Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Selasa, Juli 29, 2025

Sadar ngga sih, orang sukses itu sedikit

 Salam sejahtera dan bahagia selalu, dan Insya Allah saya dan pembaca selalu diberikan hati yang tenang dan tidak gelisah hari ini.

Hari ini saya ingin mengulas tentang kerja, yang bagi sebagian orang kerja adalah segalanya. Dicari dan disyukuri saat dapat kerja. Kerja adalah tujuan untuk meraih sukses. Ada benernya sih ? Tapi fakta menunjukkan bahwa hanya beberapa orang saja yang sukses dalam kerja, diantaranya pemilik perusahaan dan beberapa dari manager saja. Kalau dihitung perusahaan yang karyawan 100 orang, maka kesuksesan hanya sekitar 3%. Kesuksesan itu pun karena ada produk dan  jasa yang dikenal banyak orang. Produsen melihat produk atau jasa dan siapa dibalik produknya. Sedangkan mereka yang staf administrasi atau salesmen atau pelaku lain sebagai karyawan tidak dibilang sukses. Kalau ditanya, apa iya kita masih menginginkan kerja sebagai jalan kesuksesan ?



Sukses selalu identik dengan uang dan materi yang melekat orangnya. Begitu banyak orang menafsirkannya. Seperti melihat bos atau pemilik perusahaan, yang memiliki mobil mewah, rumah mewah dan penampilan yang wah, maka orang ini dibilang sukses. Padahal bisa jadi memang pemilik perusahaan itu sudah kaya dari dulunya, maka dia membuat perusahaan. Demikian juga dengan orang tertentu dari karyawan, seperti manager atau CEO yang penampilannya wah. Semua itu kita bilang sukses. Tapi apa iya begitu ? Bisa jadi semua itu bukan miliknya tapi sesuatu yang dibei dengan utang atau pinjaman, dimana pinjaman itu diambil dari keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan yang diantaranya andil setiap karyawan. karyawan yang sinis mengatakan,"karyawan bekerja keras untuk memberi keuntungan perusahaan, tapi karyawan hanya digaji dengan gaji UMR saja". Disini terlihat pemilik perusahaan dengan kepanjangan tangannya melalui manager mengajak semua karyawan bekerja untuk mereka, untuk menambah keuangan mereka. Hanya segelintir orang yang mau berbagi dengan karyawannya. Pintarnya pemilik perusahaan hanya memberi lebih uang untuk orang yang terpilih satu sampai 3 orang saja agar keinginan mereka tercapai (untung alias uang bertambah). Dengan begini, masih ingin mengidola kerja luar biasa ??? Masih lah karena ingin menjadi orang pilihan dengan gaji besar dan fasilitas mewah. Untuk itu kita mesti bersaing dan berkompetisi dan kadangkala melakukan hal yang tidak baik, seperti cari muka ke pemilik, atau mengelabui tim untuk kepentingan kita, atau pasti ada reward bagi karyawan yang berprestasi dan bisa jadi juga curang.

Bayangkan seorang karyawan dari sejak staf bisa menduduki level tertinggi di perusahaan bisa dicapai di atas 20 tahun. itupun dengan prestasi yang luar biasa. Padahal dengan 20 tahun itu dijadikan penilaian atas loyalitas kepada perusahaan sehingga bisa dipercaya tidak berpikir yang lain. kalau mau dibayangkan lagi, dengan 20 tahun lebih mestinya kita sudah bisa membangun bisnis sendiri dengan ilmu yang dimiliki. Apakah bener dengan pengorbanan waktu dan ilmu, mau kita "berkorban" atau mengabdi untuk kesuksesan pemilik perusahaan. Kalau hidup bisa diulang lagi, pasti kita ingin menjadi bos dan sekaligus karyawan sendiri untuk kesuksesan kita sendiri.

Pernahkah kita berpikir tentang berapa lama kita sukses ? Saya bisa memprediksi hanya beberapa tahun saja, tergantung :

1. Seberapa lama kita dapat menjaga hubungan dengan pemilik perusahaan. Ini soal kepercayaan, apapun yang kita kerjakan itu perlu waktu, yang mampu kita habiskan untuk perusahaan. Tapi disisi lain kita memiliki agenda sendiri (atau bersama keluarga) yang juga menyita waktu dan perhatian. Ini soal pilihan, perusahaan atau keluarga ? 
2. Kepintaran kita. Pesaing kita adalah orang yang lebih pintar dan lebih energik serta kreatif. Biasanya ada anak muda, yang usia lebih mudah dari kita. Kemampuan kita berilmu kalah cepet dari yang muda, apalagi soal kreativitas yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Dengan alasan apapun kita yang telah sukses segera berganti dengan orang yang lain. Perhatikan pemilik perusahaan tetap saja menua dan dapat terus menikmati keuntungan perusahaan (kesuksesan).
3. Pasti kita sangat bergantung usia, alamiah. Usia menurunkan nilai kerja dan energi dalam bekerja. Semua ini berdampak dengan apa yang bisa kita berikan kepada perusahaan, yang berujung menurunnya pula kepercayaan perusahaan yang selalu menginginkan kemajuan terus-menerus.
4. Hal lain soal suka dan tidak suka. Bergantung interaksi, ada yang lebih baik dan lebih menarik membuat pemimpin perusahaan memiliki rasa suka atau lebih suka.

Kadang hal diatas tidak diantisipasi mereka yang sukses. Jika terjadi  kesuksesan itu "berhenti" atau "berganti", maka sebanrnya hal ini wajar, tapi sering membuat orang sukses itu kecewa. Untuk itu renungkan dengan hati ... apa iya kita kerja mau sukses, lalu kecewa. Kekecewaan kita itu tidak sepantasnya kita perbuat karena kita sudah melakukan aktivitas positif, maka bukan sekedar suksesnya tapi mempersiapkan diri untuk selalu nyaman dalam segala situasi.

So ... masihkah menjadi karyawan dalam kerja menuju kesuksesan yang dipersepsikan dengan materi ??? Kerja, sukses, materi. Diakhir usia kita yang sudah pensiun ... apa yang bisa kita nikmati ? kebahagiaan ...? tergantung dari seberapa besar materi yang kita miliki. Tapi disisi lain, ada orang yang dapat menikmati hidupnya dengan apa yang sudah dilakukan sepanjang waktu. banyak aktivitas baik yang ditebar dan  dirasakan banyak orang dan bahkan mereka yang merasakan kebahagiaan kita itu juga telah sukses dengan bidangnya. Semua orang menikmati kebahagiaan dan juga memiliki materi yang cukup.  Lalu tidakkah kita berpikir ulang atau merenungkan lebih dalam kenapa sih kita ini ?

Kerja ya pasti kerja, karena Allah mencintai orang bekerja dengan optimis dan produktif. Pertanyaannya, kerja bukanlah sesuatu yang dipaksakan menjadi jalan menuju keinginan kita yaitu sukses. Sukses itu hanyalah bonus dari apa yang kita lakukan. Oleh sebab itu apa yang kita lakukan itu (kerja) menjadi penting, dan mesti produktif. Kata Produktif adalah apapun yang kita kerjakan menuju keinginan kita. Lalu Apa dong keinginan kita ? Sebagai muslim adalah mengabdi kepada Allah. Mengabdi itu adalah kerja khusus (ibadah) dan kerja umum (kerja sebagai pelaku bisnis) yang menuju Allah. Dimana Allah menunggu kita, siapa yang terbaik bekerjanya (ibadah dan kerja) atau dalam bahasa agama disebut beramal saleh ... itulah yang bertaqwa. Tentu Allah yang rahman dan rahim memberi kita petunjuk hidup (termasuk dalam bekerja) melalui Al Qur'an atau melalui petunjuk di hati kita. Setelah diberi petunjuk, Allah pun tidak membiarkan kita, Allah selalu mendampingi kita. Jika ada masalah ... Allah siap membantu, kalau ada kesulitan ... Allah pun pengen memberi jalan kepada solusi, bahkan kita minta pun ... Allah pasti memberi. Dalam mengabdi itu Allah menghendaki kemudahan dan Allah berikan jalanNya. Maka dari itu berimanlah dan beramallah yang saleh. Jalan Allah itu pasti semua bahagia dan semua meraih sukses. Seperti janji Allah bahwa mereka yang bertaqwa itu diberikan kebaikan di dunia dan di akhirat, dan memberi mereka kebahagiaan dan kesuksesan.

Demikian ulasan pengalaman saya yang berawal dari karyawan biasa hingga bisa mencicipi kesuksesan. Berpikirlah ulang agar tidak terlambat untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan bersama Allah. Apa yang kita kumpulkan tidak lebih baik dari kebahagiaan (rahmat) yang Allah berikan. Pengalaman adalah ilmu yang baik untuk kita menjadi semakin baik. Begitulah semestinya kita memberdayakan diri untuk menjadi semakin baik. Ada ilmu dan referensi yang bener sebagai motivasi diri, itulah motivasi Islam.

Insya Allah ... semua orang, siapapun untuk mempelajari agama dengan bener. Kata Hijrah adalah kata yang pas untuk menunjukkan kita menjadi semakin baik dengan tuntunan yang terbaik. Selalu ada kejadian atau momen untuk memulai, asal kita gunakan hati.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri



Senin, Juli 28, 2025

Berlatih sadar dalam kebiasaan

 Salam bahagia selalu, dan Insya Allah kita terus menjadi orang yang dinamis untuk menjadi orang yang semakin baik.





