Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Minggu, Desember 18, 2022

Sikapi dengan hati, yang besar menjadi kecil

 Ada hal kecil menjadi besar, dan hal besar menjadi kecil. Apa ya ? Dalam berita TV, ada yang membunuh gara-gara ditegur atau memperebutkan uang Rp 10.000 saling berkelahi. Ada banyak lagi kisah hal kecil menjadi hal besar. Anda pernah mengalaminya ?


Misalkan ditegur oleh orang, padahal tegurannya biasa saja,"Mas jangan minta uang saya dikembalikan". Yang ditegur menanggapi dengan responsif yang emosional, dan dilanjutkan,"mentang-mentang banyak uang, kok nggak pengertian". lanjutannya,"Saya ngingetin uang saya mas, hutang ya dibayar". Situasi ini jadi panas dan saling emosi. Begitulah jika kita merespon dengan sikap emosional. Apa yang terjadi jika mereka merespon dengan hati. Kata maaf dan merendah menjadi sikap dan perilaku yang bisa diterima,"terima kasih mas sudah diingetin, dan mohon maaf 2 hari lagi saya bayar". 

Sebaliknya jika suatu perkara ditangani dengan hati bisa menjadi semakin baik (hal besar menjadi kecil). Seseorang difitnah karena tidak hadir dalam pertemuan. Bagi seseorang yang menyikapi dengan hati mestinya tidak membalas dengan yang buruk. Orang tersebut tidak merespon, tapi menunjukkan hal positif sehingga persoalan itu menjadi tidak diperhatikan lagi dan hilang seiring waktu. Atau kita dapat menyelesaikan masalah dengan tindakan yang baik.

Setiap hari, kita dihadapkan berbagai masalah. Dan masalah itu pasti ada terus. Bayangkan jika kita menanggapi masalah dengan emosi ... bukan masalahnya selesai tapi malah membesar. Perasaan tidak nyaman dan mudah capek. Padahal kita butuh energi yang besar untuk menjalani kehidupan ini agar bersemangat dan mudah menjalaninya.

Terkadang memang tidak mudah untuk mengaktifkan hati, karena bisa bergantung kesalahan/dosa kita. Semakin besar kesalahan/dosa kita semakin tidak mudah mengaktifkan hati, dan cenderung emosional  yang mudah hadir. Dengan demikian harus ada upaya untuk terus mengaktifkan hati. Salah satunya adalah istighfar, sebagai bentuk mengingat Allah dan juga memohon ampun (membersihkan hati) serta ibadah kepada Allah. Insya Allah kita dimampukan menerima iman dengan bener.

Sabtu, Desember 17, 2022

Berikan yang tak terduga

 Dalam aktivitas sehari-hari, saya rada malas mengerjakan apa yang diperintahkan. Keadaan ini membuat suasana tidak nyaman. Kok mau ya ? Bukankah sebaiknya saya membahagiakan diri saya sendiri dengan suasana yang nyaman, yaitu dengan memberikan apa yang tidak terduga kepada orang lain. Semua menjadi baik.

Berpikirlah yang sehat agar suasana pun jadi sehat. Tidak ada yang rugi saat saya memberikan yang tidak diduga kepada orang lain. Momen ini menjadi selalu diingat dan dinilai baik oleh orang lain.

Batu dan tetesan air

 Seperti Anda dan banyak orang sudah mendengar bahwa batu besar bisa pecah dari tetesan air yang inten dan terus-menerus. Banyak yang bisa saya ambil hikmahnya. Ada yang bilang saya bisa sukses dengan mengerjakan terus-menerus. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah saya bisa sabar dengan waktu yang panjang itu ? Yang membuat saya beralih untuk mengambil jalan lain.

Batu dan tetesan air itu sebuah kisah bagus, tapi tidak mudah menerapkannya. Dalam menaklukkan masalah sepertinya tidak tepat, karena lama. Emosional menggoda saya untuk "cepet-cepet" menyelesaikannya, sedangkan kemampuan diri juga tidak banyak berubah cepat. Jalan pintas dengan alat-alat yang besar untuk memecah masalah itu menjadi pilihan. Paling mudah adalah pergi dari masalah tersebut dan berharap selesai. Nyatanya juga di tempat lain juga ada masalah. Misalkan masalah itu bisa selesai dengan jalan pintas, tetapi menimbulkan masalah baru akibat tidak mengikuti proses yang bener.

Saya berpikir Batu dan Tetasan Air terjadi saat saya mengabaikan hal-hal kecil dan terjadi terus-menerus. Misalkan saya mengabaikan disiplin atau kesalahan kecil yang terus-menerus menyebabkan saya gagal dalam pekerjaan atau konflik hubungan. Bayangkan saat saya suka telat dan menganggap hal itu biasa saat rapat, maka beberapa lama orang menganggap saya orang yang tidak profesional dan tidak dipercaya untuk diberi amanah. Banyak pekerjaan kecil yang tidak diperhatikan yang menyebabkan saya bisa gagal dalam meraih apa yang saya inginkan. 

