang” oleh suatu peristiwa: kehilangan, sakit, atau teguran keras. Sebagian belum berubah karena Allah belum izinkan hatinya tersadar — atau karena ia belum benar-benar mencari cahaya itu.

"Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada."
(QS. Al-Hajj: 46)

Beruntunglah kita yang berubah karena Allah telah berikan hidayah dan kita bersyukur, dan berharap mereka yang belum berubah bukan semata orang jahat. Mereka hanya belum tersadar, belum cukup malu pada Allah, atau terlalu tenggelam dalam rasa nyaman semu. Sesungguhnya Allah selalu menunggu untuk berubah. 
Tugas kita bukan menghakimi — tapi mendoakan, mengingatkan, dan menjadi cermin agar hidayah bisa sampai pada mereka.

Sebenarnya kita pun tidak mudah untuk melihat kesalahan sebagai pelajaran untuk berubah. Banyak sekali pertimbangannya, bagaimana akibatnya kalau saya begini dan begitu ? Bisa jadi memang Allah menghendaki kebaikan kepada kita, atau bisa juga karena doa orang tua dan orang baik untuk kita, atau bisa juga karena perbuatan baik kita yang mungkin kita juga sudah lupa. Semua itu pasti izin Allah. Oleh sebab itu berbuat baik selalu tanpa perlu berpikir macem-macem, dan berdoalah untuk orang tua kita dan orang lain sebagai bentuk kebaikan kita. Perhatikan saat kita salah sedikit, kita memaafkannya dan nanti bisa diperbaiki kok. Tapi karena pernah salah lalu memaklumi kalau salah dan tidak ingin memperbaikinya lagi, "Allah juga maklum".  Semakin hari menjadi biasa kalau salah dan berharap nanti bisa sadar ... Apa yang terjadi ? hati semakin gelap (tertutupi) dan hanya Allahlah yang Maha Rahman dan Rahiim dapat membuka hati kita. Bila saat ada momen kita dibukakan hati untuk melihat kesalahan itu ... sadar. Bersegeralah untuk mengikuti kata hati untuk berubah sekalipun berat. Ini hanya soal kebiasaan saja, karena sudah terbiasa salah, maka untuk berbuat bener itu jadi berat. Kuatkan hati dengan sedikit demi sedikit melakukan yang bener, dan berdoa.

Insya Allah kesalahan demi kesalahan itu menunjukkan kita belum lulus ujian sehingga kita mengalami kesulitan dalam hidup ini. Tidak ada cara lain kecuali kembali dekat kepada Allah dan belajar ilmu Allah. Kan ujiannya dari Allah, pasti dengan ilmu Allah kita bisa lulus. Kesulitan yang terjadi membuat kita merasa tidak nyaman, itulah keadaan yang tidak kita inginkan. Kita ingin bahagia. Sekalipun ada kesulitan, kita diberi kemampuan utnuk melewatinya. Bacalah keberadaan Allah dalam berbagai situasi untuk menyadarkan kita untuk bersama Allah dalam hidup ini, kebaikan di dunia dan diakhirat.

Mubazir rasanya kalau kita tidak berubah, oleh sebab itu berdayakan diri untuk menjadi semakin bener. Motivasi islam adalah khazanah yang luas yang mampu mendorong kita menemukan makna hidup. Teruslah memotivasi diri.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri 







Jumat, Juli 18, 2025

Menjadi karyawan yang dipercaya

 Salam bahagaia selalu dan Insya Allah semua diberikan kesehatan yang baik hari ini sehingga mampu mengendalikan diri menjadi semakin baik. Aamiin




Bahasan hari ini adalah menjadi karyawan yang dipercaya oleh atasan dan perusahaan. Dikisahkan dalam obrolan berikut ini :

 “Yang Hilang Saat Dia Libur”