Hari ini saya ingin membahas kebiasaan yang lain. Apa iya ? Bayangkan sebagai muslim saat bersin, apa yang kita ucapkan ? Alhamdulillah. Otomatis dan baik buat kita. Ini kebiasaan yang bagi buat kita, tapi kita mesti menindaklanjuti makna ucapan kita tersebut agar kebiasaan menjadi terasa bermakna. kebiasaan lain yang sering kita alami, kita mengucapkan "terima kasih" dan bertanya "apa kabar" kalau bertemu temen.  Dalam hal bertanya "apa kabar" memang kebiasaan, tapi ala kadar aja sebagai basa basi. Sebenarnya kebiasaan ini bisa bermakna asal kita melakukannya dengan senang hati dan menikmati keadaannya. Bertanya "apa kabar ?" mungkin basa-basi, tapi bisa kita maknai dengan membalas jawaban dari temen. Misalnya,"katanya baik tapi kok rasa muram begitu".

Berikut ini adalah membangun kebiasaan yang baik buat diri kita. 10 Kebiasaan Harian untuk Membentuk Diri Terbaik

1. Mulai Hari dengan Niat dan Doa
Umum: Tentukan niat dan prioritas harian agar tidak terombang-ambing.
Spiritual: Bangun dengan mengingat Allah (dzikir pagi), niatkan semua aktivitas sebagai ibadah.

2. Membaca dan Belajar Setiap Hari
Umum: Minimal 10–15 menit membaca buku bermanfaat.
Spiritual: Sertakan membaca Al-Qur’an atau tafsir setiap hari.

3. Latihan Fokus dan Syukur
Umum: Tulis 3 hal yang disyukuri setiap pagi.
Spiritual: Jadikan syukur sebagai doa dan renungkan nikmat Allah.

4. Jaga Shalat Tepat Waktu
Umum: Disiplin waktu mencerminkan kontrol diri.
Spiritual: Shalat adalah pusat kesadaran kepada Allah dalam sehari.

5. Batasi Distraksi Digital
Umum: Atur waktu untuk media sosial, jangan biarkan menguasai pikiran.
Spiritual: Hindari konten yang menggelapkan hati.

6. Lakukan Kebaikan Kecil Setiap Hari
Umum: Senyum, bantu orang, ucapkan kata baik.
Spiritual: Niatkan semua kebaikan karena Allah.

7. Latih Kesabaran dan Tahan Emosi
Umum: Berhenti sejenak sebelum merespon.
Spiritual: Ingat bahwa Allah mencintai orang yang sabar.

8. Evaluasi Diri Sebelum Tidur
Umum: Cek apakah hari ini mendekatkanmu ke tujuan.
Spiritual: Muhasabah, istighfar, dan doa sebelum tidur.

9. Perkuat Koneksi dengan Orang Positif
Umum: Lingkungan menentukan kebiasaan.
Spiritual: Pilih teman yang mengingatkanmu pada Allah.

10. Jaga Tubuh dan Pikiran
Umum: Olahraga ringan, makan sehat, cukup tidur.
Dan selanjutnya berikut ini 10 Kebiasaan Harian untuk Hidup dalam Kesadaran kepada Allah,
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”
(QS. Al-Hadid: 4)

1. Memulai Hari dengan Dzikir dan Niat Lillah
Saat bangun tidur, ucapkan doa bangun dan niatkan semua aktivitas sebagai ibadah. 
Kesadaran: “Hari ini semua langkahku untuk mencari ridha Allah.”
2. Shalat Tepat Waktu dengan Khusyuk
Shalat bukan sekadar kewajiban, tapi momen mengingat Allah di tengah kesibukan.
Kesadaran: “Aku sedang menghadap Allah, Dia mendengar setiap doaku.”
3. Membaca Al-Qur’an Setiap Hari
Walau hanya 1 halaman, biasakan tilawah dan tadabbur.
Kesadaran: “Ini kalam Allah yang menuntun hidupku.”
4. Dzikir di Setiap Transisi Aktivitas
Ganti scrolling tanpa arah dengan dzikir ringan (Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar).
Kesadaran: Menghubungkan rutinitas dengan ingatan kepada Allah.
5. Menjaga Lisan dan Niat
Hindari ghibah, ucapan sia-sia, dan perkataan negatif.
Kesadaran: “Setiap kata dicatat oleh malaikat.”
6. Bersyukur di Tengah Aktivitas
Saat bekerja, makan, atau berkendara, ucapkan syukur.
Kesadaran: “Nikmat ini datang dari Allah, bukan semata usahaku.”
7. Menahan Diri dari Hal Haram dan Syubhat
Latih diri menahan pandangan, menahan tangan, dan menahan hati dari yang dilarang.
Kesadaran: “Allah selalu melihatku, meski tak ada yang melihat.”
8. Muhasabah Sebelum Tidur
Renungkan: “Apa hari ini sudah membuat Allah ridha?”
Istighfar dan doa agar Allah menerima amal hari ini.
9. Bersedekah atau Berbuat Baik Setiap Hari
Meski kecil, biasakan memberi atau membantu orang lain.
Kesadaran: “Aku memberi bukan karena orang, tapi karena Allah.”
10. Menghadirkan Allah dalam Keputusan Kecil
Sebelum memutuskan sesuatu, biasakan berkata dalam hati:
“Kalau Allah melihat (dan Dia memang melihat), mana yang paling Dia suka?”

Berikut tool yang membantu kita dengan ceklist 

Checklist Amalan Harian
☐ Niat lillah saat bangun
☐ Shalat tepat waktu
☐ Tilawah minimal 1 halaman
☐ Dzikir setiap pergantian aktivitas
☐ Jaga lisan & niat
☐ Ucapkan syukur di tengah kesibukan
☐ Hindari hal haram & syubhat
☐ Muhasabah sebelum tidur
☐ Satu kebaikan untuk Allah
☐ Hadirkan Allah dalam keputusan

Pernahkah kita merasa hari-hari berjalan begitu cepat, sampai kita lupa untuk berhenti sejenak dan mengingat Allah? Kita bangun, bekerja, makan, berinteraksi, lalu tidur—semua seperti otomatis. Di antara kesibukan itu, adakah ruang bagi hati untuk berkata, “Aku bersama Allah, dan Allah bersamaku”?

Hidup dalam kesadaran kepada Allah bukan berarti kita harus meninggalkan dunia, tetapi menghadirkan Allah dalam setiap langkah. Kesadaran ini bisa dimulai dari kebiasaan kecil, yang jika dilakukan konsisten, menjadi karakter yang melekat.

Berikut 10 kebiasaan sederhana yang bisa kita latih setiap hari agar hati selalu terhubung dengan Allah.

Ilustrasi Dialog: Mamat, Myra, dan Bujang
(Situasi: pagi hari di kantor sebelum mulai bekerja)
Mamat: (mengetik sambil buru-buru) “Aduh, deadline lagi, deadline lagi. Pagi-pagi langsung pusing!”
Myra: (tersenyum) “Pusing kenapa? Udah niat kerja buat siapa?”
Mamat: (bingung) “Ya buat bos lah… buat gaji!”
Myra: “Hmm… kalau gaji telat, kamu masih semangat kerja nggak?”
Mamat: “Ya nggak juga sih… Eh, maksud kamu apa?”
Bujang: (nyelutuk) “Dia maksudnya, niatin kerja buat Allah. Gaji itu cuma bonus, bro!”
Mamat: (mikir sebentar) “Kerja buat Allah? Hm… menarik juga. Kalau gitu, tiap ketik laporan juga dapat pahala?”
Myra: “Ya iya. Asal niat benar, jaga amanah, dan nggak curang.”
Bujang: “Lagian kalau Allah yang jadi tujuan, kerja nggak gampang stres. Karena kita tahu, yang nilai bukan cuma bos, tapi Allah juga.”
Mamat: (senyum) “Oke deh. Mulai sekarang, kerja lillah. Bismillah!”

(Dialog ini menunjukkan bahwa kesadaran kepada Allah bisa hadir di tengah rutinitas kerja, bukan hanya di masjid.)

bagaimana ingin menampilkan kebiasaan baik saja dan menghentikan kebiasaan buru

Pertanyaan ini penting, karena menumbuhkan kebiasaan baik dan menghentikan kebiasaan buruk bukan proses instan. Dalam perspektif kesadaran kepada Allah, ini bukan hanya soal self-discipline, tapi juga soal niat lillah dan kontrol hati.

Ada dua bagian:
✅ Cara Menampilkan (Menumbuhkan) Kebiasaan Baik
Mulai dari Niat yang Benar
Luruskan niat: “Aku lakukan ini karena Allah.”
Niat yang kuat akan jadi energi saat malas datang.
Mulai Kecil, Jangan Perfeksionis
Misal: Mulai dari tilawah 1 halaman, bukan 1 juz.
Konsistensi lebih penting daripada jumlah besar tapi putus.
Tautkan ke Aktivitas yang Sudah Ada (Habit Stacking)
Setelah shalat Subuh → baca Al-Qur’an 5 menit.
Setelah makan → ucapkan doa syukur.
Gunakan Pengingat dan Lingkungan
Pasang sticky note: “Hari ini sudah niat lillah?”
Cari teman yang sama-sama punya misi memperbaiki diri.
Rayakan Progres Kecil.
Catat checklist harian.
Ucapkan hamdalah tiap kali berhasil.

