Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Rabu, Agustus 06, 2025

Berbaktilah kepada orang tua

Salam sejahtera dan bahagia selalu, Insya Allah ... Ya Jabbar yang Maha Mencukupi hambaNya, yang selalu siap memberi yang terbaik buat hambaNya yang dalam kesulitan. Aamiin


Hari ini saya berbagi tentang orang tua dan anak. Bersyukurlah memiliki anak yang tidak sekedar berdoa kepada orang tuanya tapi juga berbakti dan merawat orang tua meninggal dunia. Ada beberapa fakta dari  keluarga yang tidak mampu, dimana anak pun tidak memiliki ekonomi yang memadai. Kebanyakan anaknya masih memiliki kesolehan untuk berbakti kepada orang tuanya. Ada anak yang sudah berkecukupan tapi tak mampu memberikan baktinya kepada orang tuanya, bisa karena merasa apa yang didapat adalah usaha sendiri dan juga sangat dipengaruhi oleh pasangan yang sangat dominan. Kejadian yang kita lihat dalam masyarakat adalah realita dan berharap kita mendapatkan keluarga yang berbahagia. Untuk itu tulisan ini saya hadirkan untuk mengingatkan orang tua dan anak sesuai posisinya untuk berbakti sebagai bagian dari perintah Allah. BUkankah perintah Allah itu mesti dijalani bukan untuk meniadakan perintah karena alasan tertentu.

Saya mulai dengan "Obrolan di Warung Kopi Sore Hari"

Myra: "Aku tuh kadang bingung, kenapa orang tua selalu merasa berhak atas hidup kita? Padahal kita udah dewasa, punya jalan sendiri."
Mamat: "Iya, aku juga ngerasa gitu. Kadang mereka minta kita nurut, padahal kita punya pilihan. Aku nggak bilang nggak sayang, tapi... ya, aku nggak selalu bisa berbakti seperti yang mereka harapkan."
Bujang: (diam sejenak, lalu bicara pelan). "Aku dulu juga mikir gitu. Tapi waktu ayahku sakit dan aku nggak sempat datang... aku nyesel banget. Sekarang aku sadar, berbakti itu bukan soal patuh buta. Tapi soal hadir, soal menghormati, soal ngerti bahwa mereka pernah berkorban banyak buat kita."
Myra: "Tapi kadang mereka nggak ngerti kita, Bang. Mereka maksa kita ikut cara mereka."
Bujang: "Iya, mereka nggak sempurna. Tapi mereka tetap orang tua kita. Allah nggak minta kita setuju semua hal, tapi Allah minta kita tetap berbuat baik. Bahkan kalau mereka keras, kita tetap harus lembut."
Mamat: (menunduk). "Aku jarang telepon ibu sekarang. Sibuk kerja. Tapi tiap malam aku kepikiran... apa aku udah cukup berbakti?"
Bujang: "Berbakti itu bukan soal besar-kecil. Kadang satu panggilan, satu doa, satu pelukan... itu cukup buat mereka bahagia."
Myra: (meneteskan air mata). "Mungkin aku terlalu sibuk membuktikan diri, sampai lupa siapa yang dulu percaya sama aku pertama kali."

Semakin maju kehidupan ini, semakin kritis dan sering mengusik logika. Ada benernya dengan logika. Apa iya kita hidup hanya sekedar pakai logika, BUkankah kita hidup dengan pemberian Allah yang memiliki petunjuk untuk keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Saya hadirkan pula kisah berikut untuk diambil hikmahnya.

"Sebelum Terlambat: Kisah Mamat, Myra, dan Bujang"

Mamat, Myra, dan Bujang adalah tiga sahabat yang tumbuh bersama sejak kecil. Mereka dikenal sebagai anak-anak yang cerdas dan mandiri. Namun, di balik kesuksesan mereka, ada satu hal yang mereka abaikan: orang tua mereka.
Mamat sibuk membangun karier. Ia jarang pulang, bahkan lupa menghubungi ibunya yang tinggal sendiri di kampung. Myra, yang sukses sebagai pengusaha, merasa cukup dengan mengirim uang setiap bulan, tanpa pernah benar-benar hadir. Bujang, si pemikir, merasa bahwa orang tuanya tidak memahami jalan hidupnya, sehingga ia menjauh secara emosional.
Suatu hari, Mamat menerima kabar bahwa ibunya jatuh sakit. Ia pulang, tapi hanya sempat melihat ibunya dalam keadaan tak sadar. Beberapa jam kemudian, ibunya wafat. Di pemakaman, Mamat menangis bukan hanya karena kehilangan, tapi karena penyesalan yang dalam.
“Aku sibuk mengejar dunia, tapi lupa bahwa surga ada di telapak kaki ibu,” ucapnya lirih.
Myra pun mulai merenung. Ia melihat ayahnya duduk sendiri di teras rumah, menatap kosong. Uang yang ia kirim ternyata tidak bisa menggantikan kehadiran. Ia menangis di pangkuan ayahnya, memohon maaf atas jarak yang ia ciptakan.
Bujang, yang selama ini merasa benar, akhirnya membaca surat lama dari ayahnya. Surat itu penuh doa dan harapan. Ia sujud lama malam itu, menangis dalam doa, dan berjanji untuk memperbaiki semuanya.
“Berbakti bukan soal setuju, tapi soal menghormati,” kata Bujang dalam renungannya.
Sejak hari itu, mereka bertiga berubah. Mamat mulai rutin mengunjungi keluarga. Myra membagi waktunya untuk ayahnya. Bujang menulis buku tentang bakti kepada orang tua.



Karena mereka (anak-anak) sadar, penyesalan terbesar bukan saat kehilangan, tapi saat menyadari bahwa anak belum cukup hadir. Namanya orang tua itu tidak menghabiskan harta anaknya, makannya atau apalah yang menjadi aktivitas mereka jarang direspon sama anaknya. Bisa jadi anak menganggap dengan diberikan uang sudah cukup. Orang tua hanya diam dan tak banyak menuntut. Keadaan ini mestinya digali dan dipahami oleh anak. Bukankah keberkahan yang besar bagi anak yang menghargai orang tuanya, memenuhi kebutuhan orang tua dan merawat dengan hati kedua orang tuanya. Baliklah keadaannya anak yang dilahirkan dimana orang tualah yang mengasihi sampai menikah. Bujang, Mamat dan Myra menyadari hal itu semua karena hati mereka sudah terbuka, mendapatkan cahaya (nur) dari sisi Allah.  Segala Puji hanya bagi Allah.

Berikut ini saya berbagi renungan, Posisi Orang Tua bagi Seorang Anak: 

Di tengah kesibukan hidup dan derasnya arus zaman, sering kali kita lupa bahwa di balik setiap langkah kita, ada dua sosok yang tak pernah berhenti mendoakan: ayah dan ibu. Bisa jadi kesuksesan seorang anak sampai saat ini karena doa yang Allah kabulkan dari orang tua mereka. Mereka mungkin tak lagi muda, tak lagi kuat, tapi cinta mereka tak pernah pudar. Tulisan ini bukan untuk menggurui, melainkan untuk mengajak sebagai anak merenung: Sudahkah anak-anak benar-benar hadir untuk orang tua kita? 

Pertama Kali Menyebut Nama Kita adalah Orang tua kita.

Sebelum dunia mengenal kita, sebagai anak, orang tua sudah menyebut nama anaknya dalam doa. Orang tua menanti kelahiran anaknya dengan harap dan cemas. Orang tua menyambut tangisan pertama anaknya dengan senyum dan air mata. Orang tua yang pertama kali menggendong, menyuapi, dan menenangkan saat sakit. Orang tua sudah menyiapkan nama terbaik yang juga sekaligus menjadi doa bagi kehidupan di dunia dan di akhirat.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya…” (QS. Al-Ankabut: 8)

Ayat ini bukan sekadar perintah, tapi pengingat bahwa kebaikan kepada orang tua adalah bagian dari iman. Ia bukan pilihan, tapi kewajiban yang melekat pada setiap anak.

Ketika anak bertumbuh, Orang tua menua.
Saat anak sibuk membangun masa depan, orang tua perlahan menua dan meninggalkan apa yang dimilikinya. Rambutnya memutih, langkahnya melambat, dan suaranya pun melemah. Tapi cinta orang tua tetap kuat kepada anaknya. Orang tua tak pernah berhenti mendoakan anaknya, bahkan saat anaknya suka lupa mendoakan mereka.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua.”
(HR. Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan betapa besar posisi orang tua dalam hidup anak-anaknya. Keridhaan mereka adalah jalan menuju keridhaan Allah. Maka, 

bagaimana mungkin anak mengabaikan orang tua mereka?

Tanggung Jawab yang Tak Bisa Ditunda untuk berbakti kepada orang tua.
Sebagai anak, mempunyai tanggung jawab yang tak bisa ditunda: berbakti, menjaga, dan mendoakan. Bukan hanya saat orang tua sakit atau tua, tapi setiap hari. Bahkan jika seorang anak tinggal berjauhan, suara, pesan, dan doa orang tua  bisa menjadi pelipur lara.
Berbakti bukan hanya memberi uang, tapi memberi waktu. Bukan hanya membelikan barang, tapi mendengarkan cerita orang tua. Bukan hanya mengunjungi saat lebaran, tapi hadir dalam keseharian orang tua.

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku di waktu kecil.’”
(QS. Al-Isra: 24)

Ayat ini mengajarkan kita untuk merendahkan hati di hadapan orang tua. Bukan karena anak lemah, tapi karena mereka telah begitu kuat menjaga anaknya dulu.