Mamat: “Eh, kalian sadar nggak, kalau Dita nggak masuk, ruangan ini jadi… beda banget.” 
Myra: “Beda gimana? Lebih tenang gitu ?”
Bujang: “Justru sepi tapi ribet. Email jadi numpuk, laporan ke atasan ngaret, dan gak ada yang bantu handle klien yang rewel.”
Mamat: “Iya, itu dia maksudku. Dita tuh kayak lem tak terlihat. Gak menonjol, tapi bikin semua tetap nempel dan jalan.”
Myra: “Lucu ya… Dita nggak pernah banyak bicara, gak pernah cari perhatian. Tapi begitu dia gak ada, semua terasa berat.”
Bujang: “Nah… itu baru namanya karyawan yang bisa dipercaya.”
Mamat: "Pertanyaannya: kita ini termasuk yang bikin tim ringan… atau justru yang bikin orang lega waktu kita nggak masuk?"

Dalam setiap perusahaan, selalu ada satu-dua orang yang menjadi tumpuan, yang dipercaya. Mereka bukan yang paling ramai atau paling vokal, tapi mereka adalah penjaga ritme, pemikul tanggung jawab, dan penyeimbang dalam diam. 
Merekalah yang disebut sebagai karyawan yang bisa dipercaya — dan dalam Islam, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang menjaga amanah, bekerja dengan kesungguhan, dan tetap jujur dalam sepi. Beberapa hal ini mesti kita bangun dengan sikap yang benar.

Bekerja adalah Amanah
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan merasa khawatir mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia..."QS. Al-Ahzab: 72)
Setiap pekerjaan yang diberikankan kepada kita — entah itu mengetik laporan, melayani pelanggan, atau memimpin tim — adalah bagian dari amanah. Dan amanah adalah ujian. Seorang karyawan yang tidak menepati tugasnya, menyia-nyiakan waktu kerja, atau menyembunyikan kesalahan, berarti telah mengkhianati amanah yang diberikan padanya. Suatu saat nanti bisa saja amanah menjadi kepercayaan karena kita benar-benar membuktikan kerja dengan benar, dan bisa juga amanah itu dicabut  karena kita tidak mampu mempertanggungjawabkan nya

Tanda Orang Beriman
Bisa Dipercaya, seperti dikisahkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam ketika menawarkan diri sebagai bendahara negeri berkata:
"Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (ḥafīẓ) dan berpengetahuan (ʿalīm)."(QS. Yusuf: 55)
Dalam ayat ini, kita belajar dua kualitas utama orang yang bisa dipercaya adalah memiliki sikap dan tindakan :
a. Terpercaya (ḥafīẓ) – yang membutktikan dalam bekerja dengan jujur, amanah, tidak mencurangi tanggung jawabnya.
b. Kompeten (ʿalīm) – tidak sekedar tahu, tapi  memahami dan menguasai pekerjaan dan terus belajar.

Bekerja dengan Itqan (Kesungguhan dan Kualitas)
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah mencintai jika salah satu di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, ia menyempurnakannya (itqan)."(HR. Thabrani – Hasan)
Karyawan yang dipercaya bukan hanya menyelesaikan tugas, tapi menyempurnakannya. Penyempurna itu adalah memberi yang lebih dari hanya sekedar tugas, berusaha menampilkan yang terbaik — dari kehadiran, etika kerja, hingga laporan yang ditulisnya. Itqan adalah profesionalisme dalam pandangan Islam.

Tidak Menunda, Tidak Menunggu Disuruh
Allah berfirman:
"Maka apabila engkau telah selesai dari suatu urusan, tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)."(QS. Al-Insyirah: 7)
Orang yang bisa dipercaya tidak menunggu disuruh, dan tidak bersembunyi di balik alasan. Ia selalu memahami apa yang seharusnya dikerjakan dan  mengambil inisiatif terlebih dahulu. Ia selalu siap menghadapi tanggung jawab berikutnya — karena ia bekerja bukan hanya untuk manusia, tapi karena tahu Allah melihat usahanya:
"Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu..."(QS. At-Taubah: 105)

Refleksi: Ciri Orang Munafik dalam Dunia Kerja
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
"Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat."(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seorang karyawan terbiasa hal berikut ini, maka semakin banyak lagi yang tidak positif dilakukannya :
Berbohong soal alasan keterlambatan, Menunda pekerjaan tapi pura-pura sibuk, Tidak jujur soal capaian kerjanya, Maka ia sedang membawa dirinya ke jurang kemunafikan, na’udzubillah. Ini bukan perkara ringan. Maka mereka yang bertanggung jawab pekerjaannya kepada Allah, yang berinisiatif, yang bersungguh-sungguh dan bersegera dalam kerja menjadi orang yang dicintai Allah dan membuat dirinya dipercaya.