Orang yang hari ini tidak sedekah karena tidak ada uangnya, lalu hari berikutnya tidak bersedekah juga karena lupa bawa uang, tidak bersedekah lagi karena tidak ada orang yang untuk diberikan, dan seterusnya. Keadaannya membuat hati saya menjadi tidak mau bersedekah dan ditambah lagi mempunyai banyak kebutuhan, maka kegagalan yang terjadi adalah saya bisa menjadi pelit. Perhatikan waktu saya mengerjakan shalat, ada syarat wudhu. Dulu saya asal saja untuk wudhu, yang dianggap sepele dan yang penting itu shalatnya. Untuk shalat berkualitas tidak bisa tanpa wudhu yang bener. Saya mesti memperhatikan hal kecil dari awal sampai akhir dari sebuah pekerjaan agar pekerjaan itu sempurna.

Mulailah dengan hal kecil untuk dikerjakan, yang bisa jadi tidak menunjukkan hasilnya. Tapi yakinlah hal kecil adalah bagian dari proses (step by step yang mesti dilalui) yang memberi kontribusi kepada keberhasilan. 

Bersyukur atau keinginan edisi 2

 Melanjutkan artikel motivasi sebelumnya "bersyukur atau keinginan edisi 1" yang telah membahas tentang keinginan atau target bagi seorang karyawan. Kali ini saya membahas tentang manajemen bersyukur untuk meningkatkan produktivitas kerja. Apakah lebih baik ? Tergantung pilihan orangnya, tapi manajemen bersyukur jauh lebih baik karena melibatkan peran hati (Allah).

Manajemen bersyukur yaitu mengoptimalkan yang ada (melihat potensi) untuk ditingkatkan menjadi lebih banyak (kuantitas) dan lebih berkualitas. Manajemen ini didasarkan iman kepada Allah dan berubah sesuai kemampuan (mampu dikerjakan) dari waktu ke waktu. Mirip dengan Kaizen, perubahan yang berkesinambungan didasarkan kinerja dan ilmu efisiensi. Hanya kaizen tidak didasarkan dengan iman. Iman menjadi penting karena apa yang dikerjakan itu bener-bener dikerjakan dengan sebuah keyakinan bahwa Allah telah memberinya. Maka dari itu manajemen bersyukur ini berdasarkan petunjuk Allah.

Untuk mudahnya saya contohkan dengan kerja seorang salesmen. Untuk bisa bersyukur, seorang salesmen mesti 

1. Tahu dan paham apa yang dikerjakannya sampai sekarang dan hasilnya.

2. Tahu dan paham juga apa yang Allah telah berikan kepadanya berupa ilmu, indera (termasuk akal sehat dan hati), keluarga dan orang disekitarnya. 

3. Bener-bener YAKIN bahwa Allah memberi tambahan nikmat (hasil) dengan kerja ikhlas (bersyukur). Dan sebaliknya jika salah dalam bersyukur terutama kurang ikhlas, maka bukan tambahan nikmat yang diperoleh tapi malah azab (kesulitan dan penderitaan).

4. Upaya syukur dapat dengan mengoptimalkan/meningkatkan apa yang sudah dimiliki

5. Jika sebelumnya sudah melakukan kunjungan 10, maka berniat kerja untuk Allah yaitu

a. bersyukur dengan cara menambah kunjungan menjadi 15. 

b. Langkah ini mesti diyakini dan dilakukan dengan cara yang Allah rahmati. Selama bersyukur menjadikan hati sebagai pusat berpikir. Insya Allah kita didampingi Allah. Bisa diberikan petunjuk, diberi izin, dibantu saat ada masalah, dilindungi dari setan dan sebagainya

c. Lengkapi langkah ini dengan dasar ilmu komunikasi dan cara menjual yang efektif. Langkah ilmu ini mesti terus ditingkatkan setiap saat.

d. Mengukur dan mengevaluasi hasilnya untuk memperbaiki langkah bersyukur yang lebih tepat.

e. Barengi bersyukur dengan terus beribadah (shalat, sedekah dan lainnya) agar Allah merahmati. Dan berdoa mohon apa yang dikerjakan dijadikan amal saleh dan dibalas kebaikan di dunia.

Dengan langkah bersyukur ini, seorang karyawan tidak mengalami stress. Karyawan memiliki suasana hati yang tenang dan memiliki kesadaran kepada Allah. Dengan demikian membuat kita semakin yakin bahwa Allah menepati janji dengan kita bersyukur.