Renungkan nak,
Mungkin engkau sibuk nak. Mungkin engkau punya banyak urusan untuk kehidupanmu. Janganlah sampai kesibukanmu membuat engkau lupa bahwa orang tua kita tidak akan selamanya ada. Waktu mereka terbatas. Dan penyesalan selalu datang terlambat. Terkadang engkau merasa diamnya orang tua itu menandakan tidak ada masalah sehingga engkau tak memperhatikannya. 
Bayangkan jika suatu hari engkau menerima kabar bahwa salah satu dari orang tuamu telah tiada. Apakah engkau sudah cukup hadir ? Sudah cukup berbakti ? Sudah cukup meminta maaf?
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Celaka! Celaka! Celaka!”
Lalu ditanyakan: “Siapa yang celaka, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya dalam keadaan tua, namun tidak membuatnya masuk surga.”
(HR. Muslim)

Hadis ini bukan ancaman, tapi peringatan. Bahwa kesempatan berbakti adalah pintu surga yang terbuka lebar. Jangan sampai kita melewatkannya.

Bangkitkanlah Rasa Tanggung Jawab Itu nak. 
  1. Belajarlah untuk tahu cara membangkitkan rasa tanggung jawab kepada orang tuamu ? kembalikan kepada hati saat logika dan ilmu merasa bener.
  2. Mulailah dengan doa dalam setiap salat, Doakan orang tua setiap hari, bahkan jika orang tua masih sehat. Doa adalah bentuk cinta yang paling tulus, tidak ada yang hilang atau berkurang darimu. Sampaikan doa untuk orang tua dengan tulus. 
  3. Luangkan waktu. Telepon, kunjungi, atau kirim pesan. Jangan tunggu momen besar. Hadir dalam keseharian mereka lebih berarti. Dan jangan berharap menunggu telepon dari orang tua kepada anaknya. 
  4. Dengarkan orang tua. Orang tua memiliki telah memulai dan memiliki pengalaman dalam hidupnya, dan berharap anaknya menjadi lebih baik. Kadang orang tua hanya ingin didengar. Cerita masa lalu, keluhan kecil, atau harapan sederhana. Kalaupun orang tua tidak bicara, mesti anaknya lah yang bisa mengajak dan mengerti kebiasaan orang tuanya.
  5. Jangan membantah. Jika berbeda pendapat, sampaikan dengan lembut. Jangan menyakiti hati mereka dengan kata-kata kasar.
  6. Berikan yang terbaik kepada orang tua dari apa yang anak miliki. Jika mampu, berikan kenyamanan. Tapi jangan lupa, perhatian lebih berharga daripada materi.
  7. Minta maaf. Jika pernah menyakiti, jangan tunggu waktu. Minta maaf dengan tulus, dan perbaiki sikap.

Orang tua Adalah Jalan anak ke Surga
Orang tua bukan beban. Orang tua adalah berkah. Orang tua adalah jalan anak menuju surga. Jangan tunggu kehilangan untuk menyadari betapa berharganya orang tua. Kalau orang tua adalah jalan, maka "Jalani" dengan berbakti kepada orang tua sebagai pelengkap bagi kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat

Tulisan ini bukan untuk menggurui, tapi untuk mengajak kita merenung. Bahwa di balik setiap keberhasilan anak, ada doa orang tua yang tak terdengar. Bahwa di balik setiap langkah kita, ada kaki orang tua yang dulu lelah berjalan demi anaknya.
Bangkitkan rasa tanggung jawab kepada orang tua. Hadirlah untuk orang tua, sebelum waktu memisahkan. Karena berbakti bukan hanya kewajiban, tapi kehormatan.


Terkadang ada dalam pikiran orang tua, apa iya harus menyuruh anaknya untuk berbakti dan diperhatikan ?

Secara syariat Islam, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban anak, bukan sekadar pilihan. Allah SWT dan Rasulullah ﷺ menegaskan hal ini dalam banyak ayat dan hadis. Maka, secara prinsip, orang tua berhak mengharapkan dan bahkan menuntut anak untuk berbakti, selama tuntutan itu berada dalam batas yang wajar dan tidak melanggar syariat.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya…”
(QS. Al-Ankabut: 8)

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang…”
(QS. Al-Isra: 24)


Hadis Rasulullah ﷺ:
“Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua.”
(HR. Tirmidzi)

Perlu diingatkan juga orang tua mesti memaklumi keadaan anak.

  1. Tuntutan orang tua harus proporsional.
  2. Tidak boleh menuntut anak untuk melakukan hal yang bertentangan dengan agama atau merugikan anak secara tidak adil.
  3. Anak tetap punya hak dan batas kemampuan.
  4. Berbakti bukan berarti menghilangkan hak anak untuk hidup mandiri, berkeluarga, atau memilih jalan hidupnya.
  5. Berbakti tidak selalu berarti patuh mutlak.
  6. Jika orang tua meminta sesuatu yang bertentangan dengan syariat, anak wajib menolak dengan cara yang lembut dan penuh hormat.

Ya, orang tua berhak menuntut anak untuk berbakti, karena itu adalah bagian dari kewajiban anak dalam Islam. Namun, tuntutan itu harus disampaikan dengan kasih sayang, dan anak pun harus menjawabnya dengan tanggung jawab dan kelembutan.

Berikut adalah artikel reflektif yang membahas tentang hak orang tua untuk menuntut bakti dari anak, ditulis dengan nada lembut dan penuh renungan agar menyentuh hati pembaca:

Ketika Orang Tua Menuntut Bakti: Sebuah Renungan untuk Anak

Di dunia yang terus bergerak cepat, kita sering lupa bahwa ada dua sosok yang pernah berhenti sejenak hanya untuk memastikan kita bisa melangkah: ayah dan ibu. Mereka bukan hanya bagian dari masa kecil kita, tapi juga bagian dari masa depan kita—karena doa mereka menyertai setiap langkah yang kita ambil.
Sebagai anak, kita tahu bahwa berbakti kepada orang tua adalah kewajiban. Tapi bagaimana jika orang tua mulai menuntut? Apakah mereka berhak? Apakah tuntutan itu adil?
Pertanyaan ini bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk direnungkan.

Dalam Islam, berbakti kepada orang tua bukan sekadar anjuran, tapi perintah langsung dari Allah. Dalam QS. Al-Isra: 23-24, Allah memerintahkan kita untuk tidak berkata “ah” sekalipun kepada mereka, dan untuk merendahkan diri dengan kasih sayang. Rasulullah ﷺ pun bersabda bahwa keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua.

Maka, ketika orang tua menuntut perhatian, waktu, atau bahkan sekadar sapaan, itu bukan tuntutan yang berlebihan. Itu adalah hak mereka. Hak yang lahir dari cinta, bukan dari ego.

Namun, orang tua pun manusia. Kadang orang tua menuntut dengan cara yang tak selalu mudah diterima. Di sinilah anak diuji: apakah anak bisa tetap lembut, tetap sabar, dan tetap berbakti meski hati anak diuji?

Berbakti bukan berarti patuh mutlak. Jika ada hal yang bertentangan dengan syariat, anak boleh menolak—tapi dengan cara yang santun. Karena berbakti bukan soal setuju, tapi soal menghormati.

Renungan ini bukan untuk menyalahkan anak, tapi untuk mengingatkan: bahwa waktu orang tua kita terbatas. Bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Dan bahwa surga bisa terbuka lebar hanya karena kita memilih untuk hadir, mendengar, dan mencintai mereka dengan tulus.

Insya Allah tulisan ini bisa memotivasi diri seseorang baik sebagai anak atau orang tua untuk memahami tanggung jawabnya tanpa perlu menunggu. Berinisiatiflah dari diri sendiri untuk bertanggung jawab sebagai perintah Allah. Inilah motivasi Islam yang dibangun dengan petunjuk dari Al Qur'an untuk diamalkan, "Kami dengar dan kami taat".

Sahabatmu
Munir Hasan Basri


Selasa, Agustus 05, 2025

Ikhlas itu bukan tidak berharap, Tapi menyerahkan harapan kepada Allah

Salam sejahtera dan bahagia selalu, Insya Allah apa yang kita kerjakan menjadi amal yang tercatat di sisi Allah, dan Allah mengampuni kesalahan kita sampai hari ini. Aamiin

Hari ini saya ingin berbagi kisah tiga sahabat yang bekerja sebagai karyawan yang mencari rezekiNya. Dalam perjalanan karir mereka tidaklah mudah. Masalah demi masalah hadir, dan mereka tidak diam saja. Mereka bekerja dengan giat dan belajar ilmu serta tidak lupa mereka beribadah dan berdoa. Tapi masalahpun tidak bisa mereka lewatin. Di saat mereka terpuruk, disitulah cahaya kebenaran menyinari hati Bujang dan menemukan solusi pekerjaan dan hidup mereka. Apa itu ? Ikuti tulisan berikut ini ; 


Ikhlas di Tengah Kegagalan: Kisah Maya, Mamat, dan Bujang

Ketika Harapan Tak Sesuai Kenyataan
Dalam hidup, kita sering diajarkan bahwa kerja keras dan doa adalah kunci kesuksesan. Namun, bagaimana jika keduanya sudah dilakukan, tapi hasilnya tetap nihil? Inilah kisah tiga sahabat—Maya, Mamat, dan Bujang—yang mengalami jatuh bangun dalam perjuangan hidup mereka. Mereka telah melakukan banyak hal, namun kegagalan terus menghampiri mereka. Sampai akhirnya, sebuah bisikan hati mengubah segalanya.
Tiga Sahabat dan Mimpi Besar
Maya adalah seorang perempuan cerdas dan penuh perhitungan. Ia selalu menyusun rencana dengan teliti, berharap setiap langkahnya membawa hasil. Mamat, sahabatnya, adalah tipe pekerja keras yang tak kenal lelah. Ia percaya bahwa kerja keras pasti membuahkan hasil. Sementara Bujang, si pemikir, lebih banyak diam dan merenung, namun selalu punya ide-ide segar yang kadang tak terpikirkan oleh orang lain.
Ketiganya memiliki mimpi besar: membangun usaha bersama yang bisa mengangkat kehidupan mereka dan keluarga. Mereka memulai dari nol, mengumpulkan modal kecil, menyusun strategi, dan mulai menjalankan usaha. Namun, kenyataan tak seindah harapan.
Kegagalan yang Berulang
Usaha pertama mereka gagal karena salah memilih mitra. Usaha kedua kandas karena pandemi. Usaha ketiga pun tak berjalan karena kurangnya pemasaran. Setiap kali mereka bangkit, kegagalan kembali menjatuhkan. Maya mulai kehilangan semangat, Mamat mulai mempertanyakan takdir, dan Bujang mulai diam lebih lama dari biasanya.