Karyawan yang bisa dipercaya bukan saja dipercaya oleh atasan atau perusahaan, tapi menjadi bertambah amanahnya dari Allah karena mempertanggungjawabkan dengan benar. Ada kenikmatan dari pekerjaannya, yang mengantarkan ia kepada karir yang semakin tinggi. Dipercaya bukan hanya memberi manfaat kepada perusahaan — tapi juga kepada dirinya sendiri. :
Ia dihormati oleh tim dan menjadi andalan untuk menyelesaikan pekerjaan. Didoakan oleh banyak orang karena meringankan beban kerja mereka, Dan dicintai oleh Allah karena menunaikan amanah dengan itqan (kesungguhan) dan berintegritas.

Mari kita koreksi diri. Apakah kita sudah menjadi pribadi yang membawa ketenangan di tempat kerja? Atau justru menjadi beban bagi tim?
“Jadilah karyawan yang saat kamu absen, orang merasa kehilangan — bukan merasa lega.”

Masak sih kita tidak ingin menjadi karyawan dipercaya yang juga memberi keberkahan bagi diri sendiri. Mengantarkan kita kepada karir (amanah yang lebih tinggi) dari Allah dan yang pasti semakin beriman dengan membuktikannya denagn amalan-amalan yang nyata dalam kerja. Inilah motivasi Islam dengan iman kepada Allah. Semua itu tidak terjadi jika kita tidak memberdayakan diri dengan apa yang Allah telah berikan, bersyukur. Insya Allah tulisan ini menjadi inspirator dan memotivasi diri menjadi semakin baik.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri 

Kamis, Juli 17, 2025

Bukan sekedar kejar deadline, memaknainya lebih baik

Salam bahagia selalu dan Insya Allah hari ini menjadi kerja yang paling menyenangkan. 


Berikut gambaran dari kerja bukan sekedar deadline saja, tapi bener-bener memahami pekerjaan dengan baik. Ada sebuah Divisi Proyek Digital – sebuah kantor startup yang sedang kejar target rilis aplikasi baru. Ada beberapa tokohnya :

Myra: Project officer yang rapi, terorganisir, dan bekerja dengan niat lillah.
Mamat: Senior programmer, teliti, namun kadang kelelahan karena banyak tanggung jawab.
Bujang: Desainer UI/UX, kreatif tapi masih suka tunda kerja.
Situasi Kasus: Deadline Rilis Aplikasi Besar Besok Pagi
H-2 Hari (Malam)
Mamat: (lelah di meja kerja)
"Aku udah selesaikan modul backend-nya. Tapi kalau design Bujang belum masuk, front-end nggak bisa nyatu."
Myra: (lihat progress board)
"Bujang baru kirim setengah desain. Padahal kita udah sepakat hari ini final semua elemen."
Bujang: (masuk, bawa kopi)
"Maaf ya, aku stuck. Tadi pagi baru mulai. Tadi mikir-mikir layout… eh malah buka YouTube."

Myra: (menahan diri)
"Bujang, kita semua kerja bareng. Satu telat, yang lain ikut tersendat. Kamu masih bisa kejar malam ini?"
Bujang:
"Ya… bisa sih. Tapi jujur, aku nunda-nunda dari kemarin. Rasa malas, lalu panik sendiri."

Mamat:
"Gua ngerti, Bro. Tapi kita kerja bareng, bukan buat nyenengin bos, tapi karena ini amanah."

Myra:
"Ayo niat ulang yuk. Kita bantu kamu kejar. Tapi habis ini, coba bangun ritme kerja yang lebih stabil."
H-1 Hari (Siang)
Bujang:
"Aku begadang. Tapi kali ini sambil mikir: 'Aku kerja karena Allah lihat aku'. Rasanya beda."