Dari penjelasan tentang manajemen bersyukur ini dapat membuka pikiran sehat kita untuk memahami lebih dalam dalam  kerja. Bukan sekedar uang yang dicari dengan cara yang tidak berdasarkan iman, tapi bagaimana menyelaraskan iman dan kerja sejalan. Dampaknya baik bagi kita dan hasilnya nyata. 


Pilihan ada di tangan Anda, Target tidak ada yang menjamin dan bersyukur dijamin Allah. Akal sehat dan hati, Insya Allah memilih bersyukur.



Bersyukur atau keinginan edisi 1

 Dalam dunia kerja yang ada adalah membuat keinginan (target), apalagi salesmen. Setiap bulan pencapaian di monitor dengan ketat dan naik terus targetnya. Ada tekanan pada diri seorang salesmen berupa target dan monitoringnya. Dan orang yang seperti bilang,"stress itu baik". Apa iya ? Bukankah kalau sudah stress berdampak buruk bagi tubuh dan meningkat terus seiring waktu. Dampak psikologis dan fisik yang buruk masih bisa ditangani dengan fisik yang kuat (masih muda). Bisa jadi seorang sudah membiasakan dengan situasi ini, maka mereka tidak merasakan "sakit", kecuali tubuh mereka sedang turun. Biasanya mereka baru merasakan kesakitan saat mereka mulai berusia. Atau mereka tetap sehat selama kerja, tapi dalam usia tua (pensiun) mereka merasakannya dan banyak mengeluarkan uang yang mereka kumpulkan dulunya untuk berobat di usia tuanya.

 Begitulah kemampuan bisa ditingkatkan dengan "paksaan" yaitu keinginan (target). Sama halnya pola yang terjadi di setiap bisnis dan hampir semua karyawan. Karyawan stress dan atasannya pun stress. Memang ada kepuasaan batin yang luar biasa jika mampu meraih target. Mereka ini yang senang pola kerja seperti ini adalah mereka yang "memerlukan uang" atau "haus jabatan". Demi uang dan jabatan yang mereka inginkan, mereka siap menerima resiko dari apa yang terjadi. Apa saja yang dilakukannya :

1. Mencari hal yang belum dimiliki, baik ilmu dan caranya agar kerja bertambah lebih baik. Tetapi sebagian orang hanya fokus dengan kerja keras BUKAN kerja cerdas. Ilmu dan caranya diserahkan kepada atasannya (ikut perintah saja)

2. Menyisihkan waktu, bisa lembur dan menggantikan waktu yang sudah ada untuk mengerjakan point 1 demi tercapainya target. Beberapa orang mengambil waktu keluarganya untuk terus kerja.

3. Bahkan jika belum tercapai beberapa orang mengakali cara agar target tercapai dengan berbagai alasan. Ada program sales dan push untuk memenuhi target bulan ini tanpa memikirkan bulan berikutnya.

4. Tapi ada yang sebaliknya, beberapa orang tidak melakukan yang berlebih dan mereka bekerja seperti biasa saja. Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan atasan, dan kalau tidak tercapai target mereka memberikan alasannya (kondisi ini pun mereka stress).

5. Mereka mesti berkompetisi dengan pesaing. Saling mengalahkan dengan saling menjelekkan, yang penting mereka yang menang dan capai target. Sering mengungkapkan kelemahan pesaing atau orang lain untuk keuntungan sendiri, bahkan ada sedikit "ketidaksukaan".

5. Bagi karyawan yang memiliki sedikit uang, mereka mensupport dirinya dengan berbagai vitamin dan makan yang enak untuk menjaga kesehatannya.

6. Mereka ini mudah tersinggung dan sangat responsif, cenderung keputusannya tidak untuk jangka panjang. "Yang penting tercapai".

Karyawan ini mudah dipuji oleh perusahaan dan sering diapresiasi dengan baik sehingga membuat mereka tersanjung. Menjadi orang penting. 

Dari penjelasan di atas, saya merasa ada upaya untuk meningkatkan dengan cara memaksakan kemampuan diri saat ini menjadi sesuai target. Sisi baiknya, banyak orang berubah menjadi lebih baik dari sisi kinerja dan menjadi pekerja keras. Mereka ini digaji tinggi. 

Selanjutnya saya ingin berbagi bagaimana cara untuk menjadi lebih baik dengan manajemen bersyukur. Dalam manajemen Jepang dikenal dengan Kaizen, yaitu mengerjakan dari apa yang dimiliki dengan meningkatkan produktivitasnya (optimalisasi) agar mendapatkan hasil, yang bisa berupa penghematan atau peningkatan ... bersyukur atau keinginan edisi 2.