“Kenapa ya, kita udah berusaha maksimal, tapi tetap gagal?” keluh Mamat suatu malam.

Mereka tak hanya bekerja, tapi juga sudah berdoa. Maya menangis dalam tahajudnya, Mamat berdoa di sela waktu kerja, dan Bujang merenung di malam sunyi. Tapi doa-doa itu terasa hampa. Seolah langit menutup telinganya.


Doa yang Tak Terjawab
Hari demi hari berlalu. Mereka tetap berusaha, tetap berdoa, namun hasilnya tetap sama. Kegagalan demi kegagalan membuat mereka terpuruk. Maya mulai merasa bahwa Tuhan tidak mendengarnya. Mamat mulai merasa bahwa doa hanyalah formalitas. Dan Bujang, meski diam, mulai merasakan kehampaan dalam hatinya.
Mungkin kita belum cukup ikhlas,” gumam Bujang suatu malam.

Kalimat itu sederhana, tapi menghentak. Maya dan Mamat menoleh. Mereka belum pernah benar-benar memikirkan makna ikhlas dalam perjuangan mereka.


Bisikan Hati Bujang
Di tengah keputusasaan, Bujang merasakan ada bisikan hati yang lembut namun tegas: 

“Lakukan semua ini dengan ikhlas, termasuk doamu.

Bujang mulai mengubah cara pandangnya. Bukan lagi soal hasil, tapi tentang niat. Bujang mengajak Maya dan Mamat untuk melakukan segalanya karena Allah, bukan karena ingin sukses semata.
Mereka mulai belajar tentang ikhlas. Bahwa ikhlas bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi menerima hasil apapun dengan lapang dada. Bahwa ikhlas bukan menyerah, tapi tetap melangkah meski jalan tak terlihat dengan mempertunjukkan kerja yang terbaik di mata Allah.
Mereka mulai mengubah cara pandang. Maya mulai menulis jurnal syukur setiap pagi. Mamat mulai bekerja tanpa mengeluh, bahkan ketika hasilnya belum terlihat. Bujang mulai memperdalam doa-doanya, bukan hanya meminta, tapi juga memuji dan berserah.
Doa mereka pun berubah. Tak lagi penuh tuntutan, tapi penuh pengakuan. Salah satu doa yang sering mereka baca adalah:
“Allahumma inni as’aluka bi anni asyhadu annaka Antallah, laa ilaaha illa anta, al-Ahad, ash-Shamad, alladzi lam yalid wa lam yuwlad, wa lam yakun lahu kufuwan ahad.”
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”

Obrolan di Malam Sunyi
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Di teras rumah kontrakan yang sederhana, ketiganya duduk bersisian. Tak ada suara selain angin yang menyapu pelan. Mereka baru saja mengalami kegagalan keempat dalam usaha mereka. Kali ini, bukan hanya uang yang hilang, tapi juga harapan.
Maya memeluk lututnya, menatap kosong ke depan. Mamat bersandar di dinding, matanya merah karena lelah dan kecewa. Bujang, seperti biasa, diam. Tapi malam itu, ia bicara.
Bujang: “Aku tadi malam menangis dalam sujud. Bukan karena gagal. Tapi karena aku merasa... selama ini aku berdoa, tapi tidak benar-benar bertemu dengan Allah.”
Maya menoleh, pelan. Mamat membuka matanya.
Maya: “Apa maksudmu, Bang?”
Bujang: “Kita berdoa karena ingin sesuatu. Kita minta rezeki, minta jalan keluar. Tapi kita lupa... bahwa doa itu bukan hanya permintaan. Doa itu pertemuan. Kita bicara dengan Dia. Tapi kita sibuk dengan dunia.”
Mamat: “Aku... aku bahkan sering berdoa sambil mikirin strategi bisnis. Aku nggak pernah benar-benar hadir.”
Maya:“Aku juga. Aku menangis, tapi hatiku penuh tuntutan. Aku merasa pantas dapat jawaban. Tapi aku lupa... bahwa Allah bukan tempat menagih. Dia tempat berserah.”
Mereka terdiam. Angin malam terasa lebih dingin. Tapi hati mereka mulai hangat.
Bujang: “Tadi malam, aku sujud lama. Aku nggak minta apa-apa. Aku cuma bilang, ‘Ya Allah, aku datang. Aku lelah. Tapi aku ingin dekat dengan-Mu.’ Dan aku menangis... bukan karena gagal, tapi karena merasa jauh.”
Mamat:
“Aku ingin merasakan itu. Aku ingin sujud bukan karena ingin sukses, tapi karena ingin pulang.”
Maya: “Mungkin... selama ini kita sibuk mencari jalan keluar, padahal Allah adalah tujuan.”

Malam itu, mereka bertiga salat tahajud bersama. Tak ada permintaan panjang. Hanya sujud yang lama. Hanya air mata yang jatuh pelan. Hanya hati yang akhirnya benar-benar hadir.
Dan di dalam sujud itu, mereka merasa... mereka telah bertemu dengan Allah yang sebenarnya.


Ikhlas yang Mengubah Segalanya
Perlahan, mereka mulai merasa ringan setelah mengamalkan keikhlasan dalam ibadah, doa dan kerja mereka. Kegagalan tak lagi menyakitkan seperti dulu. Mereka tetap berusaha, tetap berdoa, tapi kali ini dengan hati yang lapang. Mereka mulai menikmati proses, bukan hanya menunggu hasil. Belajar ilmu baru dan memahami petunjuk Allah dalam Al Qur'an untuk diterapkan dalam kerja mereka.
Maya mulai tersenyum kembali. Mamat mulai bekerja tanpa mengeluh. Bujang mulai menulis jurnal harian tentang rasa syukur. Semua mulai terbuka dan selalu bersikap dan melakukan segala hal dari sudut pandang Allah. Dan tanpa disangka, satu demi satu jalan mulai terbuka.

“Ternyata, ikhlas itu bukan menyerah. 

Tapi menerima dan tetap melangkah,” kata Maya sambil tersenyum. Usaha kecil mereka mulai mendapat perhatian. Seorang pelanggan merekomendasikan ke teman-temannya. Produk mereka mulai dikenal. Mereka tak tahu apakah ini awal kesuksesan, tapi mereka tahu satu hal: mereka sudah tenang dan merasakan kerja bersama Allah.

Refleksi dan Pelajaran
Kisah Maya, Mamat, dan Bujang bukan tentang sukses besar, tapi tentang perubahan hati. Mereka belajar bahwa hidup bukan hanya tentang hasil, tapi tentang proses yang dijalani dengan niat yang benar. Mereka belajar bahwa 

doa bukan sekadar permintaan, tapi komunikasi dengan Tuhan yang harus disertai keikhlasan.

Ikhlas bukan hal mudah. Ia menuntut kita untuk melepaskan ego, harapan dunia, dan menggantungkan hati hanya kepada-Nya. Tapi ketika ikhlas hadir, hati menjadi ringan, langkah menjadi tenang, dan hidup menjadi lebih bermakna.

Ikhlas Adalah Kunci
Kisah ini bisa dibilang sederhana, tapi penuh makna. Dalam hidup, kita terus diuji. Kadang dengan kegagalan, kadang dengan penantian. Tapi jika kita belajar ikhlas, maka setiap langkah akan terasa lebih ringan.
Maya, Mamat, dan Bujang telah membuktikannya. Mereka bukan tokoh besar, bukan orang terkenal. Tapi mereka adalah cermin dari kita semua, yang sedang berjuang, berdoa, dan belajar untuk ikhlas.
“Ikhlas itu bukan tentang tidak berharap. Tapi tentang menyerahkan harapan kepada Yang Maha Kuasa.”

Demikian kisah inspiratif ini untuk dijadikan pelajaran bagi kita yang berakal. Insya Allah ini adalah motivasi Islam dalam memotivasi kita, yang muslim. Motivasi diri yang mampu memberdayakan diri untuk menjadi muslim yang semakin baik imannya. Bisa jadi kita menemukan kisah ini dalam kehidupan di sekitar kita, tidak untuk kasihan atau kasih jempol tapi pesan yang disampaikan adalah ikhlas. Ada kalanya kita lalai dalam beribadah, doa dan kerja. Padahal Allah menerima amalan hambaNya yang ikhlas.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri




Senin, Agustus 04, 2025

Berdoa semakin lebih baik

Salam sejatera dan bahagia, Insya Allah menjadi orang yang muflihun. Aamiin

Hari ini saya berbagi tentang doa, yaitu berdoa yang semakin baik. Aturan ini memang dibuat manusia, tapi sudah berdasarkan Al Qur'an dan hadist. Tetapi aturan ini pun bukan mutlak, nomer satu ke nomer berikutnya. Paling tidak aturan yang dikandungnya dapat kita jalani dengan benar.