✅ Cara Menghentikan Kebiasaan Buruk
Sadari Dampaknya pada Akhirat dan Diri
Tanyakan: “Kalau aku mati setelah melakukan ini, apa aku rela?”
Ganti dengan Kebiasaan Baik (Replacement)
Misal: Daripada scrolling gosip → baca artikel Islami.
Marah → tarik napas, ucapkan istighfar.
Buat Hambatan untuk Akses Kebiasaan Buruk
Blokir aplikasi yang bikin lalai.
Jauhkan diri dari lingkungan yang memicu maksiat.
Gunakan Kontrol Hati (Muraqabah)
Ingat: “Allah melihatku sekarang.”
Ini cara paling efektif mengontrol diri.
Istighfar dan Jangan Menyerah
Kalau terjatuh, segera taubat.
Allah lebih sayang hamba yang terus kembali daripada yang menyerah.
Dalam perspektif kesadaran kepada Allah:
Setiap kebiasaan baik yang kita munculkan harus dikaitkan dengan niat ibadah.
Setiap kebiasaan buruk yang ditinggalkan harus dikaitkan dengan rasa malu kepada Allah (haya’).

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Perubahan bukan datang tiba-tiba. Ia lahir dari kebiasaan yang kita tanam setiap hari. Maka, jika kita ingin hidup dalam kesadaran kepada Allah, kita harus mulai dari dua hal: menghentikan kebiasaan buruk dan menggantinya dengan kebiasaan baik.

Mengapa Kebiasaan Penting dalam Iman?
Karena iman itu naik dan turun. Jika kita biarkan diri terus mengulang keburukan, hati kita akan keras dan iman merosot. Sebaliknya, ketika kita melatih diri mengulang kebaikan, iman akan subur. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, bukan banyaknya yang membuat Allah ridha, tapi konsistensi. Dan konsistensi itu lahir dari kebiasaan.

“Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
(HR. Ahmad)

“Setiap anak Adam sering berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi)

“Jangan tunggu sempurna untuk berubah. Mulailah berubah agar Allah sempurnakan dirimu.”

✅ Kebiasaan = otomatis, sehingga kita tidak berpikir banyak saat melakukannya.

❌ Tapi sisi negatifnya: kalau terlalu otomatis, kita kehilangan kesadaran (presence).

Insya Allah, penjelasan ini dapat menginpirasi dan memotivasi dir untuk menjadi semakin baik. Dengan memberdayakan diri dapat memperbaiki diri menjadi orang dengan kebiasaan baik yang selalu sadar (hadir dalam setiap tindakan).

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

Minggu, Juli 27, 2025

Kebiasaan bukan saja terbentuk, tapi temukan motivasinya


Salam bahagia selalu, Insya Allah tak ada waktu yang hilang percuma tanpa melakukan perbaikan diri semakin baik. 



Hari ini saya berkisah dan berbagi serta wawasan tentang kebiasaan. Apa itu kebiasaan ? Pasti tahu dong, ini untuk mengingatkankan saja. 
Secara Umum, Kebiasaan adalah perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang kali hingga menjadi otomatis tanpa banyak pertimbangan sadar.
Contoh: menyikat gigi sebelum tidur, minum air setelah bangun.
Secara Psikologi, Menurut James Clear (Atomic Habits):
“Kebiasaan adalah perilaku yang diulang secara teratur dan cenderung terjadi secara otomatis sebagai respons terhadap pemicu (trigger).”
Artinya, kebiasaan terbentuk karena pola Pemicu → Perilaku → Hasil (Reward).
Dalam Perspektif Islam, dalam konteks iman, kebiasaan adalah serangkaian amal yang dilakukan terus-menerus hingga menjadi karakter, dan dinilai oleh Allah berdasarkan niatnya.
Dalil:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu (istiqamah), meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, kebiasaan baik bukan sekadar otomatis, tapi harus disertai kesadaran dan niat lillah.

Saya simpulkan sebagai berikut :
Kebiasaan = perilaku yang diulang terus-menerus sampai menjadi bagian dari diri kita. Dalam iman, kebiasaan baik adalah amal yang dilakukan terus-menerus dengan niat yang benar dan kesadaran kepada Allah.

Berikut obrolan singkat “Kita Adalah Kebiasaan Kita”
[Suasana: Mereka duduk di warung kopi setelah shalat Magrib.]
Myra: (sambil menyeruput teh) Eh, kalian sadar nggak, hidup kita ini sebenarnya dibentuk sama kebiasaan kita sendiri?
Mamat: (heran) Maksudmu gimana, Myra?
Myra: Ya, misalnya kamu rajin olahraga, lama-lama kamu jadi orang yang sehat. Kalau kamu sering telat, ya akhirnya dikenal sebagai orang yang nggak disiplin.
Bujang: (tertawa) Ah, masa sih segitu pengaruhnya? Aku kan ya aku, nggak berubah cuma gara-gara kebiasaan kecil.
Myra: (menatap Bujang) Serius, Jang. Kamu sadar nggak, setiap pagi kamu nge-scroll HP dulu sebelum apa pun?
Bujang: Iya, terus? Itu cuma kebiasaan kecil.
Mamat: (menimpali) Nah itu dia, Jang. Kamu bilang “cuma kebiasaan kecil”, tapi kalau tiap hari begitu, itu jadi pola hidupmu. Dan pola hidupmu itu yang bikin siapa kamu sebenarnya.
Bujang: (garuk kepala) Jadi... maksud kalian, kalau aku malas olahraga, sering telat, dan suka nunda, itu... aku?
Myra: (senyum) Yup. Kebiasaanmu adalah cerminan dirimu. Kamu nggak bisa bilang, “Aku orang disiplin” kalau tiap hari telat.
Bujang: (terdiam, lalu ketawa kecut) Wah, berarti aku ini... kebiasaan jelek semua dong?
Mamat: (ketawa) Belum terlambat, Jang. Kita bisa ganti kebiasaan. Tapi kuncinya harus sadar dulu.
Myra: Betul. Dan kalau kita muslim, kebiasaan kita juga harus mengingatkan kita sama Allah. Jangan cuma otomatis tanpa rasa.
Bujang: (mikir serius) Oke, mulai besok, aku coba ganti kebiasaan. Tapi... pelan-pelan ya.
Myra: Pelan nggak masalah. Yang penting istiqamah.

Apa yang kita bisa jadikan hikmahnya ? Berikut ini hikmahnya :
1. Kebiasaan Membentuk Identitas
Siapa kita hari ini adalah hasil dari kebiasaan kecil yang kita ulang setiap hari.
2. Kebiasaan Kecil Tidak Netral
Tidak ada kebiasaan yang “sekadar kebiasaan kecil”. Ia akan menumpuk dan menjadi karakter kita.
3. Kesadaran Adalah Titik Awal Perubahan
Bujang baru sadar dirinya adalah hasil kebiasaan saat diajak berpikir. Kesadaran adalah langkah pertama untuk berubah.
4. Kebiasaan yang Baik Harus Disertai Kesadaran kepada Allah
Myra mengingatkan bahwa sebagai muslim, bukan hanya soal disiplin, tapi juga soal niat lillah agar amal bernilai di sisi Allah.
5. Perubahan Dimulai dari Langkah Kecil dan Istiqamah
Tidak perlu langsung besar, cukup satu langkah baik yang diulang terus-menerus dengan niat yang benar.

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah awal pertama kita melakukan sesuatu, karena kalau diulangi lagi udah jadi kebiasaan. Hati-hati, jangan tidak mempedulikannya. Misalnya melakukan tanpa berpikir panjang, melakukan terburu-buru tanpa melibatkan pikiran kita, melakukan karena cenderung dalam keadaan emosional. Apa yang terjadi selanjutnya ? Kita telah melakukan "yang tidak baik" atau asal saja, yang telah menjadi memori di dalam pikiran kita. Sangat mungkin ini menjadi kebiasaan. Kecuali kita menyadari apa yang kita lakukan itu tidak baik atau salah. Untuk membentuk kebiasaan yang positif, maka kita mesti siap (waspada) dengan selalu berpikir (logika dan hati) sebelum bertindak. Apakah bisa selalu begitu ? 100% pasti tidak bisa, jika selama tidak begitu, maka kita sering-sering evaluasi (muhasabah) agar kita bisa mengoreksi dan memberi wawasan dalam bertindak selanjutnya.
Contoh, sikat gigi sebelum tidur. Mungkin awalnya kita melakukannya karena disuruh orang tua di masa kecil. Dilakukan terus-menerus jadi kebiasaan. Mau tidur memori kita segera menggerakkan kita untuk sikat gigi. Apa yang terjadi kalau kita memiliki ilmu tentang kesehatan gigi dan teladan nabi ? Tentunya ini menambah kebiasaan sikat giginya tidak hanya sebelum tidur, tapi dilakukan sesering mungkin, habis makan dan menjelang salat. Maka kebiasaan sikat giginya menjadi kebiasaan yang bagus. Ada juga yang melakukannya sikat gigi seperti biasa dan menambahkannya dengan sikat siwak. Itulah kebiasaan yang tanpa banyak mikir, dan kebiasaan yang dikuatkan ilmu.

Lalu buat apa kebiasaan itu ? Ada dong manfaatnya. Level terendah adalah kebiasaan itu adalah diri kita, atau siapa kita ? Kok bisa ? Bayangkan sepanjang hari ... adalah aktivitas kebiasaan kita, bangun pagi terlambat, selalu tidak ada persiapan dalam kerja, kerja ya kerja aja tanpa ilmu yang mendukung, apa-apa mengeluh dan curhat. Maka dengan apa yang dilakukan itu adalah siapa kita. Orang mengenal diri kebiasaan seperti itu adalah orang yang berperilaku negatif, tidak disiplin dan sebagainya. Tapi kadang-kadang kita sering melihat, ada orang yang menampilkan hal positif karena situasi dan saat bersama orang lain (atau orang ramai). Ini yang sering disebut pencitraan. Bisa jadi orang ini dikenal baik oleh orang tertentu saja atau kelompok tertentu, tapi sejatinya adalah tidak demikian (kamuflase). Kalau dalam Islam mirip orang yang munafik. Jadi orang baik itu selalu berproses menjadi semakin baik dan sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari, di rumah, di masyarakat dan di kantor. Orang seperti ini jarang menunjukkan dirinya dengan lisannya tapi lebih banyak dilihat dari perilakunya.

Membentuk kebiasaan tidak hanya sekedar bersikap dan berperilaku saja, tentu butuh ilmu dan pemahaman nilai agama. Oleh sebab itu beruntunglah orang yang berilmu dan terus belajar. Mengapa ? Orang ini melakukan sesuatu selalu dipikirkan dan dipahami dengan hati sehingga apa yang diperbuat adalah tindakan atau perbuatan yang bermakna. Tapi kalau perbuatan bermakna ini dilakukan lagi dan lagi, bukankah itu juga sama dengan sekedar kebiasaan, tanpa mikir lagi ? Betul dan sangat betul. Maka selain kita berilmu logika dan pemahaman nilai agama, ada perlu kesadaran. Kesadaran apa ? Kesadaran saat mengerjakannya, terutama kesadaran dengan Allah. Maka Kebiasaan yang sudah terbentuk sangat membantu kita "mengingatkan" apa yang seharusnya kita lakukan, sebagai trigger awal. Lalu sadarlah saat melakukannya. Maka kebiasaan itu tetap mempunyai nilai, karena dilakukan dengan sadar. Contoh, saat kita salat dari mengucapkan Allahu akbar sampai salam. Ini adalah salat yang telah menjadi kebiasaan. Tanpa mikir lagi dan memahami setiap gerakan dan bacaan, salatnya seperti gerakan yang sudah hafal dan selesainya cepet. Berbeda saat orang salat tahu dia bersegera salat, lalu dia meniatkan dan melakukannya dengan kesadaran kepada Allah. Maka salatnya memberi makna yang berbeda dalam setiap salatnya. Waktu salatnya menjadi proporsional. 

Kebiasaan Otomatis vs Kebiasaan Sadar
Aspek             : Contoh Ibadah
Kebiasaan Otomatis (Tanpa Kesadaran) : Shalat sambil memikirkan urusan dunia
Kebiasaan Sadar (Dengan Niat Lillah) : Shalat dengan hadirnya hati dan niat lillah
Aspek             : Dzikir
Kebiasaan Otomatis (Tanpa Kesadaran) : Mengucapkan Subhanallah tanpa rasa
Kebiasaan Sadar (Dengan Niat Lillah) : Mengucapkan dengan penghayatan makna. Dibaca dengan rasa syukur kepada Allah
Aspek             : Sedekah
Kebiasaan Otomatis (Tanpa Kesadaran) : Transfer otomatis tanpa rasa Memberi dengan niat mencari ridha Allah.Hasilnya, Amal sah tapi kurang bermakna
Kebiasaan Sadar (Dengan Niat Lillah) : Amal bernilai tinggi di sisi Allah
Aspek             : Perasaan Kosong
Kebiasaan Otomatis (Tanpa Kesadaran) : hanya rutinitas
Kebiasaan Sadar (Dengan Niat Lillah) : Ada rasa syukur, cinta, dan dekat kepada Allah

Tindakan atau perbuatan yang kita lakukan berulang-ulang tanpa banyak mikir. Kebiasaan sehari-hari adalah fondasi yang membentuk karakter dan identitas kita. Ada sebuah prinsip yang sering dikutip:
“Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Keunggulan bukanlah tindakan, tetapi kebiasaan.” – Aristotle
Artinya, bukan satu tindakan besar yang menentukan siapa kita, tetapi serangkaian tindakan kecil yang kita lakukan secara konsisten setiap hari.

Beberapa poin penting tentang kebiasaan dan pengaruhnya terhadap siapa kita:
Kebiasaan adalah pembentuk karakter.
Setiap kali kita memilih disiplin, jujur, atau sabar, kita sedang menanamkan sifat itu dalam diri kita. Lama-lama, itu menjadi identitas.
Kebiasaan kecil → hasil besar.
Contoh: Membaca 10 menit sehari mungkin terlihat kecil, tapi dalam setahun itu setara dengan membaca puluhan buku.
Lingkaran identitas:
Pikiran → Tindakan → Kebiasaan → Karakter → Takdir.
Apa yang kita pikirkan dan lakukan berulang akan menentukan siapa kita di masa depan.
Kebiasaan baik mendekatkan kita pada tujuan, kebiasaan buruk menjauhkan kita.

Mari kita tidak hanya asal melakukan sesuatu, tapi lakukan dengan pikiran dan hati. Berikut ini adalah langkah yang bisa dilakukan untuk bertindak dan membentuk kebiasaan yang bener dan berkelanjutan. Latihan dari hari ke hariMembentuk kebiasaan baik butuh strategi yang realistis, bukan sekadar niat. Dari perspektif kesadaran kepada Allah, proses ini juga harus berlandaskan iman dan niat lillah agar kuat.
Berikut cara membentuk kebiasaan baik:

✅ 1. Mulai dengan Niat Lillah (Landasan Iman)
Tanyakan: “Mengapa aku ingin membentuk kebiasaan ini? Untuk siapa?” Jawaban yang benar: untuk Allah, bukan sekadar ikut tren atau karena orang lain.
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…”
(HR. Bukhari dan Muslim)

✅ 2. Pilih Kebiasaan Kecil, Jelas, dan Spesifik
Jangan mulai dengan yang besar, karena sulit konsisten.
Contoh: ❌ “Aku ingin rajin baca Qur’an setiap hari.”
“Aku ingin baca 1 halaman Qur’an setelah Subuh setiap hari.”

✅ 3. Gunakan Pola Trigger → Action → Reward
Trigger: Hubungkan kebiasaan baru dengan aktivitas yang sudah ada (habit stacking).
Contoh: Setelah shalat Subuh → baca 1 halaman Qur’an.
Action: Lakukan kebiasaan itu segera setelah trigger.

Reward: Beri rasa puas (hamdalah, checklist, atau self-reward).
✅ 4. Gunakan Lingkungan untuk mendukung, apa yang kita lakukan. Lingkungan membentuk kebiasaan.
Tips:
Simpan mushaf dekat sajadah → memudahkan tilawah.
Cari teman saling mengingatkan → peer pressure positif.

✅ 5. Awali dengan 2 Menit (Teknik Atomic Habit Islami)
Jangan tunggu mood. Lakukan meski hanya sebentar.
Contoh: Dzikir minimal 1 menit setelah shalat → lama-lama tambah.

✅ 6. Fokus pada Konsistensi, Bukan Kuantitas
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

✅ 7. Evaluasi dan Perkuat Niat Setiap Hari
Sebelum tidur, tanya: “Hari ini sudah aku lakukan untuk Allah?”
Jika terlewat, jangan putus asa → taubat dan ulangi.
Contoh Praktis:
Target kebiasaan: Tilawah setiap hari
Trigger: Setelah shalat Subuh.
Action: Baca 1 halaman Qur’an.
Reward: Ucapkan hamdalah, tandai checklist.
Tantangan: Lupa → solusi: tempel sticky note di mushaf: “Sudahkah kamu baca hari ini?”

Insya Allah tulisan ini mampu membuat kita sadar tentang kebiasaan, yang selama ini tidak mengambil perhatian kita. Kita menganggapnya biasa saja. Akhirnya kita terbentuk menjadi apa yang tidak kita perhatikan itu. Inilah motivasi Islam dan motvasi diri yang dapat memampu kita untuk memberdayakan diri menjadi semakin baik.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

Sabtu, Juli 26, 2025

Apa iya Allah itu hanya Maha Melihat ?

 Salam bahagia selalu, dan Insya Allah kita selalu dapat menghadirkan Allah di hati ini agar kita menjadi hamba Allah yang sebenarnya.

Hari ini melanjutkan tulisan sebelumnya, "Melihat dan Maha Melihat". Judulnya di atas merupakan perluasan pemaknaan dari kata Basir. 

Al-Baṣīr (Maha Melihat) sangat terkait dengan ilmu (pengetahuan). Hubungannya mendalam, baik dari segi makna maupun hikmah. Berikut penjelasan detailnya:

1. Allah Maha Melihat = Allah Maha Mengetahui
Dalam Al-Qur’an, sifat melihat (Al-Baṣīr) sering disebut bersama dengan sifat mengetahui (Al-‘Alīm). Contoh:
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Mengapa? Karena melihat adalah salah satu jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika manusia butuh penglihatan untuk mengetahui objek, maka Allah yang Maha Melihat berarti meliputi pengetahuan terhadap segala sesuatu.
Implikasinya: Allah tidak hanya melihat bentuk luar, tapi juga mengetahui niat dan isi hati.

2. Hikmah untuk Manusia: Ilmu adalah “Basirah”
Kata bashīrah (بَصِيرَة) berasal dari akar kata yang sama dengan Al-Baṣīr, dan artinya pandangan mata hati (insight).
Ilmu yang benar memberi bashirah, yaitu kemampuan melihat kebenaran secara jelas.
Dalam Al-Qur’an:
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah (ilmu yang jelas).” (QS. Yusuf: 108)
Jadi, hubungan antara Al-Baṣīr dan ilmu adalah: siapa yang sadar Allah Maha Melihat, dia akan menuntut ilmu dengan jujur, menggunakannya untuk kebaikan, dan menghindari kebodohan (ghaflah).

3. Implikasi Praktis
Pengawasan Allah → Kejujuran dalam menuntut ilmu, Misalnya: mahasiswa tidak menyontek karena tahu Allah melihat.
Penglihatan hati (bashirah) → Memahami kebenaran Ilmu bukan sekadar hafalan, tapi insight yang membuat kita melihat dampak amal.
Penggunaan ilmu untuk hal yang diridhai Karena Allah melihat bagaimana kita memanfaatkan ilmu. 



Secara bahasa: berasal dari kata بَصَرَ (baṣara) yang berarti melihat atau menyaksikan. 

Makna sifat: Allah memiliki penglihatan yang sempurna, tidak terbatas, dan meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kata Melihat bukan kita persepsi seperti kita melihat dengan mata. 

a. Kesempurnaan penglihatan Allah, bisa menjangkau fisik dan dibalik fisik (hati manusia).
b. Tidak membutuhkan mata atau alat bantu.
c. Meliputi semua makhluk, baik yang besar maupun sekecil atom.
d. Tidak terbatas oleh jarak, ruang, gelap, atau terang.
Firman Allah :
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hujurat: 18)

Allah yang Maha Melihat kita (apa yang kita kerjakan) adalah melihat apa yang kita kerjakan dan apa dibalik kerja itu. Hal ini baik secara fisik maupun non fisik. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada tempat dialam semesta ini tidak terjangkau oleh Allah ? Pastilah tidak ada. Maka masihkah kita mengatakan bahwa tidak ada yang melihat apa yang kita kerjakan ?? Mungkin kita sendiri, tapi selalu ada Allah.
Jika Ya Basir ini kita  terapkan dengan benar, ternyata berdampak baik buat kita, dimana kita selalu taat kepada Allah dan selalu berbuat yang baik.

"Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan" sering diulang-ulang dalam berbagai ayat di Al Qur'an. Al Baqarah ayat 96
وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ

atau dengan Al Baqarah ayat 110

  اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 

atau dengan kata yang lain 

Allah melihat hamba-hambanya, mengetahui (Alim) keadaan hamba-hambanya Ali Imran ayat 15

 وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ  

atau ayat lain dimana bukan sekedar melihat tapi Allah mengetahui apa yang terjadi termasuk dosa-dosa manusia

وَكَفٰى بِرَبِّكَ بِذُنُوْبِ عِبَادِهٖ خَبِيْرًاۢ بَصِيْرًا

dan kata Maha Melihat juga dikaitkan dengan Maha mendengar, pada An Nisa ayat 134ang 

وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Dari ayat-ayat di atas dapat kita ambil hikmahnya sebagai berikut 

Kalaulah Allah itu Maha Melihat, maka dibalik makna melihat itu tersirat adanya Allah yang Maha Mengetahui keadaan kita yang diperhatikan baik hati dan tindakannya. Kalau kita merasa dizalimin tak perlu lebay juga, karena Allah tahu. Tidak sekedar melihat saja, Allah juga merespon atau membalas apa yang kita kerjakan. Apa iya begitu ? Iyalah. Tak mungkin Allah melanggar janjinya. Yang perlu kita pertanyakan adalah apa yang sebenarnya sudah kita kerjakan ? Jika benar baik, maka ada balasannya dan sebaliknya jika tidak baik, maka Allah juga respon atau balas dengan yang setimpal. Sepanjang waktu dan sepanjang usia kita, Allah selalu menunggu ingin membalas kebaikan kita. Sudah dikerjakan hal baik ? dan sudahkah ikhlas ??

Maha Melihatnya Allah itu juga disamping dengan Maha Mendengar, Boleh saja tindakan kita baik tapi tidak ikhlas di hati. Maka Allah juga Mendengar apa yang kita ucapkan di hati dan lisan kita. Bukankah kita bisa terlihat diam (tidak melakukan apa-apa) tapi hati bicara. Hati-hati dengan ucapan dari apa yang kita kerjakan, Allah Maha Tahu, tahu isi yang kita ucapkan secara batin maupun zahir, dan Allah juga Maha melihat apa yang kita kerjakan sekalipun tak tampak fisiknya.

Dikisahkan dimana Abu Nawas "Tidak ada tempat yang tidak ada Allahnya"
Abu Nawas: “Di Mana Allah?”Suatu hari, 
Raja Harun al-Rasyid menguji Abu Nawas:
Raja: “Abu Nawas, tolong carikan aku tempat di mana Allah tidak bisa melihatmu!”
Abu Nawas berpikir sejenak, lalu berkata:“Baik, Tuanku. Beri saya waktu sehari.”Keesokan harinya, Abu Nawas datang dan berkata:“Tuanku, saya tidak menemukan tempat seperti itu. Karena ke mana pun saya pergi, Allah selalu melihat saya.”
Raja tersenyum dan berkata:“Benar, kamu cerdas. Memang tidak ada tempat yang tersembunyi dari penglihatan Allah.”

Pesan moral: Tidak ada satu pun tempat yang luput dari penglihatan Allah. Ini sangat sesuai dengan makna Al-Baṣīr.

Dilain kisah tentang Nasrudin Kodja. "Bersembunyi dari Allah"
Dikisahkan, Nasrudin Hoja sedang bermain petak umpet dengan anak-anak. Saat ia bersembunyi, ia menutup matanya dengan tangan dan berkata:“Kalau aku tidak melihat mereka, berarti mereka juga tidak melihatku!” Orang-orang menertawakan kebodohannya. Lalu seorang bijak menegur:“Kalau kamu tidak melihat mereka, bukan berarti mereka tidak melihatmu. Apalagi Allah, yang melihat segala sesuatu.”

Ini cerita humor tapi sarat makna: kita sering merasa aman dari pengawasan Allah hanya karena tidak ada manusia yang melihat kita, padahal Allah Maha Melihat.

Menyadari Allah Maha Melihat (Al-Baṣīr) menjadi penting, bukan sekedar tahu ... disadari dan diamalkan
Makna Al-Baṣīr: Allah Maha Melihat segala sesuatu, baik yang tampak maupun tersembunyi.
Dalil Al-Qur’an:
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”QS. Al-Hujurat: 18)
Mengapa Penting Menyadari Sifat Ini?
a. Menumbuhkan muraqabah (merasa diawasi Allah).
b. Menghindari dosa ketika sendirian.
c. Menjadikan ibadah dan pekerjaan lebih ikhlas.
Apa Dampak Kesadaran Al-Baṣīr ?
a. Tidak mudah tergoda maksiat.
b. Ikhlas beramal karena Allah tahu niat kita.
c. Berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan.
Bagaimana Cara Praktis Menghadirkan Kesadaran Al-Baṣīr
a. Dzikir Harian: Ucapkan “Ya Baṣīr, perlihatkan aku jalan yang Engkau ridai.”
b. Self-talk sebelum berbuat: “Apakah aku berani melakukan ini di hadapan Allah?”
c. Latihan 5 Detik: Saat ingin berbuat salah, berhenti 5 detik dan ingat Allah sedang melihat.
d. Gunakan Penglihatan untuk Kebaikan: Membaca Qur’an, melihat yang halal, menahan pandangan dari yang haram.

Saya tutup dengan obrolan ringan dari sahabat saya 
Obrolan Ringan: Mamat, Myra, dan Bujang
Mamat: “Wah, ujian online lagi minggu depan. Enak nih, nggak ada pengawas!”
Bujang: “Enak apanya, Mat? Jangan sampai curang. Allah kan Maha Melihat.” 
Myra: “Betul. Kita belajar bukan cuma untuk nilai, tapi untuk ilmu yang berkah. Kalau nyontek, dapat nilai tapi hati gelap.”
Mamat: “Hmm, iya juga. Jadi, kalau nggak ada pengawas, pengawasnya Allah, ya?” 
Bujang: “Persis! Makanya orang yang sadar Al-Baṣīr itu nggak bisa main-main, meski sendirian.”
Myra: “Kalau kita jaga amanah kecil ini, nanti Allah bukakan bashīrah, kita lebih mudah ngerti pelajaran.”
Mamat: “Oke, deal! Belajar serius, biar Allah kasih cahaya ilmu.”

Insya Allah tulisan di atas bisa menjadi inspirasi dan juga motivasi diri untuk mengenal Allah lebih dekat. Tak ada hasilnya jika tidak memberdayakan diri dengan memahami dan mempraktekkannya. Praktek dalam segala hal sepanjang hari kita. Inilah yang dikenal dengan motivasi islam. Masihkah ada waktu kita untuk menghadirkan selain Allah ?

Sahabatmu
Munir Hasan Basri





Jumat, Juli 25, 2025

Melihat dan Maha Melihat

Salam bahagia selalu dan Insya Allah kebahagiaan itu tercurahkan kepada kita dari sisi Allah.

Hari ini saya menulis tentang Allah itu Maha Melihat. Mungkin ada yang sudah paham dan mungkin ada yang penasaran sudah paham kok dibahas. Tetapi yang sudah paham pun begitu tidak mudah mengamalkannya, karena kaitannya hanya antara kita dengan Allah saja. Apa yang kita perbuat sehari-hari selama ini tidak memperhitungkan bahwa Allah itu Maha Melihat, buktinya kita masih melakukan yang dilarang Allah dan tidak berbuat yang terbaik.


Masih ingat tentang ihsan ? masih dong, lalu Apa itu ihsan ? Dalam hadits Jibril yang terkenal, Rasulullah ﷺ menjelaskan: "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

👁️ Hubungan Ihsan dengan “Melihat” dan “Dilihat”
1. Seolah-olah Melihat Allah dalam ibadah. Ini adalah tingkatan tertinggi dalam ibadah. Seorang hamba beribadah dengan kesadaran penuh, seakan-akan ia sedang berhadapan langsung dengan Allah.
Ini melahirkan kekhusyukan, keikhlasan, dan cinta dalam ibadah.
2. Jika Tidak Bisa, Maka Yakin Allah Melihatmu. Ini adalah tingkatan minimal dari ihsan. Meskipun kita tidak bisa membayangkan Allah secara fisik, kita tetap sadar bahwa Allah Maha Melihat (Al-Baṣīr) dan Maha Mendengar (As-Samī‘).
Kesadaran ini mendorong kita untuk:
a. Menjaga amal dan niat
b. Menjauhi maksiat meski dalam kesendirian
c. Berbuat baik meski tidak dilihat manusia


Ihsan adalah bentuk tertinggi dari iman dan ibadah. Ia sangat erat dengan sifat Allah sebagai Al-Baṣīr dan Al-Samī‘.
Semakin kuat keyakinan kita bahwa Allah melihat dan mendengar, semakin tinggi kualitas ihsan kita.

Menerapkan ihsan ini sangatlah tidak mudah, bayangkan fungsi mata yang melihat itu tidak bisa melihat Allah maupun telinga yang juga tak mampu merasakan keberasaan Allah. Kalau begitu kita mesti bagaimana ?

Ihsan dapat kita fungsikan mata dan hati, dan pendengaran dan hati. Hati yang mampu merasakan kehadiran Allah. Inipun kita mesti memiliki hati yang bersih. Bagaimana kalau bersih ? Yang bisa kita lakukan adalah pada saat itu kita telah sungguh-sungguh menuju Allah dengan meniadakan kepentingan lain selain Allah, membersihkan diri dengan mengawali dengan istighfar dan fokus untuk Allah. Terakhir kita mesti mengikhlaskan apa yang kita kerjakan baik itu ibadah ataupun kerja. Mungkin masih kita tafsiran hanya berharap kepada Allah, tapi ini saya berpikir ... bagaimana kalau kita ibadah tidak berharap apa-apa dari Allah, kita pasrahkan menyerahkan kepada Allah apa yang Allah kehendaki kepada kita.

👁️ Kaitan Ihsan dengan Allah Maha Melihat
1. Kesadaran Spiritual
Ihsan mengajarkan kita untuk beribadah seolah-olah melihat Allah, dan jika tidak mampu, maka yakin bahwa Allah melihat kita. Ini langsung berkaitan dengan sifat Al-Baṣīr, yang berarti Allah melihat segala sesuatu—baik yang tampak maupun tersembunyi.
“Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Ahzab: 9)
2. Pengawasan Ilahi
Dalam ihsan, kita menyadari bahwa tidak ada amal yang luput dari penglihatan Allah. Ini mendorong kita untuk:
a. Ikhlas dalam beramal
b. Menjaga perilaku meski tidak dilihat manusia
c. Menghindari maksiat meski dalam kesendirian
3. Kualitas Ibadah
Ketika kita sadar bahwa Allah melihat kita, ibadah menjadi lebih khusyuk, terarah, dan bermakna.
Ini adalah inti dari ihsan: beribadah dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah.

Konsep Ihsan, Al-Baṣīr
Sifat Allah      : Seolah-olah melihat Allah
Dampak           Meningkatkan kekhusyukan
Sifat Allah       : Yakin Allah melihat kita
Dampak           :  Menjaga amal dan niat
Sidat Allah      : Pengawasan Ilahi
Dampak           : Meningkatkan integritas pribadi

👁️ Ayat Al-Qur'an tentang Allah Maha Melihat (ٱلْبَصِيرُ)
1. QS. Al-Ahzab [33]: 9
"Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan."
2. QS. Al-An’am [6]: 103
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan."

Dua ayat di atas sudah cukup buat kita mesti mikir 2 kali untuk berbuat sesuatu, menjadi orang yang ikhlas berbuat yang baik dan mencegah perbuatan keji dan mungkar. 
Biasanya kita mesti berpikir apa yang kita kerjakan itu kepada orang lain, tapi saya berpikir lebih dalam bagaimana kita berpikir tentang apa yang kita kerjakan terhadap diri sendiri.
Misalkan, apakah kita masih mau malas denan santi atau menunda pekerjaan atau tidak bekerja tuntas atau kerja seadanya atau bekerja dengan perasaan kesel atau terpaksa ... Semua ini kan dilihat Allah, baik yang lahir (yang nampak) maupun yang tersembunyi (batin). Inilah yang mesti kita bangun dengan selalu berzikir Ya Baṣīr agar kita selalu merasa dilihat dan diawasi.

👁️ Makna dan Kisah tentang Al-Baṣīr (ٱلْبَصِيرُ) – Maha Melihat
📖 Makna : Allah Maha Melihat segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dia melihat amal, niat, dan isi hati manusia tanpa alat bantu dan tanpa batas.
📜 Contoh dalam Al-Qur'an
Dalam Surah Al-Isra’ ayat 1, Allah menyebut:
“Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ini menunjukkan bahwa Allah menyaksikan segala peristiwa, termasuk perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ 3.
Pelajarannya : Tidak ada yang luput dari penglihatan Allah, termasuk amal tersembunyi.
Kita diajak untuk berbuat baik meski tidak dilihat manusia, karena Allah selalu melihat.
Al-Baṣīr kadang dipasangkan dengan Al-Laṭīf (Maha Lembut) atau Al-Khabīr (Maha Mengetahui secara mendalam)

Renungan :
Allah Melihat pasti berbuat atas apa yang kita kerjakan dan jangan pernah merasa Allah mendiamkan saja.
Apakah kita masih tidak membersihkan diri di awal pagi untuk melaksanakan subuh ??? Masak sih kita Subuh belum mandi ?
Apakah kita masih membiarkan ruangan atau rumah yang tidak bersih atau berantakan ?? Bukankah Allah mencintai orang yang bersih dan rapi ... sebagian dari iman.
Apakah kita masih mau menunda apa yang seharusnya kita lakukan ? Apakah kita masih berkata dalam hati dengan alasan tertentu atau Allah juga maklum ?
Apakah kita ibadah dan kerja yang tidak didukung ilmu dan keimanan yang benar sehingga semua itu dilakukan seadanya (menggugurkan kewajiban) ??? Allah kan melihat isi hati kita.
Apakah kita masih berbuat baik itu ada maksudnya (menguntungkan diri kita sendiri dan merasa nyaman) ?? sehingga kita tidak ikhlas. Allah mengetahuiNya.
Memang kadang kita sadar kepada Allah yang Maha Melihat, Insya Allah kita jadi orang baik. Tapi untuk menjaga kesadaran tidak mudah dan seringnya kita "lalai" atau lupa sehingga tidak merasa lagi Allah itu mengawasi. Untuk itu latihlah untuk sadar kepada Allah, khususnya Allah yang Maha Melihat agar perilaku kita terjaga dengan iman.
Ini adalah catatan belajar untuk menyadarkan kita selalu kepada Allah. Insya Allah ilmu dan pemahaman petunjuk Allah itu dapat membuka hijab yang selalu mengajak kita untuk sesuatu yang tidak baik. Tidak lain selalu ingin mensucikan diri (hati) agar kita mampu merasakan diri diawasi Allah. Proses ini adalah upaya untuk memberdayakan diri menjadi semakin baik. Wajar kita memanfaatkan petunjuk Allah sebagai motivasi diri, yang kita kenal sebagai motivasi islam. Tidak ada yang sia-sia dari ciptaan Allah.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri 
artikel dan kisah yang menggambarkan makna mendalam dari Asmaul Husna Al-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-Baṣīr (Maha Melihat):


🕊️ Makna dan Kisah tentang Al-Samī‘ (ٱلسَّمِيعُ) – Maha Mendengar

📖 Makna

Allah Maha Mendengar segala sesuatu—baik yang keras maupun yang pelan, yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Bahkan bisikan hati pun didengar oleh-Nya. Pendengaran Allah tidak terbatas oleh ruang, waktu, atau bahasa


📜 Kisah: Khaulah binti Tsa’labah

Dalam Surah Al-Mujadilah ayat 1, Allah menyebut bahwa Dia mendengar keluhan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa’labah yang mengadukan masalah rumah tangganya kepada Rasulullah ﷺ.