Jumat, Desember 16, 2022

Hanya bersyukur

 Kata bersyukur sudah dipahami banyak orang, tapi mungkin sebatas berterima kasih. Beberapa petunjuk menunjukkan Allah telah memberi pendengaran, penglihatan dan hati, tidak banyak orang bersyukur. Ada petunjuk Allah memberi ujian pun untuk menguji apakah saya bersyukur atau tidak ? Bahkan Allah telah menangguhkan azabnya dan mendahulukan rahamtNya, untuk memberi saya mensyukurinya. 

Berucap yang baik adalah rasa syukur sudah diberikan mulut yang bisa bicara, Membantu orang lain adalah rasa syukur sudah diberikan tangan dan kekuatan, sedekah pun merupakan rasa syukur karena Allah sudah memberi rezeki kepada saya, saya shalat untuk menyatakan rasa syukur dengan menghambakan diri, saya kerja mencari "uang" untuk bersyukur karena Allah telah taklukan alam ini untuk manusia, apapun yang saya kerjakan mestinya sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Sudahkah rasa syukur itu dilakukan dengan ikhlas ? Insya Allah saya diberi petunjuk di hati untuk mampu bersyukur dalam keadaan lapang maupun sempit.


Masalah dan emosional

 Masalah sering dipersepsikan tidak baik bagi sebagian orang. Dengan persepsi ini mereka begitu berat menghadapinya. Perasaan tidak nyaman dan persepsi tidak baik tersebut membuat tidak mudah menemukan solusinya. Emosi yang berperan besar karena persepsi yang tidak baik itu tidak membuka pikiran untuk menemukan logika sehat sebagai solusi, yang muncul adalah solusi berdasarkan emosi. Contoh masalah yang biasa adalah karyawan yang jauh dari lokasi kerja sering terlambat, dan diperingatkan oleh atasannya. karyawan menjawab dengan anggukan dan besoknya pun masih terlambat.

Karyawan itu menganggap bahwa masalah itu sebagai hal biasa dan meminta memaklumkan keterlambatannya. Bahkan dalam hatinya,"atasan saya nggak mau tahu alasan saya terlambat". Jawaban ini merupakan tingkat kesulitan karyawan untuk menyelesaikan masalah, yang jika ditelusuri keterlambatannya adalah karena merasa tidak termotivasi lagi. Ujung-ujungnya karyawan menganggap  gaji saya udah nggak cukup. Mestinya keterlamatan dihukum, maka harapannya kalau datang lebih awal dapat tambahan dong. Masalah yang tadi sederhana soal keterlambataan merambat menjadi besar karena berpikir secara emosional.

Bagaimana dengan atasannya ? Kalau bisa tidak mau pusing, bisa aja memberi surat peringatan dan dilanjutkan dengan ceramah yang tak didengar oleh karyawan. Atau bisa jadi terus mengingatkan dan agar memberi efek jera, maka seringkali memotong insentif. Solusi yang tidak memberi solusi terbaik, bahkan solusi ini dan respon karyawan seperti lingkaran setan yang tidak pernah berujung. Solusi ini pun berindikasi dominannya emosional dalam mengambil keputusan.

Tetapi apakah semua solusi yang didominasi oleh emosional ini tidak berdampak positif ? Bisa juga solusi itu menyelesaikan masalah. Ada karyawan yang takut karena atasannya jadi tidak terlambat lagi. Karyawan sih masuk lebih awal, tapi itu semua dilakukan dengan terpaksa. Perasaan takut dipecat, takut dikurangi pendapatannya, dan tidak dipercaya mendasari keterlambatannya. Bagus nggak ? Bisa bagus saat karyawan menyadari semua itu menjadi awal untuk berubah dan semakin hari menjadi tidak terlambat dengan merasakan manfaatnya. Kalau tidak merasakan manfaatnya, maka menjadi berdampak kepada kerja yang tidak optimal. Kerja dengan perasaan takut dan sebagainya dan jarang ada produktivitas. Padahal perusahaan membutuhkan produktivitas. 

Masalah ini mesti didudukkan dengan mencari akar masalahnya. BUKAN mencari solusi berdasarkan keterlambatan saja. Ada penyebab dari keterlambatan tersebut ? Disini perlu ada komunikasi karyawan dan atasan. Misalkan saja atasan memberi kepercayaan kepada karyawan untuk memberikan pekerjaan yang besar, dimana datang lebih awal itu menjadi bagian dari kepercayaan yang diberikan. Karyawan yang terlambat diberi tugas pengawasan untuk memonitor karyawan yang produktif di awal kerja. Atasan meminta karyawan yang telambat untuk mempelajari mungkinkah karyawan produktif di awal kerja ? Dan bisa saja dengan langkah solusi yang mengajak karyawan untuk dipercaya dalam hal lain.





 







Featured post

Udah bisa bangun paginya

Alhamdulillahirabbilalamin masih diberi kesempatan hari ini, dibangunkan dan diberi pikiran fresh untuk memperbaiki keadaan sendiri. Hari se...