Myra:
"MasyaAllah… itu namanya kesadaran. Bukan sekadar menyelesaikan, tapi menghidupkan hati."
Mamat:
"Next time, jangan tunggu panik baru sadar ya. Hehe. Tapi bagus, kamu belajar dari ini."

Hari H (Pagi)
Semua desain dan sistem selesai tepat waktu. Tim berhasil presentasi tanpa hambatan.Manager memuji ketepatan dan kekompakan tim. Tapi di balik itu, ada pelajaran yang lebih besar:
Myra (dalam hati): "Yang terpenting bukan hasilnya… tapi bagaimana kami menumbuhkan tanggung jawab, saling menguatkan, dan bekerja dengan kesadaran bahwa Allah melihat setiap usaha kecil kami."

Hikmahnya  ...

Myra menunjukkan bahwa produktif bukan hanya soal tugas selesai, tapi soal komunikasi, empati, dan mengingatkan tim dengan niat lillah.
Mamat menggambarkan sosok profesional yang teliti dan sadar bahwa kerja adalah amanah — bukan hanya beban.
Bujang adalah potret umum banyak karyawan muda: suka menunda, tapi masih bisa berubah saat tersentuh kesadaran dan dibimbing dengan baik.

Karyawan yang Produktif Bukan Sekadar Kejar Deadline — Tapi Bisa Diandalkan, Yang memahami apa yang dikerjakan dan mengambil maknanya. Buat apa ? Agar karyawan dapat mengerjakan lagi bukan otomatis bisa aja, tapi mampu memahami beberapa faktor dan mampu menganalisa dan memperbaikinya menjadi semakin baik.

Mereka yang sekedar bisa saja, biasanya bisa mengerjakan lagi dengan cara yang sama dan monoton. Ini sesuai tugas dan tanggung jawab, tapi belum sesuai harapan yang diinginkan. Orang yang mengerjakan bisa diandalkan, pasti memahami dengan baik dan tidak merasa beban untuk menjalani proses yang semakin baik.

Di banyak tempat kerja, produktivitas sering dipersempit maknanya: siapa yang cepat kirim laporan, siapa yang tepat waktu submit tugas, siapa yang kelihatan sibuk. Akhirnya, bekerja menjadi perlombaan mengejar deadline — bukan karena cinta pada proses, tapi karena takut pada konsekuensi.

Namun, karyawan yang benar-benar produktif bukan hanya yang cepat, tapi yang bisa diandalkan.

Bukan Hanya Cepat, Tapi Paham Arah
Karyawan yang produktif tahu kenapa ia mengerjakan sesuatu, bukan sekadar apa yang harus dikerjakan. Ia mengerti arah kerja tim, nilai yang ingin dibangun, dan dampak dari pekerjaannya. Maka, ia tidak asal kejar target — tapi memastikan bahwa langkahnya menguatkan misi bersama. 
“Saya bisa cepat, tapi lebih dari itu saya ingin tepat.”

Bisa Diandalkan, Bukan Sekadar Ada
Banyak orang hadir di kantor, tapi tidak betul-betul hadir dalam tugasnya. Sebaliknya, karyawan yang bisa diandalkan adalah mereka yang: 
Menyelesaikan tugas sebelum diminta ulang
Konsisten menjaga kualitas tanpa harus diawasi
Memberi solusi, bukan alasan
Siap membantu tim, bukan hanya ‘saya selesai, saya bebas’
Produktivitas sejati adalah saat kehadiran kita meringankan tim, bukan menambah beban.

Tidak Panik di Ujung, Tapi Punya Irama Kerja yang Stabil
Kebiasaan menunda membuat kita bekerja dalam mode darurat. Segalanya jadi serba buru-buru. Akhirnya bukan hanya hasil yang tidak maksimal, tapi juga kesehatan mental yang tergerus.
Karyawan produktif membangun ritme kerja yang teratur, bukan sprint mendekati deadline. Ia tahu kapan harus fokus, kapan rehat, dan bagaimana menjaga energi agar tetap optimal.
“Kerja bagus itu bukan yang dikerjakan cepat-cepat, tapi yang tidak perlu diulang karena rapi sejak awal.”