Langkah-langkah berdoa yang lebih baik :

Semua doa kita pasti didengar, dilihat dan diketahui oleh Allah. Karena Allah itu Maha Mendengar dan juga Maha merespon (mengabulkan doa) kita. Mengabulkan doa paling dapat melalui berbagai cara Allah, lewat kebaikan atau juga bisa dari ujian (keburukan - menurut kita).




1. Bisa jadi karena amalan (pahala) yang kita kumpulkan sudah mencukupi dengan apa yang kita doakan dan Allah berkenan, 

2. Bisa jadi juga karena kehendak Allah saja untuk mengujinya.

3. Allah sangat ingin kita selalu berdoa kepadaNya dan beribadah. Allah mendahulukan kebaikan akhiratnya dulu, seperti menghapus dosa kita dan menyimpannya untuk kebaikan kita di akhirat. Ini adalh ujian Allah untuk mengetes kita, apakah kita konsisten dalam ibadah dan doa ?

4. Doa itu dapat pula dilihat dari keikhlasan kita berdoanya, dengan memahami apa yang kita mohonkan doa itu adalah persoalan dimana kita tidak mampu lagi. Berdoalah dengan memahami apa yang disampaikan kepada Allah.

Semua orang pasti mengharapkan doanya dikabulkan. Namun, fakta berbicara, tidak sedikit orang yang doanya belum terkabulkan padahal sudah sering berdoa. Mengapa hal ini terjadi? Kita harus introspeksi diri, jangan-jangan doa belum terkabul dikarenakan banyak hal. Paling tidak kita bisa memperbaiki langkah kita berdoa :

1. Awali Doa dengan Asma'ul Husnä

"Allah memiliki Asma'ul Husna (nama-nama terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu...." (QS. Al-A'raf [7]: 180)

Asmaul Husna artinya nama-nama Allah yang baik, misalnya Ar-Rahmaan (Maha Pemurah). Al Hakim (Maha Bijaksana), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al Karim (Maha Dermawan), Al 'Alium (Maha Mengetahui).

Merujuk pada ayat ini, ketika kita berdoa, awali dengan Asmaul Husna yang kita hapal, misalnya Ya Rahmaan, Ya Rahiüm, setelah itu baru kita berdoa. Berapa kali kita mesti membaca Asmaul Husna pada awal doa? Tidak ada satu pun dalil sahih yang menjelaskan jumlahnya. Jadi, baca saja semampu dan sekehendak kita. Pokoknya bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi.


Sekiranya kita mengerti makna setiap Asmaul Husna, alangkah baiknya kalau Asmaul Husna yang dibaca itu ada korelasi (hubungan) dengan permintaan kita, misalnya kalau minta ilmu, awali dengan Ya 'Alim (Wahai Yang Mahatahu), Ya Hakiim (Wahai Yang Mahabijaksana). Kalau minta ampun, awali dengan Ya Ghafuur (Wahai Yang Maha Pengampun), Ya Rahum (Wahai Yang Maha Penyayang). Tapi, sekiranya makna Asmaul Husna itu tidak ada korelasinya, juga tidak masalah. Yang penting awali doa dengan Asmaul Husna.

2. Ucapkan Kalimah Tauhid

Setelah membaca Asmaul Husna, lalu kita ucapkan Kalimah Tauhid, yaitu pernyataan yang mengekspresikan keimanan kita kepada Allah Swt. Kita nyatakan bahwa Allah Swt. itu Mahatunggal, Maha Berkuasa, tak ada sekutu bagi-Nya, dll.

Adapun Kalimah Tauhid yang sebaiknya kita baca saat berdoa adalah sebagai berikut.

"Allahumma inni asaluka bi anni ashhadu annaka antalahu laa ilaaha illa anta alhadu shamadul ladzi lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad."

"Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, ya Allah, dengan bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Esa, dan kepada-Nya aku bergantung, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada yang setara dengan-Nya." (H.R. Muttafaq 'alaih)

3. Mengulangi doa

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila berdoa mengulangi kali, dan ketika beliau meminta, beliau pun mengulanginya tiga kali." (H.R. Muslim). Hadits shahih ini memberikan tuntunan bahwa kita harus mengulang-ulang doa.

4. Iringi salat dengan usaha

Salat dan usaha bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Keduanya saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan. Jika kita meminta ilmu, dampingi dengan belajar; meminta harta, dampingi dengan usaha; meminta kesuksesan karier, dampingi dengan kerja keras; meminta kesembuhan, lanjutkan dengan pengobatan, dan sebagainya. "...Bekerjalah, niscaya Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu..." (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

5. Manfaatkan waktu-waktu terbaik

Sebenarnya, kita bisa berdoa kapan pun dan di mana pun, tetapi dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa ada beberapa waktu yang sangat baik untuk diisi dengan doa, yaitu:

a. Sepertiga malam terakhir

Rasulullah (saw) bersabda, "Setiap malam, Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman, 'Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya.'" (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi). Yang dimaksud adalah sepertiga malam terakhir, sekitar pukul tiga pagi.

b. Tengah malam dan setelah salat wajib

Rasulullah (saw) pernah ditanya, "Ya Rasulullah, kapankah doa yang paling didengar Allah?" Rasulullah (saw) menjawab, "Salat tengah malam dan salat setelah salat wajib (swapb)." (HR. Tirmidzi)

Yang dimaksud tengah malam dalam riwayat ini adalah sekitar pukul satu pagi. Sedangkan yang dimaksud dengan akhir salat wajib adalah setelah salam. Setelah salat, kita berdzikir seperti biasa: membaca istighfar 3 kali, subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan Laa ilaha illallah 1 kali. Setelah membaca dzikir-dzikir ini, kita dianjurkan untuk membaca doa apa pun yang kita inginkan karena akhir salat wajib adalah salah satu waktu terbaik untuk berdoa.

c. Pada saat lapang

Kita biasanya berdoa dengan tekun ketika menghadapi kesulitan, terjebak, atau sedang tertekan. Jika dalam situasi sulit kita ingin doa kita segera terkabul karenanya, perbanyaklah berdoa ketika kita senggang, ketika kita tidak kesulitan, sebagaimana dijelaskan dalam uraian berikut, Rasulullah (saw) bersabda, "Barangsiapa yang ingin doanya dikabulkan Allah ketika ia sedang kesulitan, maka hendaklah ia memperbanyak doanya di waktu lapangnya." (H.R. Tirmidzi dan Hakim)

d. Saat sujud

Rasulullah (saw) bersabda, "Jarak terdekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud. Maka perbanyaklah doamu ketika engkau sedang sujud." (H.R. Muslim). 

Hadits shahih ini menganjurkan kita untuk memperbanyak doa ketika sujud. Caranya, setelah membaca doa Subhaana Rabbiyal A'la, kita dapat melanjutkan dengan doa apa pun yang kita inginkan. Hadits ini juga tidak menjelaskan di sujud mana doa dibaca. Ini mengandung petunjuk bahwa kita dapat berdoa di sujud mana saja, tidak harus sujud terakhir.

e. Pada hari Jumat

Rasulullah (saw) bersabda, "Pada hari Jumat terdapat suatu waktu, jika seorang Muslim berdiri untuk salat sambil memohon sesuatu (doa) kepada Allah SWT, maka Allah akan mengabulkannya." (HR. Muttafaq 'Alaih). 

Informasi ini memberikan arahan bahwa ketika kita salat Jumat, kita dianjurkan untuk memperbanyak doa, karena pada waktu itu terdapat sa'tul ijaabah (waktu dikabulkannya doa).

f. Antara adzan dan iqamah

Rasulullah (saw) bersabda, "Doa yang dipanjatkan antara adzan dan qamat tidak akan ditolak." (H.R. Tirmidzi), 

Selesai azan, kadang ada jeda waktu menunggu iqamat, dalam jeda itulah sebaiknya kita memperbanyak doa apa saja yang kita mau karena itu merupakan waktu yang baik untuk berdoa.

g. Pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)

Tanggal 9 Dzulhijjah merupakan hari yang sangat penting bagi para jamaah haji karena waktu tersebut diharuskan wuquf di A'rafah. Nabi Saw. bersabda, "Ahahjju Arafah." Artinya, puncak ibadah haji itu wuquf di Arafah. Kalau kita berada di Arafah, perbanyaklah doa karena itu merupakan waktu dan tempat terbaik untuk berdoa. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Imam Muslim, "Nabi Saw. mendatangi tempat wuquf di 'Arafah dan ia menghadap kiblat, terus-menerus berdoa hingga matahari tenggelam.

Catatan tentang kalimat tauhid
"Laa ilaaha illallah"
Artinya: "Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah."
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidaklah seorang hamba mengucapkan 'Laa ilaaha illallah', kemudian ia meninggal dunia di atas ucapan itu, kecuali pasti masuk surga."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

Hadis ini menunjukkan betapa agungnya kalimat tauhid dalam Islam, terutama ketika diucapkan dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Kalimat ini juga menjadi inti dari syahadat dan fondasi utama dalam berdoa serta berdzikir. Bentuk permohonan kepada Allah dengan menyebut kalimat tauhid dan sifat-sifat-Nya yang agung, yang diambil dari Surat Al-Ikhlas. 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، الْأَحَدُ الصَّمَدُ، الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Adalah doa yang diriwayatkan dalam hadis sahih, termasuk dalam Sunan Ibn Majah (no. 3857) dan Jami’ at-Tirmidzi (no. 3475). 
Allahumma inni as’aluka bi anni asyhadu annaka Antallah, laa ilaaha illa anta, asyhadu annaka ash-shamad, alladzi lam yalid wa lam yuwlad, wa lam yakun lahu kufuwan ahad.