“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya...”

Ini menjadi bukti bahwa Allah mendengar keluhan hamba-Nya, bahkan sebelum Rasulullah ﷺ selesai mendengarkan1.


💡 Pelajaran:

Allah mendengar doa dan keluhan kita, bahkan yang tidak terucap.

Kita diajak untuk menjaga ucapan dan memperbanyak doa dengan keyakinan bahwa Allah mendengar.


 Isi Booklet Inspiratif (Siap Cetak atau Salin ke Word/PDF)
🕌 Judul: Kisah Inspiratif Asmaul Husna
Tema: Maha Mendengar (Al-Samī‘) & Maha Melihat (Al-Baṣīr)

📜 Kisah Khaulah binti Tsa'labah
Dalam Surah Al-Mujadilah ayat 1, Allah menyebut bahwa Dia mendengar keluhan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa'labah yang mengadukan masalah rumah tangganya kepada Rasulullah ﷺ.

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya...”
(QS. Al-Mujadilah: 1)
قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا

🌟 Renungan Al-Samī‘ (Maha Mendengar)
Allah mendengar segala ucapan dan bisikan hati.
Kita tidak pernah sendiri—Allah selalu mendengar.
Jaga lisan dan perbanyak doa dengan keyakinan.
👁️ Renungan Al-Baṣīr (Maha Melihat)
Allah melihat semua amal dan niat, bahkan yang tersembunyi.
Berbuat baik meski tidak dilihat orang lain.
Tidak ada yang luput dari penglihatan-Nya.
📖 Ayat Al-Qur'an Terkait
QS. Al-Baqarah [2]: 127 – Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui
QS. Al-Ahzab [33]: 9 – Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan
QS. Al-Isra [17]: 1 – Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat
🧭 Aplikasi Praktis
Dzikir harian: “Ya Samī‘” dan “Ya Baṣīr”
Menjaga ucapan dan niat
Berbuat baik secara konsisten
Memohon dengan keyakinan bahwa Allah mendengar dan melihat

Selain kisah Khaulah binti Tsa'labah, ada beberapa kisah dan penjelasan dalam Islam yang menggambarkan sifat Allah sebagai Al-Samī‘ (Maha Mendengar) dan Al-Baṣīr (Maha Melihat):


🕊️ Kisah dan Penjelasan tentang Al-Samī‘ (Maha Mendengar)

📜 1. Doa Nabi Zakariya

Dalam QS. Maryam: 3-4, Nabi Zakariya berdoa dengan suara lembut memohon keturunan:


“Ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut...”

Ini menunjukkan bahwa Allah mendengar doa yang lirih sekalipun.


Pelajaran: Allah mendengar doa yang tulus, bahkan yang tidak terdengar oleh manusia lain.


👁️ Kisah dan Penjelasan tentang Al-Baṣīr (Maha Melihat)

📜 2. Kisah Nabi Musa dan Fir’aun

Dalam QS. Taha: 46, Allah menenangkan Nabi Musa dan Harun saat menghadapi Fir’aun:


“Janganlah kamu berdua takut, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua; Aku mendengar dan melihat.”


Pelajaran: Dalam situasi sulit, Allah hadir, mendengar dan melihat perjuangan hamba-Nya.


📖 Penjelasan Ulama tentang Al-Baṣīr

Menurut Imam Al-Muzani dan ulama tafsir lainnya 1:


Allah melihat segala sesuatu, bahkan yang paling kecil dan tersembunyi.

Nama Al-Baṣīr disebut lebih dari 40 kali dalam Al-Qur'an.

Allah melihat amal manusia dari segala sisi, dan akan memberikan balasan sesuai hikmah-Nya.

2 : 127,137,181. 2:224,227,244,256. 3:34,121. 4:58,134,148. 5:76. 6:31,115. 7:200.

8:17,42


Kamis, Juli 24, 2025

Siapa saya ??

 Salam sejahtera dan bahagia selalu. Insya Allah selalu tercurahkan rahmat Allah kepada kita semua. 

Hari ini saya ingin berbagi tentang siapa saya ? Sebenarnya siapa saya adalah apa yang ada dalam pikiran saya. Hal berkaitan dengan apa yang pernah kita pelajari dan apa yang telah kita lakukan. Dan bisa juga merupakan apa yang kita impikan belum tercapai. Semua itu tersimpan dalam memori pikiran (alam bawah sadar). Karena hal inilah semua itu menentukan siapa saya (kita).



Sebagai contoh, seseorang yang latar belakangnya hidup di kota dan gaya hidup anak-anak muda. Maka kalau soal makan, orang ini sama mengenal dan biasa makan di resto. Bisa jadi harga di resto itu murah bagi dia. Karena dia sudah terbiasa makan di resto itu. Sebaliknya orang desa dengan latar belakang hidup sederhana di desa, maka makan itu paling mentok makan di warung saja. Karena memang tidak punya uang banyak. Kalau kedua orang ini ditanya tentang makanan yang enak dimana ? Orang kita jawab,"makan di resto" dan apa jawaban anak desa ? Dia menjawab "makan di warung". Siapa saya adalah jawaban itu. Bagi anak kota, siapa saya ? Dalam makan pilih tempat makan, siapa saya adalah resto. Makanan di resto itu telah menjadi kebiasaannya, artinya siapa saya adalah kebiasaan saya. Sama juga dengan anak desa, siapa saya adalah kebiasaannya juga, yaitu saya adalah warung makan. Atau bisa jadi juga orang yang belum kesampaian makan di tempat tertentu, dia menjawab dengan saya adalah tempat tertentu tersebut. Kebiasaan-kebiasaan lain membentuk diri seseorang dan menjadi memori dalam pikiran kita. 

Mengapa itu terjadi ? Sebenarnya kita sudah dibentuk oleh kebiasaan itu yang tersimpan dalam memori. Hal ini terjadi karena otak kita bekerja otomatis. Sinyal yang masuk ke dalam pikiran selalu dicarikan kesesuaian dengan memori. Tanpa banyak berpikir lagi memori itu langsung keluar dan muncullah dalam ucapan ataupun tindakan kita. Disinilah kita kehilangan kesadaran siapa saya. Seharusnya jika kita sadar, maka kita tidak langsung menjawab apapun sinyal yang masuk ke dalam pikiran kita. Saat menerima sinyal atau ada yang bertanya, maka kita memiliki pilihan untuk mencerna dulu apa yang terjadi. Misalkan pertanyaan yang sama ditanya dimana makan yang enak. Maka pertanyaan dicerna dengan seksama, tentang makan dan tempat. Ada dua hal yang berbeda, makanan yang enak dan lokasi yang enak. Pikiran bertanya, mau makannya yang enak atau tempatnya yang enak. Apalagi orang yang ditanya pernah diceritakan makanan yang enak di suatu tempat. Maka siapa saya menjadi terlihat "aneh" yang sebagian orang. Siapa saya adalah makanan yang enak, atau siapa saya adalah tempat makan yang enak.

Apakah orang yang sudah terbiasa (kebiasaannya) itu baik buat dirinya ? Yang pasti orang ini merasa nyaman aja, dan pilihannya tidak ada yang lain. Tapi menjadi kuran update karena tidak mau melakukan yang berbeda atau mengganti kebiasaannya dengan yang baru. Hidup ini dinamis dan mesti berkembang. Maka siapa sayanya juga mengikuti untuk menjadi semakin baik. Biasanya orang itu tidak berkembang dengan baik lagi saat dia sudah merasa sudah kerja setelah melewati perjalanan pendidikan (ilmu). Kehidupan yang dijalaninya adalah kebiasaan-kebiasaan yang sudah terbentuk sebelumnya. Umumnya Kebiasaan yang utama tetap selalu ada dan mau tidak mau dia merubah kebiasaannya karena bergaul dengan orang yang dinamis. 

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah iya kebiasaan itu tak perlu berubah. Sepantasnyalah kita menjadi orang yang update untuk menjadi semakin baik, siapa saya nya ? Saya yang update terus. Bukankah kita ini adalah bagian yang dunia yang pasti berubah setiap saat dan mau tidak mau mesti mengikutinya. Yang terpenting adalah saya adalah saya yang baik dan bener. Inilah yang menjadi dasar siapa saya, sesuatu yang bener dan mutlak untuk mengikuti perubahan yang terjadi.

Oh ya, yang kurang menyenangkan dari kebiasaan itu adalah tidak mikir lagi. Serba otomatis, apapun sinyalnya respon atau sikap kita selalu sama. Padahal tidak selalu demikian, setiap sinyal yang masuk ke dalam pikiran kita itu bisa sama tapi latar belakangnya berbeda. Orang yang dinamis itu selalu ingin berpikir dan memberi hasil yang terbaik. Sebagai contoh masih tentang dimana makanan yang enak ? Maka mungkin yang bertanya bermaksud ingin mengajak orang untuk makan di rumahnya, Gratis dan enak lagi (masakan rumahan). Maka dibalik latar belakang pertanyaan tersebut sangat memberi peluang untuk,"Mengapa kita tidak makan di rumah aja, bila perlu kita masak bareng. pasti menyenangkan". Bukankah hal ini sangat menarik dengan tidak melulu kebiasaan yang ada.

Jadi siapa saya dimasa kecil menjadi tidak sama dengan siapa saya di masa kuliah atau sudah kerja. Tetapi masih ada yang samanya adalah orangnya santun. Itulah dasar perubahannya tidak berubah, adalah kebaikan, yang bener, yang baik. Dasar yang baik itu berasal dari Sumber kebaikan, yaitu Allah. Dan yang luar biasanya lagi adalah hampir standard santun itu sama bagi semua orang. Itulah Allah, adalah sumber yang sama. 

Kebiasaan itu baik, tapi teruslah untuk berpikir untuk mendapatkan yang update sehingga kita bisa menikmati apa yang kita lakukan dengan menyenangkan. Kebiasaan hanya mentrigger kita untuk memulai dan di saat itu kita mulai berpikir sesuai ilmu yang kita miliki. Disinilah peran ilmu yang bisa merubah kebiasaan sebelumnya menjadi kebiasaan yang semakin baik. Tanpa ilmu semua itu tak mudah untuk dilewati. Maka dari itu belajar tentang ilmu baru (yang baik) adalah proses yang tak pernah berhenti. Inilah alasannya mencari ilmu sampai mati, karena memang kita membutuhkan kehidupan yang semakin baik.

Inilah sisi lain dari siapa saya ? Saya tidak pernah berhenti untuk menyempurnakan ilmu tentang siapa saya. Bisa jadi ilmu hari ini bukanlah yang terbaik untuk mengatakan siapa saya, tapi sangat mungkin ilmu di hari berikutnya. Ilmu itu bisa dari banyak orang dengan latar belakang yang berbeda, mari sikapi semua itu menjadi kewajiban kita untuk bersama meraih yang semakin baik.

Insya Allah saya dapat mengambil hikmat dari tulisan saya ini dan bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membaca. Tidak lain saya ingin memberdayakan diri saya sendiri untuk hidup semakin bermakna. Inilah motivasi islam yang selau saya pegang dan menjadi motivasi diri yang baik untuk diamalkan. 

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

 

Rabu, Juli 23, 2025

Latar belakang Training kesadaran kepada Allah

 Salam bahagia selalu dan Insya Allah kita diberikan Allah hati yang tenang agar dapat kerja yang menyenangkan. 
Hari ini saya berbagi tentang training yang bawakan untuk umum, perusahaan dan siapa saja yang ingin meningkatkan produktivitas diri. Tidak produktivitas yang ditingkatkan tapi selalu ada dorongan yang tidak terpaksa untuk melakukannya. Intinya adalah bagaimana seorang muslim menselaraskan iman dan kerja. 
Emangnya kenapa training ini dilakukan ? Saya melihat dan saya sendiri pernah mengalaminya, dulu. Apa yang saya lihat ? Saya melihat diri saya sendiri, iman untuk menjadi hamba yang taqwa itu tidak sejalan dengan apa yang kerjakan di kantor. Bahkan ada yang tidak pas, dimana salat saya dilaksanakan untuk memperlancarkan kerjanya dengan hasil terbaik. Menurut saya, salat saya ini tidak murni ikhlasnya. Bukankah salat itu ibadah yang dijalankan dengan memurnikan hati yang ikhlas kepada Allah. Kalau ada masalah, maka salatnya kenceng. Nggak salah tapi kurang oke aja. "Ada udang dibalik batu". Dalam Al Qur'an disindir "kalau ada masalah lalu mengadu dan berdoa kepada Allah, setelah masalahnya selesai ... salat dan doanya kembali seperti biasa".Bagaimana dengan Anda ? Miriplah. 
                          
Lebih lanjut membaca fakta keluhan banyak orang, mempertanyakan atau bisa dikatakan "keluhan". Apa itu ? Mengapa saya yang sudah ibadah, salatnya lengkap dari wajib dan  sunnahnya dan sudah juga berdoa serta beramal, tapi kok belum mencapai apa yang saya inginkan (sukses) ? Saya sebenarnya tidak untuk menjawab alasannya. Tapi bila direnungkan bisa jadi Allah menguji kita atau lebih kenanya karena memang iman kita masih belum kuat sehingga hadir keraguan di hati yang menyebabkan kita belum maksimal ibadah dan kerjanya. 

Atas dasar hal di atas, saya berinisiatif belajar kembali agama dan ilmu pekerjaan saya. Apa yang terjadi saat saya hanya mengandalkan agama yang kuat tapi tidak berilmu juga dalam pekerjaan, maka hasil dari pekerjaan saya bisa membuat lemah iman. Misalkan gaji yang tidak meningkat, padahal menurut kita sudah hebat kerjanya (kerja sesuai permintaan). Tak ada yang lebih kerja sesuai deadline dan sesuai apa yang diminta. Apa yang terjadi ? Ibadah dan doa saya yang diharapkan memberi percepatan kerja yang maksimal tidak terjadi (belum dikabulkan). karena iman saya tidak kuat juga, iman itu pun melemah. Hanya sekedar iman. Untuk mengatasi hal ini saya pun mesti hebat dalam ilmu pekerjaan, sekalipun tidak diminta. Memberi yang terbaik dan dinamis setiap saat (berubah) sehingga apa yang saya kerjakan melebihi harapan dari atasan saya. Apa akibatnya ? Saya dipercaya dan Allah izinkan dengan ibadah dan doa saya menjadi nyata dengan perbaikan pendapatan. Saat seperti inilah saya menyelaraskan iman dan kerja dalam satu garis lurus. BUkankah iman itu perlu pembuktian ? Pembuktiannya adalah lewat ibadah, doa dan kerja yang berkualitas. 
Ternyata saya menemukan sendiri petunjuk dari Allah, rasanya tidak mungkin jika saya sudah beriman tapi kok amalannya tidak hebat. Ada yang kurang pas. Maka Iman itu percaya, kemudian Islam itu yakin dan semakin sempurna dengan ihsan. Ihsan inilah yang mendasari kesadaran yang saya maksud. Selama ini saya fokus pada iman dan islam. Bayangkan saat saya sadar kepada Allah, apa yang terjadi ? Saya merasa dilihat dan diawasi Allah dan para malaikatnya. Dengan iman yang ada, saya jadi menjaga sikap dan perilaku saya. oh ya, Ihsan seperti ini masih kelas dua, yang lebih tinggi lagi adalah kita seolah melihat Allah. Penerapan ihsan yang bener menyebabkan saya pasti ingin berbuat yang baik (amal saleh). Saya pasti takut melakukan ketidaktaatan kepada Allah, dimana sekecil apapun dibalas Allah. Ada perkataan saya terkendali melakukan hal baik (amal saleh), semakin banyak saya berbuat baik ... saya pun merasakan dampak hasil positifnya. Apa yang terjadi ? hasil yang saya peroleh dari berbuat baik itu semakin menguatkan iman saya. 
Dapat saya simpulkan bahwa saat saya bekerja yang bener (efektif dan efisien) dan juga meningkatkan nilai ibadah yang saya lakukan. Semua ini karena saya merasa ada Allah, di awasi Allah dan dilihat. Hasilnya saya mendapatkan kebaikan dari perbuatan baik itu dan menguatkan keimanan saya. Selanjutnya ? Saya semakin kuat beribadahnya. Dengan kata lain, semakin kuat saya mengejar dunia nafkah saya, maka semakin besar pula saya meningkatkan ibadah saya (iman saya). Dari pengalaman inilah saya ingin berbagi kepada siapapun tentang penerapan kesadaran kepada Allah ini dalam dunia kerja atau kehidupan kita. Output yang dihasilkan adalah semakin produktif dalam bekerja atau beraktivitas.
Dengan pengalaman saya sebagai trainer profesional, maka saya buatkan pelatihan kesadaran kepada Allah. Awalnya saya memberi judul kesadaran spiritual, tapi akhirnya saya menggantinya dengan kesadaran kepada Allah karena khawatir terjadi kesalahpahaman. Kata spiritual sudah menjadi bahasa umum dan kurang islami. Pelatihan ini sudah saya lakukan sejak 2006 sampai sekarang. Alhamdulillahirabbil alamin, pelatihan yang saya sampaikan memberikan dampak hampir di atas 90% kepada peserta.  
Insya Allah apa yang share dalam tulisan ini menjadi inspirasi, motivasi diri untuk menjadi semakin baik. Inilah cara saya memberdayakan diri saya untuk meningkat iman dan kerja saya. Orang bilang ini motivasi islam. 

sahabatmu
Munir Hasan Basri

Featured post

Udah bisa bangun paginya

Alhamdulillahirabbilalamin masih diberi kesempatan hari ini, dibangunkan dan diberi pikiran fresh untuk memperbaiki keadaan sendiri. Hari se...