Bekerja dengan Hati dan Kesadaran kepada Allah
Inilah pondasi terdalam. Seorang Muslim menyadari bahwa produktivitas sejati bukan untuk menyenangkan atasan, tapi untuk memenuhi amanah dari Allah.
“Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, ia menyempurnakannya.”
(HR. Al-Baihaqi)

Maka, ia hadir dengan niat yang bersih, bekerja dengan ihsan, dan merasa diawasi bukan oleh kamera kantor — tapi oleh Allah yang Maha Melihat.


Dia Tidak Hebat Sendiri — Tapi Bisa Menguatkan Orang Lain

Karyawan yang produktif tahu bahwa kesuksesan itu kolektif. Maka ia: 

Berbagi ilmu dan info

Menyemangati rekan saat down
Tidak pelit pujian, tapi juga tidak segan memberi masukan
Ia sadar, yang kuat bukan hanya dia, tapi tim yang tumbuh bersamanya.

Apa yang kita pelajarannya :

Produktif bukan berarti selalu terlihat sibuk, tapi selalu tahu apa yang penting dan menyelesaikannya dengan penuh tanggung jawab. Ia tidak mengejar sekadar angka atau deadline, tapi mengejar makna dan amanah.

"Jadilah karyawan yang bisa dipercaya meski tidak diawasi. Karena sesungguhnya, Allah-lah yang selalu mengawasi."

"Karyawan yang produktif bukan hanya cepat menyelesaikan, tapi paham arah kenapa ia menyelesaikan."

"Produktivitas sejati bukan tentang terlihat sibuk, tapi tentang menjadi bisa diandalkan."

"Bekerja bukan sekadar menyenangkan atasan, tapi menyempurnakan amanah dari Allah."

"Allah mencintai hamba yang menyempurnakan pekerjaan, meski tak ada yang melihatnya."

"Karyawan yang hebat bukan yang menonjol sendirian, tapi yang menguatkan tim disekitarnya."


Insya Allah kita terus memberdayakan diri dengan banyak belajar agar menjadi semakin baik, karyawan yang produktif dan dapat dipercaya dan diandalkan. Temukan motivasi diri untuk terus dinamis menuju yang terbaik. Inilah motivasi islam yang dapat diandalkan untuk menjadi karyawan yang diandalkan

Sahabatmu
Munir Hasan Basri


Selasa, Juli 15, 2025

Mensucikan hati menjadi beruntung

 Semangat pagi, salam sejahtera dan bahagia. Insya Allah hari ini menjadi hari yang membanggakan hati untuk terus berubah menjadi semakin baik. 

Hari ini mengungkapkan bahwa Allah selalu ada dan menantikan kita untuk hadir bersamaNya. Kehadiran ini berbuah kepada semua hal yang baik, karena hati telah terbuka dan mengarahkan diri kepada Allah. Koneksi dengan Allah lewat hati menandakan hati ini masih membuka diri karena masih ada sedikit cahaya. Bisa jadi perbuatan baik yang kita lakukan selama ini.

Salah satu upaya membuka diri untuk menerima kehadiran Allah adalah berzikir yang tak pernah habisnya. Yang kita lakukan adalah keinginan besar untuk mengingat dan memanggil Allah karena hati ini sudah kangen yang disebabkan hati yang mulai tertutupi oleh kehidupan dunia. Sibuk kerja, sibuk mengejar impian, sibuk menghadapi masalah, dan bahkan kita sibuk merespon dan membalas apa yang kita alami, dan kita mulai tak sibuk dengan Allah. Hanya ada sedikit kesibukan itu pada doa memohon pertolongan Allah, tapi kesibukan kepada Allah ini sebagai kesibukan sesaat aja. Bisa dibayangkan hati ini sudah mulai tertutupi dengan kebenaran. Ada kekurangan uang ... yang ada hanya uang dan uang, berpikir solusi singkat dan cara-cara bagaimana mendapatkan uang. Kita mengesampingkan Allah untuk menyelesaikan masalah keuangan. Karena masih berpikir Allah itu hanya untuk ibadah dan berbuat baik saja. Renungkan ... uang yang kurang itu memang lebih dekat dengan urusan kerja yang sedikit dan kurang berilmu. Tentu kerja yang sedikit itu adalah kerja sedikit benernya atau sedikit ilmunya sehingga hasilnya memang sedikit. Atau kekurangan. Sedikit kerja bener itu tertuju kepada kerja yang kurang baik, bukankah kalau kita kerja yang baiknya banyak (amal saleh), kita sebut kerja keras, Insya Allah rezeki itu cukup. nah disini kita dapat menganalisa bahwa kurangnya amal itu karena kurang keyakinan kepada Allah. Pada saat kurang yakin itu membuka peluang kita ditemani oleh setan, yang memang mengajari kita untuk tidak berbuat baik yang banyak. Disinilah kita di"butakan" oleh setan kelihatan kerja yang kurang banyak itu seperti sudah bekerja luar biasa atau sudah banyak baiknya. Akhirnya hati pun tidak mampu melihat pendapatan (uang) itu sebagai rezeki Allah. Dengan kata lain kita merasa kurang.  Bayangkan kembali ... kita lupa dengan pikiran akal sehat hanya sekedar lewat saja dan tertuju kembali kepada "setan". Pengen cepet-cepet dapet uang banyak. Pasti semua itu menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengejarnya, sedangkan waktu dan fokus kepada Allahnya rendah.

Merenungkan sebaliknya, saat ingat Allah itu kuat dan bertahan dengan amal yang dilakukan. Kita merasakan kebaikan yang banyak, dan menerima dengan baik apa yang kita dapatkan. Tidak merasa kekurangan, tapi sebaiknya bersyukur dan bersabar. Inilah yang kita sebut mengingat Allah yang telah membersihkan hati dari kegelapan bahaya Allah. Yang buta itu hati bukan indera kita. Indera bisa melihat atau mendengar, tapi hati bisa memahaminya. 

Dalam beberapa ayat Al Qur'an dapat kita jadikan peringatan bagi kita untuk kembali kepadaNya dan mendorong kita untuk terus mendekat dengan Allah lewat zikir (salah satunya dan utama adalah salat) dan mengamalkan (kerja) sebagai bukti iman.

Dan barangsiapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijak-sana. (QS. [4] An-Nisa' : 111)

Perhatikan ayat di atas, berbuat dosa itu ya melakukan kesalahan. Kesalahan dalam mengambil tindakan yang bener. Tindakan yang bener itu adalah mengikuti jalannya setan. Dan Allah berfirman bahwa sesungguhnya ... menyakinkan kita bahwa apa yang kita lakukan adalah salah dan membuat diri kita menjadi kesulitan dalam hidupnya. karena Allah itu Maha tahu, maka bersegeralah kita untuk mengambil jalan Allah.

Mengapa kita salah atau berdosa :

Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. (QS. [76] Al-Insan : 3)

Dalam ayat di atas, Allah telah menunjuki jalan yang lurus, jalan kebenaran, jalannya Allah, tapi manusia diberi pillihan untuk bersyukur mengikutiNya atau kufur (mengingakari kebenaranNya). Pilihan ini Allah firmankan juga di ayat berikut ini. Kita memiliki potensi untuk menjadi jalan kejahatan (kufur)dan jalan ketaqwaan (bersyukur)

demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams, 91 :  7 - 10)

Tapi Allah berjanji  bahwa siapa saja yang mensucikan jiwanya dengan jalan ketaqwaan pasti beruntung (Aflaha), yang berarti kita memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan (bukan kesulitan). Dan sebaliknya mereka yang memilih kufur pasti rugi di dunia dan di akhirat. Di ayat lain Allah mempertegas apa yang dilakukan mereka yang bersyukur :

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (Al-A’la, 87 : 14-15) 

yang bersyukur itu adalah membersihkan diri dengan menyempurnakan imannya, ingat nama Tuhannya dan salat. Sudahkah kita cek diri kita ? Masihkah kita mengotori hati dengan perbuatan yang salah atau yang jahat. 

mengapa kita tidak belajar dengan ilmu yang bener ? Sudahkah memahami Al Qur'an sebagai petunjuk Allah yang bener tanpa ada keraguan di dalamnya. 

