Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri
Showing posts with label Manajemen syukur. Show all posts
Showing posts with label Manajemen syukur. Show all posts

Wajib, butuh dan bersyukur

 Dalam hidup lebih banyak terpaksa dijalaninya. Misalkan cari uang, ya mesti untuk kehidupan diri dan keluarga. Cari uang itu dengan kerja, maka banyak orang merasa terbebani dan ada persepsi "kalau bisa kerja sedikit hasil banyak". Kita sih bilang kerja itu sedikit dipaksakan (wajib) karena kita sebagai anak untuk kebutuhan orang tua, atau sebagai orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau nggak kerja nggak bisa hidup. Keadaan ini memaksa kita wajib kerja.

Sama halnya shalat sebagai kewajiban dalam beragama. Karena memang dasarnya kewajiban, maka perasaan kita merasa "berat" untuk shalat. Ada yang bilang,"nggak berat tuh". Kalau shalat itu nggak berat, mengapa kita tidak shalat di awal waktu ? atau mengapa kita tidak ingin belajar shalat untuk lebih khusyuk ? Mengapa kita tidak menambah shalat dengan shalat sunnah ? Jika jawaban iya, maka bisa jadi shalat kita sudah tidak terpaksa lagi atau kewajiban.

Kewajiban tidak salah, dan menjadi kunci awal untuk membiasakan kita untuk mengerjakannya. Kewajiban yang dijalankan menjadi biasa mesti menyadarkan kita tentang mengapa kewajiban itu dilaksanakan, yang bukan sekedar perintah. Proses mengerjakan bukan lagi sekedar perintah (kewajiban) memunculkan bahwa kita butuh dengan apa yang kita kerjakan menjadi lebih baik. Kalau kita butuh berarti apa yang kita kJierjakan itu adalah untuk diri kita sendiri. Sedangkan kalau kewajiban cenderung untuk orang lain. Butuh kerja adalah upaya kita untuk meningkatkan diri kita sendiri menjadi lebih baik. Butuh shalat untuk komunikasi dengan Allah agar doa kita dikabulkan. Kewajiban itu cenderung dikerjakan ("terpaksa") untuk mengamankan apa yang ingin kita dapatkan (atau kita terhindar dari suatu kerugian). Sedangkan kebutuhan cenderung dikerjakan (termotivasi) untuk mendapatkan apa yang kita inginkan (mencegah kita dari ketidaknyaman).

Jika dalam menjalani aktivitas karena butuh disadari, maka kita dapat merasakan bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengerjakan apa yang kita inginkan. Memiliki potensi, menyadarkan kita bahwa potensi itu pemberian Allah. Maka kita berterima kasih dengan memuji dan menggunakan potensi itu untuk kebaikan kita sendiri. Inilah level yang lebih baik dari sekedar butuh, yaitu bersyukur. Kita mengerjakan sesuatu bukan lagi menginginkannya, tapi ungkapan terima kasih kepada Allah karena kita selalu diizinkannya.

Dimanakah level kita ? Apakah kita kerja masih berat ? Apakah terpaksa mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga ? Jika memang level ini yang terjadi, maka kerja kita masih terasa beban sehingga tidak mudah untuk menyenangi pekerjaan tersebut. Ada yang bilang kalau berat menghidupi anak dan isteri, maka mengapa mau menikah ? Solusi lain dari ini adalah menikah itu wajib, maka beban anak dan isteri jadi "terpaksa" menghidupinya. Bagaimana kalau menikah itu rasa bersyukur kita ? Allah memberikan potensi sebagai laki-laki atau perempuan sehingga menikah itu rasa syukur kita. Maka memiliki anak juga sebagai bersyukur kita karena Allah telah berikan titipan. Maka kehidupan keluarga itu tidak jadi beban dan tidak berat dijalaninya.

Insya Allah kultum ini dapat memberikan motivasi kita untuk menjadi lebih baik lagi. Pemberdayaan diri menjadi penting untuk menjalani proses mulai dari terpaksa, butuh dan menjadi yang terbaik dengan bersyukur. 

Musuh saya adalah setan, tapi sudahkah bersikap yang bener ?

Alhamdulillahirabbilalamin. Begitu banyak yang mesti saya sadari berupa nikmat Allah. Tadi pagi saya dibangunkan dengan keadaan yang fresh, di siang hari bisa beraktivitas yang bermanfaat bagi diri dan keluarga, dan tetap dijaga iman dan badan yang sehat. Rasakan nikmat itu dapat mengantarkan saya untuk memuji Allah atas Maha syukurnya Allah.

Malam ini menjadi baik buat saya membaca dan memahami petunjuk Allah walaupun satu ayat. Ayat berikut adalah Surah Al Baqarah, ayat 36 : "Lalu setan memperdayakan keduanya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga). Dan Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” 

Beberapa hal yang bisa saya ambil hikmahnya :

1. Setan cs lah yang membuat kita dilepaskan dari kenikmatan yang Allah berikan. Yang buruk terlihat baik oleh sudut pandang setan. Sebenarnya, apapun yang tidak mengantarkan kita kepada rasa syukur atas kenikmatan yang Allah berikan merupakan perbuatan setan. Terkadang saya masih melihat baik dari hal yang tidak baik, misalkan "boleh saja marah asal untuk kebaikan", "yang penting sedekah walaupun sedikit", "bersyukur itu cukup dengan menerima keadaan", "memilih sesuatu karena selain Allah, selama masih baik oke saja" atau lainnya. Selanjutnya di ayat 37, Nabi Adam meminta maaf, istighfar. Jika kesalahan terjadi ikuti dengan istighfar.

2. Kesalahan saya mengikuti rayuan setan, dapat membuat saya diberikan balasan yang setimpal. Pastinya saya tidak mau "dikeluarkan dari surga" (dilepaskan dari kenikmatan). Agar hal itu tidak terjadi, maka saya mesti mengikuti petunjuk Allah (ayat 38)

3. Sikap yang bener adalah setan itu musuh, maka setiap ada yang menghalangi saya untuk meningkatkan iman merupakan perbuatan setan.

4. Kehidupan di dunia (terlepasnya kenikmatan dari Allah) terjadi saling bermusuhan satu sama lain. Maka saya mesti berpegang teguh kepada jalan Allah. Bisa jadi setiap balasan atas kesalahan menghadirkan ketidaknyaman hidup, karena saya sudah ikut setan. kembali kepada Allah dan berpegang teguh agar tidak merasa takut dan tidak pula sedih (mengikuti Al Qur'an, ayat 38)

Insya Allah kultum kali ini dapat memberi motivasi saya untuk memberdayakan diri agar bersikap yang benar terhadap setan, mengikuti petunjuk Allah agar tidak tergoda setan, kalau setan sudah menggoda saya dan terjadi kesalahan, maka saya mesti memohon maaf kepada Allah. Saya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kenikmatan pada diri saya, bersegera memanfaatkan kenikmatan itu menjadi optimal untuk meningkatkan iman saya.

Tumpukan masalah adalah tumpukan kesalahan

 Dalam hidup selalu ada masalah, ada yang memiliki kemampuan menyelesaikannya dan ada yang tidak mampu menyelesaikannya serta ada yang tidak mudah dapat menyelesaikannya. Masalah mesti dilewati atau diselesaikan, selesai satu masalah dan hadir lagi masalah baru. Terkadang atau sering satu masalah belum selesai, sudah hadir masalah kedua dan seterusnya. Keadaan seperti ini membuat kita dikatakan bermasalah dan menjadi tumpukan masalah

Tumpukan masalah itu bila ditelusuri disebabkan beberapa hal :

1. Pertama karena kita tidak mengerjakan dengan tepat, artinya ada kesalahan yang diperbuat sehingga hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan menjadi masalah jika disikapi secara emosional (bukan akal sehat dan hati). Menyikapi hasil dari kesalahan membawa kita kepada hadirnya masalah.

2. Sekalipun kita bisa meningkatkan kemampuan untuk tidak salah lagi dapat menyelesaikan masalah. Bisa jadi belum selesai masalahnya sudah hadir masalah baru. Dan menjadi semakin bertumpuk jika kesalahan masih terjadi dan kemampuan tidak ditingkatkan.

Saya dapat simpulkan tumpukan masalah karena tumpukan kesalahan. Kejadian ini seringkali terjadi tanpa disadari, karena kita merasa tidak perlu belajar untuk meningkatkan kemampuan dan mengambil referensi ilmunya yang tidak tepat. Sudah merasa nyaman dengan kehidupannya dan "cuek" aja kalau ada masalah. Beberapa indikasi yang dirasakan seperti cepat lelah atau capek, berat dan lama mengerjakan (sulit), tertekan menghadapi sesuatu. Ada yang bilang,"saya sudah tidak muda jadi gampang capek". Hal ini bisa bener, tapi bisa juga orang yang tidak muda masih semangat dan mampu mengerjakan yang dikerjakannya. Tetep saja kemampuan sampai tidak muda itu menjadi referensi, apakah kita mampu menyelesaikan masalah sekalipun dengan usia yang tidak muda ?

Agar masih kita tetap dapat menjalani hidup dengan tenang dan tanpa masalah yang berarti, maka sebaiknya kita melakukan manajemen syukur dari sekarang :

1. Perbanyaklah istighfar untuk membersihkan hati agar semakin mudah untuk menerima kebenaran (petunjuk) dari Allah. Hati yang semakin bersih mampu menangkap hikmah dari kebaikan yang kita lakukan.

2. Teruslah mengembangkan sikap yang bener dalam menghadapi masalah. Sikap seperti apa ? Sikapi masalah dengan mengatakan bahwa masalah itu adalah harapan sehingga kita dapat menghadapinya tanpa perlu "takut" (malah seneng) karena ingin meraih harapan itu. Sikap ini mesti dilanjutkan dengan berpikir dengan akal sehat, memahami masalahnya dan mendetailkannya agar semakin mudah solusinya. Ini langkah manajemen syukur dengan menyadari kita dimampukan Allah untuk mengelola sikap dan akal sehat.

3.  Langkah selanjutnya adalah memaksimal potensi yang ada untuk bergerak/aktivitas langkah demi langkah sesuai kemampuan yang dioptimalkan. Langkah demi langkah itu mesti diikuti dengan belajar kepada referensi yang mutlak kebenarannya, yaitu Al Qur'an.

Tumpukan masalah bisa diselesaikan dengan menambah kemampuan yang sekaligus mengurangi kesalahan. Berdoa menjadi pamungkas kita agar Allah menyempurnakan untuk menjadi semakin baik.

Kultum kali ini memberikan wawasan agar mampu mengatasi masalah dengan pemberdayaan diri. Wawasan ini memotivasi kita untuk menjadi lebih baik. Insya Allah kita selalu diberdayakan untuk selalu bersyukur dengan apa yang Allah telah berikan.

Tidak mau takut, ikuti petunjuk Allah

Bismillahirrahmanirrahiim, malam ini masih diberi waktu untuk membaca dan memahami petunjuk Allah. Cukup dengan satu ayat aja, yaitu Surah Al Baqarah, ayat 38. Ayat yang bercerita tentang Nabi Adam, dikeluarkan dari kesalahannya.

Kami berfirman, “Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. [2] Al-Baqarah : 38)

Insya Allah kita diberi petunjuk pula untuk memahami dan mengamalkannya :

1. Nabi Adam as telah berbuat kesalahan yang fatal dan resikonya kehilangan kehidupan di Surga. Di ayat lain Nabi Adam as menindaklanjuti dengan permintaan maaf kepada Allah dan diterima. Membayangkan kehidupan kita sekarang ini, jika kita salah fatal seperti Nabi Adam as dan Allah membalas segera kesalahan itu. Maka apakah kita mampu menanggung balasan Allah itu ? Mungkin Allah tidak membalas sempurna, tapi bisa jadi kesulitan kita sampai hari ini adalah balasan atas kesalahan kita. Yang menjadi pertanyaan adalah kita tidak sadar dengan kesalahan itu dan selalu menganggap kesulitan itu biasa. Kesulitan yang seharusnya ditindaklanjuti dengan memperbanyak istighfar. Oleh karena itu istighfar itu menjadi mesti sering kita ucapkan karena kita tidak pernah tahu kesalahan mana yang membuat Allah murka dan membalasnya.

2. Langkah selanjutnya, Allah memerintahkan kita untuk memperbaiki kesalahan itu dengan memahami Al Qur'an. karena tadi kita tidak saadr dengan kesalahan yang kita perbuat, maka membaca dan memahami Al Qur'an mesti dilakukan untuk mencegah kesalahan lain yang bisa terjadi. Insya Allah dengan memahami Al Qur'an sebagai petunjuk untuk memperbaiki kesalahan dapat menambah keyakinan kita dalam menjalani hidup ini, rasa takut yang terkendali dan tidak merasa sedih dengan apa yang hilang atau tidak kita dapatkan.

3. Masihkah kita tidak mau berpegang kepada petunjuk Allah ? Bukan Allah menjanjikan kebaikan dari mengikuti petunjukNya. Apakah mendahulukan petunjuk selain Allah untuk menyelesaikan persoalan hidup kita yang takut (khawatir) dan selalu sedih ? Petunjuk Allah itulah yang bener, maka ikuti dengan kesungguhan dan sepenuuh hati. Tidak perlu khawatir atau sedih, Insya Allah dengan mengikuti petunjuk dengan bener itulah Allah membimbing akal sehat kita dan mensupport tindakan kita (Allah menyempurnakan iman kita kepada petunjukNya).

Kultum tentang ayat ini menjadi sangat berarti untuk mengingatkan kita untuk memperbaiki keadaan kita sekarang. Ayat ini bisa memotivasi kita untuk terus memberdayakan diri agar selalu memahami petunjuk Allah, yang mutlak kebenarannya. Kalau tidak pernah memahaminya, kalau keyakinan kita melemah.  Seperti ayat sebelumnya, akal sehat mesti kita syukuri untuk memahami dengan bener tentang petunjuk hidup dari Allah yang Maha Tahu segalanya. 

Mbah Google

 Mbah Google sudah menjadi ikon bagi semua orang untuk tahu apa yang ingin diketahui. "Mas mau tanya tentang ini bolh nggak ?" Jawabannya adalah pengen tahu, bilang aja sama mbah Google. ternyata mbah Google yang menampung banyak hal dari berbagai sumber dapat memberi solusi bagi mereka yang tanya. Mau tanya agama aja bisa dijawab dan lebih cepat. Siapa sih mbah Google ? Tak lebih dari sebuah mesin yang direkayasa oleh orang (team). Mbah Google selalu dibilang pinter, padahal kan nggak pinter. Orang yang mengatur mbah Google lah yang pintar.

Apa yang terjadi dengan kita yang selalu bisa mendapatkan apapun dari mbah Google. Kita membutuhkan "petunjuk" sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persoalan kita atau keperluan lainnya. Biasa informasi dari mbah Google menjadi modal kita untuk mengembangkannya menjadi lebih bermakna. Yang hebat lagi kita selalu menjadi "percaya", kalau pun kurang tepat kita tidak benci tapi tetep berlangganan dengan mbah Google. Karena merasa tidak ada yang bisa membantu kita selengkap mbah Google. Begitulah mbah Google dipercaya sekalipun tidak menjanjikan 100% yang kita butuhkan. Kepercayaan itu sudah cukup kuat untuk mengikutinya. Padahal kita tidak tahu apakah mbah Google itu bener atau tidak. Dasarnya percaya dan kita tidak tahu, maka kita ikuti.

Google Map salah satu layanan Google, kita perlu maka kita merasa salah satu yang dipercaya daripada yang lain. Agar kepercayaan kita menjadi kuat, maka kita mesti memahami tentang cara penggunaan Google Map. lalu kita sampai tujuan kita mau kemana dan dimana kita berada. Terus apa yang terjadi ? Google Map memberi petunjuk jalan yang mesti dilalui, jalan motor atau mobil, dan selalu memberi jalan yang tercepat (terdekat). Tidak hanya itu, Google Map bisa memprediksi perjalanan kita, dan tinggal berapa dekat kepada tujuan. Dengan petunjuk itu, kita pun sudah percaya. Lalu ? kita mengikuti dan taat pada perintah Google Map. Bagaimana jika kita tidak taat kepada Google Map ? Kita semakin jauh dari tujuan, dan Google Map menuntun kembali dari lokasi kita dengan petunjuk baru. Kata mas Tukul,"Amazing". 

Dalam hidup ini sama seperti mbah Google tadi. Kita selalu mencari petunjuk lebih dari itu. Mbah Google itu mesin, kok kita percaya ? Bagaimana dengan Allah yang menciptakan kita dan yang menciptakan mbah Google juga lewat hambaNya ?  Adakah kita percaya tanpa ragu kepada Allah seperti halnya dengan mbah Google ? Bukankah Allah itu Jauh lebih Maha dari mbah Google. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, sedangkan mbah Google tidak. Allah membalas apa yang kita kerjakan, sedangkan mbah Google hanya sekedar memberi petunjuk (yang tidak bener 100%). Dengan menganalogi mbah Google itu, kita hendaklah memikirkan ulang tentang iman kita. Iman kepada Allah, yang telah menurunkan petunjukNya yaitu Al Qur'an, yang bisa menjawab semua keperluan kita, yang bisa membimbing kita dan yang mengizinkan semuanya terjadi.

Iman kita kepada Allah, mesti dimulai dari percaya (iman) itu sendiri yang Allah telah berikan kepada kita yang muslim. lalu ? Iya kita mesti memahami iman itu sendiri dengan mensyukuri dengan mengenal dan memahami Allah. Abis itu ? Kita mengikuti petunjukNya yang dengan bener dan semakin disempurnakan. Mengikuti petunjuk Allah itu mesti menjalani yang diperintahkan dan tidak mengerjakan yang dilarang, semua itu dikerjakan karena Allah. Mengikuti itu berarti mengerjakannya terus-menerus, maka taatlah kepada Allah, taat kepada Rasul yang diutus Allah, taat pula kepada pemimpin yang Allah rahmati, dan taat pula kepada petunuk yang Allah telah turunkan.

Alhamdulillah dengan kultum singkat ini, kita dapat memberdayakan diri untuk menjadi semakin baik. Dapat menjadi inspirasi dan motivasi untuk terus belajar dan meningkatkan iman kita kepada Allah.

Taqwa itu bagi akal sehat

 Malam ini saya belajar lagi dari petunjuk Allah. Dalam khutbah shalat Jum'at selalu disebutkan oleh penceramah untuk mengingatkan dirinya untuk menjaga ketaqwaan dan juga dinasehatkan kepada jamaahnya. Taqwa dimaknai untuk selalu taat kepada perintah Allah dan taat pula untuk tidak menjalani larangannya. Sabar dalam ketaatan menjadi penting.

Allah berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 197 ,"(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!"

Allah menyampaikan bahwa bekal yang baik itu adalah taqwa, dan taqwa itu bisa terjadi bagi mereka yang menggunakan akal sehatnya. Akal sehat mesti dipergunakan untuk berpikir dan memahami tentang petunjuk Allah. Jika malas, maka tidak mudah untuk menjadi taqwa, jika tidak mau mikir lebih lanjut, maka kita tidak menemukan maknanya, atau apa pun yang kita rasakan cenderung tidak menemukan taqwa itu. Akal sehat itu sejalan dengan taqwa, Akal sehat pasti ingin balasan Allah, maka menjalani perintah Allah itu lebih mudah. Akal sehat itu sangat ingin mengajak perasaan kita menjadi nyaman dan enak, maka akal sehat mengajak tubuh untuk mengerjakan perintah dan meninggalkan larangannya. 

Pergunakanlah akal sehat kita dengan terus memahami ilmu Allah baik dalam keadaan berbaring, duduk dan berdiri. Dengan demikian kita siap memelihara taqwa dalam setiap langkah kehidupan kita.

Pemberdayaan diri untuk meningatkan taqwa menjadi motivasi kita untuk hidup yang rahmati Allah. Insya Allah kultum singkat ini dapat memacu kita menjadi lebih baik lagi. Bersyukur dengan adanya akal sehat kita dengan terus mempergunakan akal sehat dengan petunjuk/ilmu Allah. 

Enak nggak sih berlibur ?

 Setiap Minggu banyak orang menghabiskan waktunya di tempat wisata atau tempat yang dirasa memberi kenyamanan. Puncak, Bogor menjadi tempat favorit untuk melepaskan lelah. Udara Puncak yang sejuk mendukung untuk beraktivitas santai yang bisa menurunkan otot-otot tubuh yang selama seminggu telah bekerja. Mungkin yang punya uang cukup bisa menghabiskan liburannya seminggu sekali. Tapi yang nggak cukup uangnya bisa jadi 1 bulan sekali atau bahkan lebih. Yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah mesti berlibur setelah merasa lelah dari bekerja ? