Salam sejahtera dan bahagia selalu, Insya Allah ... Ya Jabbar yang Maha Mencukupi hambaNya, yang selalu siap memberi yang terbaik buat hambaNya yang dalam kesulitan. Aamiin
Hari ini saya berbagi tentang orang tua dan anak. Bersyukurlah memiliki anak yang tidak sekedar berdoa kepada orang tuanya tapi juga berbakti dan merawat orang tua meninggal dunia. Ada beberapa fakta dari keluarga yang tidak mampu, dimana anak pun tidak memiliki ekonomi yang memadai. Kebanyakan anaknya masih memiliki kesolehan untuk berbakti kepada orang tuanya. Ada anak yang sudah berkecukupan tapi tak mampu memberikan baktinya kepada orang tuanya, bisa karena merasa apa yang didapat adalah usaha sendiri dan juga sangat dipengaruhi oleh pasangan yang sangat dominan. Kejadian yang kita lihat dalam masyarakat adalah realita dan berharap kita mendapatkan keluarga yang berbahagia. Untuk itu tulisan ini saya hadirkan untuk mengingatkan orang tua dan anak sesuai posisinya untuk berbakti sebagai bagian dari perintah Allah. BUkankah perintah Allah itu mesti dijalani bukan untuk meniadakan perintah karena alasan tertentu.
Myra: "Aku tuh kadang bingung, kenapa orang tua selalu merasa berhak atas hidup kita? Padahal kita udah dewasa, punya jalan sendiri."
Mamat: "Iya, aku juga ngerasa gitu. Kadang mereka minta kita nurut, padahal kita punya pilihan. Aku nggak bilang nggak sayang, tapi... ya, aku nggak selalu bisa berbakti seperti yang mereka harapkan."
Bujang: (diam sejenak, lalu bicara pelan). "Aku dulu juga mikir gitu. Tapi waktu ayahku sakit dan aku nggak sempat datang... aku nyesel banget. Sekarang aku sadar, berbakti itu bukan soal patuh buta. Tapi soal hadir, soal menghormati, soal ngerti bahwa mereka pernah berkorban banyak buat kita."
Myra: "Tapi kadang mereka nggak ngerti kita, Bang. Mereka maksa kita ikut cara mereka."
Bujang: "Iya, mereka nggak sempurna. Tapi mereka tetap orang tua kita. Allah nggak minta kita setuju semua hal, tapi Allah minta kita tetap berbuat baik. Bahkan kalau mereka keras, kita tetap harus lembut."
Mamat: (menunduk). "Aku jarang telepon ibu sekarang. Sibuk kerja. Tapi tiap malam aku kepikiran... apa aku udah cukup berbakti?"
Bujang: "Berbakti itu bukan soal besar-kecil. Kadang satu panggilan, satu doa, satu pelukan... itu cukup buat mereka bahagia."
Myra: (meneteskan air mata). "Mungkin aku terlalu sibuk membuktikan diri, sampai lupa siapa yang dulu percaya sama aku pertama kali."
Semakin maju kehidupan ini, semakin kritis dan sering mengusik logika. Ada benernya dengan logika. Apa iya kita hidup hanya sekedar pakai logika, BUkankah kita hidup dengan pemberian Allah yang memiliki petunjuk untuk keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Saya hadirkan pula kisah berikut untuk diambil hikmahnya.
"Sebelum Terlambat: Kisah Mamat, Myra, dan Bujang"
Mamat sibuk membangun karier. Ia jarang pulang, bahkan lupa menghubungi ibunya yang tinggal sendiri di kampung. Myra, yang sukses sebagai pengusaha, merasa cukup dengan mengirim uang setiap bulan, tanpa pernah benar-benar hadir. Bujang, si pemikir, merasa bahwa orang tuanya tidak memahami jalan hidupnya, sehingga ia menjauh secara emosional.
Suatu hari, Mamat menerima kabar bahwa ibunya jatuh sakit. Ia pulang, tapi hanya sempat melihat ibunya dalam keadaan tak sadar. Beberapa jam kemudian, ibunya wafat. Di pemakaman, Mamat menangis bukan hanya karena kehilangan, tapi karena penyesalan yang dalam.
“Aku sibuk mengejar dunia, tapi lupa bahwa surga ada di telapak kaki ibu,” ucapnya lirih.
Myra pun mulai merenung. Ia melihat ayahnya duduk sendiri di teras rumah, menatap kosong. Uang yang ia kirim ternyata tidak bisa menggantikan kehadiran. Ia menangis di pangkuan ayahnya, memohon maaf atas jarak yang ia ciptakan.