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. [17] Al-Isra' : 36)

sebenarnya kita sudah mengikuti jalan yang salah, apa itu ? Tidak berpegang kepada pengajaran Allah. Maknanya kita mengikuti jalannya setan

Siapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya). Maka, ia (setan) selalu menemaninya. (QS Az Zukhruf, 43 : 36)

Begitulah yang terjadi saat kita tidak membersihkan diri menuju jalan Allah, jiwa atau hati ini segera terbimbing oleh setan dan setan itu mengajak kepada keburukan ;

Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Yusuf, 12 : 53)

lalu Allah menjelaskan mereka yang memilih kafir ... memasuki neraka 

Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (QS. [87] Al-A'la : 16 -17)

ternyata pilihan untuk dunia dan mengingkari Allah itu telah menutup hati, karena kita sendiri yang tidak mau memahami jalan kebenarannya dan Allah melaknatnya. Allah tidak menutupi hati kita dan itu karena kita tidak berpegang kepada pengajaran yang Maha Rahman :

وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا غُلْفٌ ۗ بَلْ لَّعَنَهُمُ اللّٰهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيْلًا مَّا يُؤْمِنُوْنَ

Dan mereka berkata, “Hati kami tertutup.” Tidak! Allah telah melaknat mereka itu karena keingkaran mereka, tetapi sedikit sekali mereka yang beriman. (QS Al-Baqarah 2 : 88)

kalau sudah tidak berpegang kepada jalan Allah, maka kita larut kepada perbuatan yang mengotori hati 

كَلَّا بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka." (QS Al-Mutaffifin ayat 14)

Kemudian Allah membuat diri kita melihat dan mendengar tapi tidak mampu memahaminya ... hati yang telah buta.

وَمِنْهُم مَّن يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ ۖ وَجَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا ۚ
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu, tetapi Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (untuk memahaminya), dan telinga mereka berat (mendengarnya)." (QS Al-An'am, ayat 25 )

Akhirnya Allah memberikan azab atas apa yang dilakukan, mengingkari kebenaran dan mengikuti jalannya setan. Yang pasti apa yang kita lakukan itu berbuah kesulitan hidup di dunia dan di akhirat

 خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ"
Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka azab yang besar."(QS Al Baqarah, 2 : 7)

Inilah catatan belajar saya dari petunjuk Allah, Al Qur'an yang telah menjadi petunjuk hidup seorang muslim yang mau bertaqwa. Solusi atas persoalan hidup kita. Bisa jadi solusi saat ini yang tidak mendasarkan diri kepada Allah adalah solusi sementara tapi ternyata itu adalah solusi (impian) kosong yang diberikan oleh setan. Setan memperlihatkan baik apa yang buruk (tidak kepada pengajaran Allah) kita lakukan, karena kita sudah larut dalam masalah yang tidak ada Allah di hati.

Insya Allah semua ini menjadi pelajaran bagi mereka yang mau memahami ayat-ayat Allah. Dan menjadi tidak manfaat bagi mereka yang tidak takut kepada peringatan Allah, melalui Al Qur'an. Yang ada adalah Al Qur'an membuat mereka menjadi rugi dan menyusahkan. Mari kembali kepada kebenaran yaitu jalan Allah, jalan ketaqwaan ... kita mendapatkan aflaha, kebahagian dan kesuksesan.

Jadikan tulisan ini sebagai motivasi diri dengan motivasi islam dan membuktikannya dengan memberdayakan diri menjadi semakin baik. Belajar adalah praktek, maka ilmu yang kita peroleh mesti mudah untuk diamalkan sebagai bukti kita belajar.

Sahabatmu

Munir Hasan Basri 


Featured post

Udah bisa bangun paginya

Alhamdulillahirabbilalamin masih diberi kesempatan hari ini, dibangunkan dan diberi pikiran fresh untuk memperbaiki keadaan sendiri. Hari se...