Artinya :
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, tiada Tuhan selain Engkau, aku bersaksi bahwa Engkau adalah Yang Maha Dibutuhkan, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.

Dalam hadis tersebut, Rasulullah ﷺ mendengar seseorang berdoa dengan kalimat ini, lalu beliau bersabda:

"Sungguh ia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung (Ismullah al-A'zham), yang jika diminta dengannya maka Allah akan memberi, dan jika diseru dengannya maka Allah akan mengabulkan." 

Makna Doa:
Doa ini mengandung kalimat tauhid yang sangat kuat, yaitu:
Laa ilaaha illa anta: Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.
Al-Ahad, Ash-Shamad: Menyebut sifat-sifat Allah yang unik dan sempurna.
Alladzi lam yalid wa lam yuwlad...: Merujuk pada surat Al-Ikhlas, menegaskan keesaan dan kemurnian sifat Allah.

Doa ini sangat kuat karena mengandung Ismullah al-A'zham (Nama Allah yang Maha Agung), yang disebut dalam hadis sebagai nama yang jika dipanjatkan dalam doa, maka Allah akan mengabulkannya.

Bagaimana cara menghafal doa ini ? Menghafal doa seperti ini bisa menjadi lebih mudah jika dilakukan dengan metode yang terstruktur dan konsisten. Berikut beberapa tips efektif untuk menghafal doa:

1. Memahami Maknanya
Sebelum menghafal, pahami arti setiap bagian doa. Ini akan membantu otak mengaitkan kata-kata dengan makna, bukan sekadar menghafal bunyi.
2. Membaca Berulang-ulang
Baca doa ini berulang kali setiap hari, misalnya:
Setelah salat, Sebelum tidur, Saat waktu luang
3. Menghafalkan Per Bagian
Pecah doa menjadi bagian-bagian kecil, misalnya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
الصَّمَدُ، الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Hafalkan satu bagian, lalu lanjut ke bagian berikutnya.
4. Mendengarkan Audio kalau ada
Cari rekaman doa ini dibacakan oleh qari atau ustaz. Mendengarkan secara berulang akan membantu hafalan secara alami.
5.  Menulis Ulang
Menulis ulang doa dalam huruf Arab dan Latin bisa memperkuat ingatan visual dan motorik.
6. Mengamalkan dalam Doa Harian
7. Membaca doa ini dalam doa pribadi agar lebih melekat dalam hati dan pikiran.

Insya Allah berdoa dengan lebih baik dapat menjadi wawasan atau sekaligus mempraktekkannya. Perlahan tapi pasti kita bisa menghafal kalimat tauhid yang disampaikan Nabi Muhammad saw, dan juga meresapi maknanya. otak semakin hari dilatih semakin berfungsi dengan baik. Inilah langkah memberdayakan diri semakin beriman, memotivasi diri dengan motivasi Islam. Tidak berguna iman, kalau belum menyempurnakan dengan ilmu. Tak ada ilmu yang membenarkan iman kecuali berpegang kepada Al Qur'an dan Hadist. Semua itu, iman dan ilmu tidak bernilai jika kita tidak amalkan dalam kehidupan kita.

Sahabatmu
Munir Hasan Basri

Minggu, Agustus 03, 2025

Masak kita tidak ingin kasih sayang Allah yang 99 lagi

 Salam bahagia selalu, dan Insya Allah kita diberikan kebaikan yang mendatang rahmat Allah. Aamiin

Hari ini membahas sedikit tentang hasi rahmat Allah. Salah satu hadis tentang rahmat Allah, yang berkaitan erat dengan nama-Nya Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih):

"Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) seratus bagian. Maka Dia menahan di sisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian, dan menurunkan satu bagian ke bumi. Dari satu bagian itulah seluruh makhluk saling berkasih sayang, hingga seekor kuda mengangkat kakinya karena takut anaknya akan terinjak olehnya." (HR. Bukhari No. 5541)

Hadis lain yang senada berasal dari HR. Muslim :

"Sesungguhnya Allah memiliki seratus bagian rahmat. Dia menahan sembilan puluh sembilan bagian dan menurunkan satu bagian ke bumi. Dari satu bagian itu, makhluk saling berkasih sayang, hingga seekor hewan mengangkat kakinya karena takut melukai anaknya."

(HR. Muslim No. 2752) 

Hadis ini sama seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari. Hadis ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya kasih sayang Allah. Nama Ar-Rahman berasal dari kata rahmah (kasih sayang), dan menggambarkan rahmat Allah yang meliputi seluruh makhluk, baik yang beriman maupun tidak. Sementara nama Ar-Rahim lebih khusus, menunjukkan kasih sayang Allah yang berkelanjutan kepada hamba-hamba-Nya yang taat (yang beriman).

Rasulullah ﷺ menyampaikan banyak hadis yang menggambarkan luasnya rahmat Allah, bahkan melampaui batas nalar manusia. Di sinilah kita akan mengupas beberapa hadis utama, dan merefleksikan betapa pentingnya kita hidup dalam kesadaran akan rahmat-Nya yang tak terbatas.



1. Allah Membagi Rahmat Menjadi 100 Bagian
Hadis diatas menunjukkan bahwa kasih sayang yang kita saksikan di dunia ini hanyalah 1% dari rahmat Allah. Bayangkan, seluruh kasih seorang ibu pada anaknya, kasih manusia kepada sesama, bahkan kasih sayang antar hewan, itu semua hanya bagian kecil dari rahmat-Nya.
Lalu bagaimana dengan 99 bagian lainnya? Allah menyimpannya untuk hari di mana seluruh manusia sangat membutuhkan kasih sayang dan ampunan, yakni hari kiamat. Ini menjadi harapan besar bagi mereka yang senantiasa berusaha kembali kepada Allah.

2. Allah Lebih Sayang kepada Hamba-Nya daripada Seorang Ibu kepada Anaknya
Dalam sebuah hadis yang sangat menyentuh hati, Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang wanita mencari anaknya yang hilang dalam tawanan. Setelah menemukannya, sang ibu memeluk anak itu dengan sangat erat dan menyusuinya. Rasulullah ﷺ kemudian bersabda kepada para sahabat:
"Apakah kalian melihat wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?"
Mereka menjawab, "Tidak, demi Allah. Ia tidak akan melakukannya jika ia mampu menghindarinya."

Maka Nabi ﷺ bersabda:
"Sungguh, Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya."
(HR. Bukhari no. 5999, Muslim no. 2754)

Bayangkan kasih seorang ibu yang secara naluriah akan melindungi anaknya dari bahaya apa pun. Dan Allah lebih dari itu. Cinta dan rahmat-Nya jauh melampaui kasih sayang manusiawi. Maka bagaimana mungkin kita ragu untuk kembali kepada-Nya?

3. Allah Senang Mengampuni, Melebihi Kegembiraan Orang yang Menemukan Barang Hilang
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
"Sungguh, Allah lebih bergembira atas taubat hamba-Nya daripada seseorang di antara kalian yang kehilangan kendaraannya di tengah padang pasir, lalu menemukannya kembali."
(HR. Bukhari no. 6309, Muslim no. 2747)

Hadis ini menggambarkan kegembiraan yang luar biasa. Bayangkan seseorang kehilangan unta atau kendaraan di tengah padang pasir. Itu berarti kehilangan sumber air, makanan, dan harapan hidup. Tapi ketika ia menemukannya kembali, ia begitu bahagia sampai keliru berkata karena girangnya.

Nah, Allah lebih bahagia dari itu ketika seorang hamba yang berdosa kembali bertobat. Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah tidak hanya pasif, tapi aktif mendekat kepada hamba-Nya yang kembali. Tidak peduli seberapa besar dosanya, selama ia masih hidup dan bertobat dengan tulus, Allah akan menyambutnya dengan kegembiraan.

4. Rahmat Allah Meliputi Segala Sesuatu
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu...”
(QS. Al-A’raf: 156)

Ini adalah janji Allah. Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kita pahami maupun yang tidak. Bahkan ketika kita tertimpa musibah, sebenarnya ada rahmat Allah di dalamnya yang barangkali belum kita sadari.

5. Allah Menetapkan Kasih Sayang sebagai Sifat-Nya

Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis Qudsi:

“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah prinsip utama dalam mengenal Allah. Walau Allah Maha Adil dan bisa menghukum, namun kasih sayang-Nya lebih dahulu dan lebih dominan. Ini tidak berarti Allah tidak murka, tapi murka-Nya dibatasi oleh keadilan dan selalu dilandasi hikmah. Sementara rahmat-Nya dibuka lebar-lebar untuk siapa pun yang menginginkannya.

Renungkan, Hidup dalam Kesadaran Rahmat Allah
Mengetahui bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang bukan sekadar pengetahuan teologis. Ini mestinya menjadi landasan cara pandang dan sikap hidup. Berikut beberapa pelajaran yang bisa kita petik:

1. Jangan Pernah Berputus Asa dari Rahmat Allah
Berapa pun dosa kita, Allah membuka pintu taubat. Bahkan dalam QS. Az-Zumar: 53, Allah berfirman:

“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”

Putus asa dari rahmat Allah adalah penyakit jiwa dan salah satu bentuk kebodohan terhadap sifat Allah.

2. Menjadi Saluran Rahmat bagi Sesama
Jika Allah menyayangi kita, maka kita juga harus menyebarkan rahmat itu. Nabi ﷺ bersabda:

"Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah siapa yang di bumi, maka Yang di langit akan menyayangimu."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

Menjadi penyayang—baik kepada manusia, hewan, atau makhluk lainnya—adalah bentuk nyata kita meneladani sifat rahman-Nya.

3. Berprasangka Baik kepada Allah
Hidup tidak selalu mudah. Namun, ketika kita sadar bahwa Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka kita akan belajar berprasangka baik kepada-Nya, bahkan di saat-saat sulit. Barangkali Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik, atau menghapus dosa kita melalui ujian.

Rahmat Allah adalah anugerah terbesar yang membungkus seluruh kehidupan. Ia bukan hanya konsep dalam kitab, tapi kenyataan yang hadir dalam setiap detik kehidupan. Setiap napas, setiap detak jantung, bahkan setiap ujian yang kita hadapi adalah bagian dari skenario rahmat-Nya.

Maka, marilah kita hidup dalam kesadaran bahwa kita berada dalam lautan kasih sayang Allah yang tak terbatas. Jangan sampai kita buta terhadap rahmat-Nya yang selalu mengiringi, dan jangan pernah menutup pintu kembali kepada-Nya. Karena Allah tidak akan pernah menutup pintu rahmat-Nya bagi hamba-hamba yang ingin kembali.

Dengan memahami sifat Allah sebagai Ar-Rahman, kita diajak untuk:
1. Tidak putus harapan dari rahmat-Nya.
2. Meneladani sifat kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.
3. Menyadari bahwa setiap kebaikan yang kita rasakan adalah bagian kecil dari rahmat-Nya yang luas.

Apa yang mesti kita tanyakan dan renungkan kepada diri sendiri. Diantaranya :
 Apakah kita bisa merasakan ar rahmannya Allah ???
Tenangkan hati dengan mentrigger hati untuk melisankan zikir kepada Allah. Hanya dengan hati yang tenang itulah kita dibukakan "jendela" rahmannya Allah.
Darimana kita memulai ? Mulailah dari diri sendiri. Semua kebaikan apapun adalah 1% dari rahman Allah di dunia dan kehidupan kita di dunia ini.
Perhatikan lidah kita bisa bicara ... Amazing, 
Tubuh kita bisa bergerak ... Amazing,
Mata dan Pendengaran kok bisa melihat dan mendengar ... Amazing
Apalagi ... ? Semuanya. 
Apa yang kita rasakan, lihat, dengar  ... lainnya
Makna begitu besar rahmannya Allah, apalagi ar rahiimnya Allah kepada kita yang beriman,
Rahiimnya Allah yang mengantarkan kita kepada pembalsan yang sempurna.
Apakah kita masih ada waktu dan perhatian kita untuk lalai merasakan kebaikan ar rahman dan ar rahiim  ?? 

سُبْحَانَ ٱللَّٰهِ وَٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ وَلَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ وَٱللَّٰهُ أَكْبَرُ 

Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar

Sekarang ... masak sih kita tidak mau menemui dan merasakan rahmatnya Allah yang 99 lagi ??

Tidak ada alasan apapun, sekarang kita mulai selalu ingin berbuat baik dan terus berbuat baik. Insya Allah pengetahuan ini dapat mengekplor kita untuk memberdayakan diri,agar termotivasi menjadi hamba yang berterima kasih dan bersyukur. Inilah motivasi Islam dalam membangun karakter hambaNya.

Sahabatmu 
Munir Hasan Basri

Sabtu, Agustus 02, 2025

Berbuat baik sebagaimana Allah ya rahman ya rahiim

Salam sejahtera dan damai selalu, dan Insya Allah dengan hati yang damai memberi kebaikan dalam berakhlak. Aamiin

Hari ini meneruskan belajar tentang Asmaul Husna, yang lalu kita sudah bahas dalam dua kali posting tentang Allah yang Maha Melihat. Masih ingat kan ? Pasti dong karena kita sudah menerapkannya dalam 
1. Setiap perbuatan dalam kehidupan ini dengan merasa dilihat Allah, 
2. Ada Allah sebelum berbuat sehingga kita berusaha menjadi kerja yang terbaik dihadapanNya, 
3. dan karena ada Allah yang mengawasi dan mengetahui diri kita yang sesungguhnya, maka kita pun boleh meminta tolong sama Allah dalam setiap perbuatan menjadi semakin baik. 
Bagaimana ? Sudah dong 
4. berusaha membaca Bismillahirrahmanirrahiim, yang dimaknai sebagai "memanggil" Allah dalam setiap perbuatan untuk diawasi dan dibimbing dengan petunjukNya 
5. dan mengucapkan Alhamdulillahirrabbilalamin, ungkapan rasa terima kasih atas pengawasan Allah dan apa yang sudah kita lakukan (walaupun masih banyak salahnya) dan berterima kasih atas ampunan Allah atas kesalahan.


Tidak mudah untuk berbuat baik apalagi untuk meneladani sifat-sifat indah dan baik dari Allah (Asmaul Husna). Salah satu penghalangnya adalah diri kita sendiri, yaitu kebiasaan. Kita sudah terbiasa dengan sikap dan perilaku tidak baik. Contoh kita lebih cenderung malas daripada rajin, kalau kita bisa rajin masih ada seperti keterpaksaan, atau rajin dengan kepentingan tertentu.  Apalagi begitu banyak self talk yang dikuasai oleh setan untuk mencegah kita untuk berbuat baik. Oleh sebab itu kita bisa memulai dengan sikap dan perilaku yang kecil dan mudah dalam kehidupan ini. Salah satu yang kita ingin lakukan adalah sifat ar rahman dan ar rahiim. 

Agar kita bisa menerapkan asmaul husna dengan benar, maka alangkah baiknya kita mengenal Asmaul Husna, yang berarti "nama-nama Allah yang indah dan baik", merupakan 99 nama Allah yang mencerminkan sifat-sifat-Nya. Di antara nama-nama tersebut, Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua yang paling sering disebut, bahkan dalam pembukaan setiap surat Al-Qur’an (kecuali satu). Kedua nama ini menggambarkan kasih sayang Allah yang luas dan mendalam. Ar-Rahman berarti Maha Pengasih, sedangkan Ar-Rahiim berarti Maha Penyayang.

Memahami dan menerapkan nilai-nilai dari Asmaul Husna dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga cara untuk menciptakan lingkungan yang harmonis, baik di rumah maupun di tempat kerja. Artikel ini akan membahas bagaimana kita bisa menerapkan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahiim dalam dua konteks utama kehidupan: di kantor dan di rumah.

Ada perbedaan Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahiim penting untuk dipahami agar mudahkan diterapkan :
Ar-Rahman: Kasih sayang Allah yang luas dan mencakup semua makhluk, tanpa memandang iman atau amal. Sifat ini bersifat umum dan menyeluruh.
Ar-Rahiim: Kasih sayang Allah yang khusus, lebih mendalam, dan berkelanjutan, terutama ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Kedua nama ini sering disebut bersama, seperti dalam pembukaan surat Al-Fatihah:

"Bismillahirrahmanirrahim"
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."
(QS. Al-Fatihah: 1)

Dengan memahami makna ini, kita bisa meneladani sifat-sifat tersebut dalam interaksi kita dengan sesama manusia.


Sebaiknya saya dulu jabarkan beberapa hal penting penerapan ar rahman dan ar rahiim di Kantor, Lingkungan kantor sering kali menjadi tempat yang penuh tekanan, kompetisi, dan tuntutan. Namun, dengan menerapkan nilai Ar-Rahman dan Ar-Rahiim, kita bisa menciptakan suasana kerja yang lebih sehat dan produktif.
1. Empati dan Kepedulian terhadap Rekan Kerja
Meneladani Ar-Rahman berarti menunjukkan kasih sayang yang luas kepada semua orang di kantor, tanpa membedakan jabatan, latar belakang, atau performa kerja. Contohnya:
a. Menyapa rekan kerja dengan ramah setiap pagi.
b. Menawarkan bantuan kepada rekan yang terlihat kesulitan.
c. Tidak mempermalukan atau menyalahkan orang lain di depan umum.
2. Memaafkan Kesalahan. Sifat Ar-Rahiim mengajarkan kita untuk bersikap lembut dan pemaaf, terutama kepada mereka yang telah berbuat salah namun menunjukkan penyesalan. Di kantor, ini bisa diterapkan dengan:
a. Memberi kesempatan kedua kepada bawahan yang melakukan kesalahan.
b. Tidak menyimpan dendam atas konflik kecil.
c. Menyelesaikan masalah dengan dialog dan bukan dengan emosi.
3. Kepemimpinan yang Humanis.
Bagi seorang pemimpin, meneladani Ar-Rahman dan Ar-Rahiim berarti memimpin dengan hati, bukan hanya dengan aturan. Pemimpin yang pengasih dan penyayang akan:
a. Mendengarkan keluhan dan masukan dari tim.
b. Memberikan apresiasi atas kerja keras.
c. Menyediakan waktu untuk pembinaan dan pengembangan karyawan.
4. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Nyaman
Kasih sayang juga bisa diwujudkan dalam bentuk perhatian terhadap kenyamanan fisik dan mental karyawan, seperti:
a. Menyediakan ruang istirahat yang layak.
b. Memberikan fleksibilitas waktu kerja saat ada kebutuhan pribadi.
c. Menjaga komunikasi yang sehat dan terbuka.