Bujang, yang selama ini merasa benar, akhirnya membaca surat lama dari ayahnya. Surat itu penuh doa dan harapan. Ia sujud lama malam itu, menangis dalam doa, dan berjanji untuk memperbaiki semuanya.
“Berbakti bukan soal setuju, tapi soal menghormati,” kata Bujang dalam renungannya.
Sejak hari itu, mereka bertiga berubah. Mamat mulai rutin mengunjungi keluarga. Myra membagi waktunya untuk ayahnya. Bujang menulis buku tentang bakti kepada orang tua.
Pertama Kali Menyebut Nama Kita adalah Orang tua kita.
Sebelum dunia mengenal kita, sebagai anak, orang tua sudah menyebut nama anaknya dalam doa. Orang tua menanti kelahiran anaknya dengan harap dan cemas. Orang tua menyambut tangisan pertama anaknya dengan senyum dan air mata. Orang tua yang pertama kali menggendong, menyuapi, dan menenangkan saat sakit. Orang tua sudah menyiapkan nama terbaik yang juga sekaligus menjadi doa bagi kehidupan di dunia dan di akhirat.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya…” (QS. Al-Ankabut: 8)
Ayat ini bukan sekadar perintah, tapi pengingat bahwa kebaikan kepada orang tua adalah bagian dari iman. Ia bukan pilihan, tapi kewajiban yang melekat pada setiap anak.
Saat anak sibuk membangun masa depan, orang tua perlahan menua dan meninggalkan apa yang dimilikinya. Rambutnya memutih, langkahnya melambat, dan suaranya pun melemah. Tapi cinta orang tua tetap kuat kepada anaknya. Orang tua tak pernah berhenti mendoakan anaknya, bahkan saat anaknya suka lupa mendoakan mereka.
Sebagai anak, mempunyai tanggung jawab yang tak bisa ditunda: berbakti, menjaga, dan mendoakan. Bukan hanya saat orang tua sakit atau tua, tapi setiap hari. Bahkan jika seorang anak tinggal berjauhan, suara, pesan, dan doa orang tua bisa menjadi pelipur lara.
Berbakti bukan hanya memberi uang, tapi memberi waktu. Bukan hanya membelikan barang, tapi mendengarkan cerita orang tua. Bukan hanya mengunjungi saat lebaran, tapi hadir dalam keseharian orang tua.
Mungkin engkau sibuk nak. Mungkin engkau punya banyak urusan untuk kehidupanmu. Janganlah sampai kesibukanmu membuat engkau lupa bahwa orang tua kita tidak akan selamanya ada. Waktu mereka terbatas. Dan penyesalan selalu datang terlambat. Terkadang engkau merasa diamnya orang tua itu menandakan tidak ada masalah sehingga engkau tak memperhatikannya.
Bayangkan jika suatu hari engkau menerima kabar bahwa salah satu dari orang tuamu telah tiada. Apakah engkau sudah cukup hadir ? Sudah cukup berbakti ? Sudah cukup meminta maaf?
- Belajarlah untuk tahu cara membangkitkan rasa tanggung jawab kepada orang tuamu ? kembalikan kepada hati saat logika dan ilmu merasa bener.
- Mulailah dengan doa dalam setiap salat, Doakan orang tua setiap hari, bahkan jika orang tua masih sehat. Doa adalah bentuk cinta yang paling tulus, tidak ada yang hilang atau berkurang darimu. Sampaikan doa untuk orang tua dengan tulus.
- Luangkan waktu. Telepon, kunjungi, atau kirim pesan. Jangan tunggu momen besar. Hadir dalam keseharian mereka lebih berarti. Dan jangan berharap menunggu telepon dari orang tua kepada anaknya.
- Dengarkan orang tua. Orang tua memiliki telah memulai dan memiliki pengalaman dalam hidupnya, dan berharap anaknya menjadi lebih baik. Kadang orang tua hanya ingin didengar. Cerita masa lalu, keluhan kecil, atau harapan sederhana. Kalaupun orang tua tidak bicara, mesti anaknya lah yang bisa mengajak dan mengerti kebiasaan orang tuanya.
- Jangan membantah. Jika berbeda pendapat, sampaikan dengan lembut. Jangan menyakiti hati mereka dengan kata-kata kasar.
- Berikan yang terbaik kepada orang tua dari apa yang anak miliki. Jika mampu, berikan kenyamanan. Tapi jangan lupa, perhatian lebih berharga daripada materi.
- Minta maaf. Jika pernah menyakiti, jangan tunggu waktu. Minta maaf dengan tulus, dan perbaiki sikap.
Orang tua bukan beban. Orang tua adalah berkah. Orang tua adalah jalan anak menuju surga. Jangan tunggu kehilangan untuk menyadari betapa berharganya orang tua. Kalau orang tua adalah jalan, maka "Jalani" dengan berbakti kepada orang tua sebagai pelengkap bagi kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat
Bangkitkan rasa tanggung jawab kepada orang tua. Hadirlah untuk orang tua, sebelum waktu memisahkan. Karena berbakti bukan hanya kewajiban, tapi kehormatan.
Terkadang ada dalam pikiran orang tua, apa iya harus menyuruh anaknya untuk berbakti dan diperhatikan ?
Secara syariat Islam, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban anak, bukan sekadar pilihan. Allah SWT dan Rasulullah ﷺ menegaskan hal ini dalam banyak ayat dan hadis. Maka, secara prinsip, orang tua berhak mengharapkan dan bahkan menuntut anak untuk berbakti, selama tuntutan itu berada dalam batas yang wajar dan tidak melanggar syariat.
Perlu diingatkan juga orang tua mesti memaklumi keadaan anak.
- Tuntutan orang tua harus proporsional.
- Tidak boleh menuntut anak untuk melakukan hal yang bertentangan dengan agama atau merugikan anak secara tidak adil.
- Anak tetap punya hak dan batas kemampuan.
- Berbakti bukan berarti menghilangkan hak anak untuk hidup mandiri, berkeluarga, atau memilih jalan hidupnya.
- Berbakti tidak selalu berarti patuh mutlak.
- Jika orang tua meminta sesuatu yang bertentangan dengan syariat, anak wajib menolak dengan cara yang lembut dan penuh hormat.
Ya, orang tua berhak menuntut anak untuk berbakti, karena itu adalah bagian dari kewajiban anak dalam Islam. Namun, tuntutan itu harus disampaikan dengan kasih sayang, dan anak pun harus menjawabnya dengan tanggung jawab dan kelembutan.
Berikut adalah artikel reflektif yang membahas tentang hak orang tua untuk menuntut bakti dari anak, ditulis dengan nada lembut dan penuh renungan agar menyentuh hati pembaca:
Ketika Orang Tua Menuntut Bakti: Sebuah Renungan untuk Anak
Sebagai anak, kita tahu bahwa berbakti kepada orang tua adalah kewajiban. Tapi bagaimana jika orang tua mulai menuntut? Apakah mereka berhak? Apakah tuntutan itu adil?
Pertanyaan ini bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk direnungkan.
Dalam Islam, berbakti kepada orang tua bukan sekadar anjuran, tapi perintah langsung dari Allah. Dalam QS. Al-Isra: 23-24, Allah memerintahkan kita untuk tidak berkata “ah” sekalipun kepada mereka, dan untuk merendahkan diri dengan kasih sayang. Rasulullah ﷺ pun bersabda bahwa keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua.
Maka, ketika orang tua menuntut perhatian, waktu, atau bahkan sekadar sapaan, itu bukan tuntutan yang berlebihan. Itu adalah hak mereka. Hak yang lahir dari cinta, bukan dari ego.
Namun, orang tua pun manusia. Kadang orang tua menuntut dengan cara yang tak selalu mudah diterima. Di sinilah anak diuji: apakah anak bisa tetap lembut, tetap sabar, dan tetap berbakti meski hati anak diuji?
Berbakti bukan berarti patuh mutlak. Jika ada hal yang bertentangan dengan syariat, anak boleh menolak—tapi dengan cara yang santun. Karena berbakti bukan soal setuju, tapi soal menghormati.
Renungan ini bukan untuk menyalahkan anak, tapi untuk mengingatkan: bahwa waktu orang tua kita terbatas. Bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Dan bahwa surga bisa terbuka lebar hanya karena kita memilih untuk hadir, mendengar, dan mencintai mereka dengan tulus.
Insya Allah tulisan ini bisa memotivasi diri seseorang baik sebagai anak atau orang tua untuk memahami tanggung jawabnya tanpa perlu menunggu. Berinisiatiflah dari diri sendiri untuk bertanggung jawab sebagai perintah Allah. Inilah motivasi Islam yang dibangun dengan petunjuk dari Al Qur'an untuk diamalkan, "Kami dengar dan kami taat".
Munir Hasan Basri