Sedangkan beberpa hal yang kita bisa diterapkan di rumah. Rumah adalah tempat pertama dan utama untuk menerapkan nilai-nilai kasih sayang. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim bisa menjadi landasan dalam membangun keluarga yang harmonis dan penuh cinta.
1. Kasih Sayang kepada Pasangan
Dalam hubungan suami-istri, meneladani Ar-Rahman berarti mencintai tanpa syarat, dan Ar-Rahiim berarti menjaga cinta itu dengan kelembutan dan perhatian. Contohnya:
a. Mendengarkan pasangan dengan penuh perhatian.
b. Menghindari kata-kata kasar dalam konflik.
c. Memberikan kejutan kecil sebagai bentuk cinta.
2. Mendidik Anak dengan Cinta
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Orang tua yang meneladani Ar-Rahman dan Ar-Rahiim :
a. Memberikan pelukan dan kata-kata positif setiap hari dalam obrolan dengan keluarga.
b. Mendidik dengan pendekatan yang lembut, bukan kekerasan.
c. Memberikan waktu berkualitas untuk bermain, belajar bersama, aktivitas bersama.
3. Menghormati Orang Tua dan Anggota Keluarga Lain
Kasih sayang tidak hanya kepada yang lebih muda, tetapi juga kepada yang lebih tua. Ini bisa diwujudkan dengan:
a. Menyediakan waktu untuk berbicara dan mendengarkan orang tua.
b. Membantu pekerjaan rumah tanpa diminta.
c. Menjaga komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
4. Menjaga Rumah sebagai Tempat yang Damai
Rumah yang penuh kasih sayang adalah rumah yang damai. Ini bisa dicapai dengan:
a. Menghindari pertengkaran yang tidak perlu.
b. Menyelesaikan konflik dengan musyawarah.
c. Menjaga kebersihan dan kenyamanan rumah bersama-sama.

Penerapan Asmaul Husna, khususnya Ar-Rahman dan Ar-Rahiim, dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang sulit, tetapi membutuhkan kesadaran dan niat yang kuat. Di kantor, sifat ini bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif. Di rumah, sifat ini bisa membentuk keluarga yang harmonis dan penuh cinta.

Dengan meneladani kasih sayang Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga menjadi agen perubahan positif dalam lingkungan kita. Semoga kita semua bisa terus belajar dan menerapkan nilai-nilai luhur ini dalam setiap aspek kehidupan.

Berikut ini beberapa ayat-ayat Al Qur'an yang berkenaan dengan ar rahman dan ar rahiim. Allah berfirman:

"Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman), maka mintalah kepada-Nya dengan pengajaran yang baik."
(QS. Al-Isra: 110)

Penerapan di Kantor
1. Empati dan Kepedulian terhadap Rekan Kerja
Meneladani Ar-Rahman berarti menunjukkan kasih sayang kepada semua orang, tanpa diskriminasi. Rasulullah SAW bersabda:

"Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu."
(HR. Tirmidzi)

Contoh penerapan:
a. Menyapa rekan kerja dengan ramah.
b. Membantu rekan yang kesulitan tanpa pamrih.
c. Tidak mempermalukan orang lain di depan umum.

2. Memaafkan Kesalahan
Sifat Ar-Rahiim mengajarkan kita untuk bersikap lembut dan pemaaf. Allah berfirman:

"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. An-Nur: 22)

Di kantor, ini bisa diterapkan dengan:
a. Memberi kesempatan kedua kepada bawahan.
b. Menyelesaikan konflik dengan dialog.
c. Tidak menyimpan dendam atas kesalahan kecil.

3. Kepemimpinan yang Humanis
Pemimpin yang meneladani Ar-Rahman dan Ar-Rahiim akan memimpin dengan hati. Rasulullah SAW bersabda:

"Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku lalu menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurus urusan umatku lalu memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia."
(HR. Muslim)

Contoh:
a. Mendengarkan keluhan tim.
b. Memberikan apresiasi atas kerja keras.
c. Memberikan pembinaan dengan pendekatan yang lembut.

Penerapan di Rumah
1. Kasih Sayang kepada Pasangan
Dalam hubungan suami-istri, kasih sayang adalah fondasi utama. Allah berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang."
(QS. Ar-Rum: 21)

Contoh:
a. Mendengarkan pasangan dengan penuh perhatian.
b. Menghindari kata-kata kasar.
c. Memberikan kejutan kecil sebagai bentuk cinta.

2. Mendidik Anak dengan Cinta
Rasulullah SAW adalah teladan dalam mendidik anak dengan kasih sayang. Beliau bersabda:

"Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Contoh:
a. Memberikan pelukan dan pujian.
b. Mendidik dengan pendekatan lembut.
c. Bermain dan belajar bersama anak.
3. Menghormati Orang Tua dan Anggota Keluarga Lain
Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya..."
(QS. Luqman: 14)

Contoh:
a. Menyediakan waktu untuk berbicara dengan orang tua.
b. Membantu pekerjaan rumah.
c. Menjaga komunikasi yang baik.

4. Menjaga Rumah sebagai Tempat yang Damai
Rumah yang penuh kasih sayang adalah rumah yang damai. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya orang mukmin itu bersikap ramah dan tidak kasar. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak bersikap ramah dan tidak disukai orang lain."
(HR. Ahmad)

Contoh:
a. Menghindari pertengkaran.
b. Menyelesaikan konflik dengan musyawarah.
c. Menjaga kebersihan dan kenyamanan rumah bersama-sama.

Meneladani sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahiim dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah. Di kantor, sifat ini menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Di rumah, sifat ini membentuk keluarga yang harmonis dan penuh cinta.

Dengan mengamalkan kasih sayang Allah dalam interaksi kita, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga membawa keberkahan dalam setiap aspek kehidupan. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk terus meneladani sifat-sifat Allah dalam kehidupan kita.

Berikut ini saya kisahkan seorang manager, namanya Bujang. Bujang tegas, tapi suka marah. Marahnya pun tentang pekerjaan, bisa jadi disebabkan oleh tekanan pekerjaan yang menuntut hasil sempurna. Ternyata dampak emosionalnya ini bikin beberapa karyawan tidak nyaman, termasuk di rumah dimana Bujang memiliki anak perempuan sebutlah Rid, yang sering kena efek dari perilakunya yang emosional.  Kisah ini bukan yang sebenarnya tapi hanya rekayasa saja untuk menggambarkan tema tulisan ini.

Kisah Bujang: Pelajaran Kasih Sayang dari Kantor ke Rumah
Bagian 1: Kantor yang Penuh ketegangan
(Di ruang kerja, suasana tegang. Bujang, manajer yang dikenal keras, sedang memanggil Raka, staf muda yang terlambat menyerahkan laporan.)

Bujang: “Mat! Ini sudah minggu kedua kamu telat! Kamu pikir kerjaan ini bisa diselesaikan seenaknya?”
Mamat (menunduk): “Maaf, Pak. Saya sedang mengurus ibu saya yang sakit…”
Bujang (memotong): “Alasan lagi! Kalau kamu nggak bisa kerja profesional, lebih baik mundur!”
(Mamat keluar dengan wajah sedih. Rekan-rekan lain hanya bisa saling pandang, tak berani bicara.)

Bagian 2: Rumah dan Gambar Rida
(Malam hari, Bujang pulang dan melihat anaknya, Rida, sedang menggambar.)
Bujang: “Gambar apa itu, Nak?”
Rida (menunjuk gambar): “Ini Ayah… waktu marah-marah di telepon. Aku takut…”
(Bujang terdiam. Di gambar itu, ada awan gelap di atas kepala seorang pria, dan anak kecil menangis di bawahnya.)
Rida (tersenyum kecil): “Tapi aku juga gambar pelangi. Kalau Ayah senyum, rumah jadi hangat…”
(Bujang memeluk Rida, air matanya menetes. Ia merasa tersentuh dan malu.)
Bagian 3: Renungan Malam
(Di kamar, Bujang membuka Al-Qur’an dan membaca surat Al-Fatihah.)
"Bismillahirrahmanirrahim"
(QS. Al-Fatihah: 1)

Bujang (berbisik): “Jika Allah membuka setiap urusan dengan kasih sayang, kenapa aku begitu mudah marah?” (Ia teringat hadis Rasulullah SAW)

"Sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu."
(HR. Tirmidzi)

Bagian 4: Kantor yang Berubah
(Keesokan harinya, Bujang memanggil Raka lagi. Tapi kali ini dengan nada berbeda.)
Bujang: “Mat, saya minta maaf atas kemarin. Saya tahu kamu sedang berusaha. Mari kita cari solusi bersama.”
Mamat (terkejut, lalu tersenyum): “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik.”
(Suasana kantor mulai berubah. Bujang menjadi lebih sabar, lebih mendengarkan, dan lebih membimbing.)

Bagian 5: Rumah yang Hangat
(Di rumah, Bujang mulai lebih sering tersenyum, bermain dengan Aisyah, dan membantu istrinya.)
Istri Bujang: “Ayah sekarang beda ya… lebih lembut.”
Bujang (tersenyum): “Rida yang mengajarkan Ayah tentang pelangi…”


Hikmah dialog di atas, 
Kisah Bujang mengajarkan bahwa kasih sayang adalah kekuatan, bukan kelemahan. Meneladani sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahiim berarti:

a. Menyebarkan empati dan kelembutan di tempat kerja.
b. Membangun rumah yang penuh cinta dan kehangatan.
c. Menjadi pribadi yang lebih sabar, pemaaf, dan bijak.
Allah berfirman:

"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. An-Nur: 22)

Demikianlah pemahaman dan beberapa amalan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari di kantor dan di rumah. Keduanya saling terkait, dimana suasana rumah itu bisa membuat kita nyaman dan berpengaruh (terbawa) di kantor. Sebaliknya seorang karyawan, apapun jabatannya mampu mengendalikan emosionalnya dengan baik di kantor membuat kerja yang menyenangkan, maka kehidupan di rumah bisa menyenangkan pula.  Semua ini dapat kita jalani dengan meneladani sifat dari Asmaul Husna, ar rahman dan ar rahiim. 

Allah berfirman :

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. [28] Al-Qasas : 77)

Inilah ayat Al Qur'an yang memerintahkan kita untuk berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (ar rahman dan ar rahiim).  Bukan saja perintah tapi ini amanah Allah dan merespon dan membalas apa yang telah kita terima dari Allah berupa kebaikan yang banyak. Sudahkah kita bertanggung jawab ??? Kalau tidak kita termasuk orang yang berbuat kerusakan. Dengan hadirnya ar rahman dan ar rahiim, Insya Allah kita terbimbing untuk selalu bertindak yang baik di kantor, di rumah dan dimana pun kita berada.

(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat! (QS. [2] Al-Baqarah : 197)

Jangan khawatir apa yang kita kerjakan yang baik itu, pasti diketahui, dilihat dan didengar Allah, sekalipun kita sendiri tanpa ada orang lain yang melihat. Sekecil apapun kebaikan itu dibalas 10 kali sampai 700 kali dan menjadi bekal yang terbaik yang kita bawa. Itulah bekal ketaqwaan kita. Semua itu terjadi saat kita mempergunakan akal sehat (pikiran dan hati).

Insya Allah tulisan ini dapat membangkitkan kita untuk meneladani sifat-sifat dari Asmaul Husna. Memotivasi diri dan selalu dapat memberdayakan diri agat menjasi semakin beriman. Inilah salah satu yang terbaik dalam motivasi, yaitu motivasi islam. 

Sahabatmu
Munir Hasan Basri 

Jumat, Agustus 01, 2025

Mamat dan Titik Balik Amanah

Salam sejahtera dan bahagia selalu dan Insya Allah hari ini bisa menjadikan kita sadar untuk berubah menjadi semakin baik.

Hari ini saya bercerita tentang perjalanan dari Malas ke Bertanggung Jawab. Yang awalnya kerja tidak bertanggung jawab. Yang terpikir hanya gaji dan uang. Dalam kisah kantor ini saya mengambil pelakunya Mamat (nama samaran).


Mamat dulu bukan karyawan teladan. Ia bukan tipe yang mencolok karena prestasi, juga bukan yang disukai karena sikapnya. Ia sekadar ada—datang pagi dengan muka malas, bekerja dengan asal-asalan, dan pulang tanpa rasa tanggung jawab. Baginya, pekerjaan hanyalah alat tukar. Datang, duduk, menjalankan tugas seperlunya, dan menunggu akhir bulan untuk gaji. Jika ada pekerjaan tambahan, Mamat akan menolak halus atau diam-diam menghindar. Ia sering berkata dalam hati, “Gaji segini, ya kerja segini.”Ia tidak jahat. Ia tidak curang. Tapi ia juga tidak peduli. Namun semua itu mulai berubah ketika hidup menghantamnya lebih keras dari yang ia duga.

Saat Mamat mengalami keterpurukan, Waktu itu Mamat sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Anak keduanya jatuh sakit cukup parah, butuh pengobatan rutin dan biaya rumah sakit yang tidak kecil. Tabungan hampir habis. Gaji bulanan tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Di tengah tekanan itu, istrinya, yang selama ini sabar mendampingi pernah berkata pelan saat Mamat duduk diam di ruang tamu, wajah murung dan tangan menggenggam kuitansi rumah sakit. “Mat, mungkin ini saatnya abang betul-betul lihat ke dalam diri. Allah mungkin bukan cuma mau kasih ujian, tapi kasih peringatan...”. Mamat terdiam. Kata-kata itu tak ia bantah. Ia tahu, selama ini ia hanya menggugurkan kewajiban. Bahkan saat bekerja pun, ia sering mengeluh dalam hati—tentang tugas, tentang atasan, bahkan tentang teman kerja yang menurutnya ‘terlalu rajin’.
Hari itu, Mamat dipanggil atasan ke ruang kerja. Suasana serius. Atasan membuka laptop, menunjukkan beberapa laporan kerja yang tidak rapi dan sebagian besar adalah bagian yang dikerjakan oleh Mamat.

“Mat, aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Tapi kamu juga harus tahu, pekerjaan ini bukan cuma soal kamu. Banyak orang bergantung pada hasil kerja kita. Kamu harus mulai berubah… atau kamu kehilangan banyak. Kata “kehilangan” bergema di kepalanya. Ia tahu betul apa maksudnya. Dan untuk pertama kalinya, Mamat merasa takut, bukan karena kehilangan pekerjaan semata, tapi karena ia sadar selama ini ia belum pernah benar-benar bertanggung jawab.

Momen Kesadaran terjadi. Beberapa hari setelah pertemuan itu, perusahaan mengadakan pelatihan internal bertema “Bekerja dengan Kesadaran dan Amanah”. Mamat awalnya datang tanpa semangat, duduk di pojok ruangan dan lebih banyak menunduk.
Namun di tengah sesi, seorang pembicara berkata : 
Kalau kita bekerja hanya karena uang, kita akan mudah kecewa. Tapi kalau kita bekerja dengan kesadaran bahwa ini amanah, maka kita hadirkan tanggung jawab dan ketulusan, bahkan saat tak ada yang melihat.”

Kata itu menusuk hati Mamat. Ia merasa seperti ditelanjangi. Ia sadar, selama ini ia hanya hadir secara fisik—bukan dengan hati. Ia menunaikan tugas, tapi tak pernah menunaikan amanah.

Malam itu, di rumah, ia duduk di ruang tamu dalam gelap, hanya ditemani cahaya lampu dapur. Ia merenung lama sekali, banyak self talk yang terjadi. Ia teringat anaknya, istrinya, dan hidup yang ia jalani setengah hati. Ia teringat rekan-rekan kerja yang selama ini ia remehkan karena ‘terlalu serius’. Ia bahkan teringat ayahnya, dulu seorang pekerja bangunan yang bangun sebelum subuh dan tak pernah mengeluh, bahkan saat kakinya cedera.

Dan di titik itu, Mamat menangis. Bukan karena putus asa. Tapi karena malu. Perubahan Dimulai. Perubahan Mamat tidak langsung besar. Ia mulai dari hal kecil: datang lebih pagi. Ia merapikan meja kerjanya. Ia mulai bertanya lebih sering, mencatat tugas dengan detail, dan mulai menyelesaikan pekerjaan tepat waktu tanpa disuruh ulang. Beberapa rekan terkejut. Ada yang mengira ia sedang cari muka. Tapi Mamat tak peduli. Ia tidak sedang membuktikan sesuatu kepada orang lain ia sedang berdamai dengan dirinya sendiri.

Ketika ada rekan kerja yang izin sakit, Mamat dengan tenang menawarkan diri untuk membantu. Ia bahkan meminta izin pada atasan untuk menyusun ulang SOP gudang yang selama ini membingungkan sesuatu yang dulu pasti ia hindari. Mamat tahu, ia tidak sempurna. Tapi ia mulai merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: harga diri karena bekerja dengan niat baik.

Gaji masih tetap sama. Tapi kini ia merasa lebih tenang. Saat pulang ke rumah, ia bisa menatap mata anak dan istrinya tanpa beban. Ia merasa lebih berarti. Bahkan, kondisi keuangan perlahan mulai membaik—bukan karena keajaiban instan, tapi karena ia mulai mengelola segalanya dengan lebih bertanggung jawab.

Mamat menjadi Pribadi yang Bisa Diandalkan. Beberapa bulan kemudian, atasan kembali memanggil Mamat kali ini dengan senyum. “Saya lihat perubahan besar dari kamu, Mat. Jujur, saya bangga. Kamu bukan cuma berubah sikap, tapi juga membawa dampak buat tim. Kita sedang rencanakan rotasi tanggung jawab, dan saya pikir kamu siap naik level.”

Mamat tersenyum kecil. Dalam hati, ia mengucap syukur. Bukan karena jabatan, tapi karena kini ia tahu: ia bisa diandalkan. Baginya, itu lebih berharga dari sekadar angka di slip gaji.

Mamat sudah memiliki prinsip Hidup yang Baru. Kini, jika seseorang bertanya apa yang menggerakkan Mamat untuk bekerja, jawabannya sederhana:

“Saya kerja bukan cuma buat cari uang. Saya kerja karena ini amanah. Karena saya ingin hidup saya punya arti. Dan karena saya tahu, Allah melihat kerja keras, meski kadang manusia tidak.”

Kisah Mamat adalah gambaran banyak dari kita—yang pernah bekerja dengan setengah hati, sampai hidup menampar dan menyadarkan. Bahwa bekerja bukan sekadar aktivitas rutin, tapi ruang untuk tumbuh, belajar, dan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.

Dan perubahan selalu mungkin, selama kita mau jujur pada diri sendiri dan memulai, meski dari langkah kecil.

Hampir banyak orang mengalami hal ini, tapi tidak semua dapat berubah seperti Mamat. Bisa jadi semua orang tahu cara untuk berubah, tapi yang bisa merubahnya adalah keberanian dan momen yang bisa menggugah mereka. Ada juga alsan tertentu orang berubah, yang pasti izin Allah. Izin Allah itu pasti didahului keinginan untuk berubah.  Saya sih berharap mereka yang kalah dengan perubahan yang diinginkan, dapat menemukan jalan terbaiknya menjadi karyawan semakin baik dan hamba Allah yang bertaqwa.

Insya Allah kisah Mamat di atas, dapat menginspirasi siapa saja yang mau berubah menjadi semakin baik. Ini bisa jadi motivasi diri untuk memberdayakan diri. 

Featured post

Udah bisa bangun paginya

Alhamdulillahirabbilalamin masih diberi kesempatan hari ini, dibangunkan dan diberi pikiran fresh untuk memperbaiki keadaan sendiri. Hari se...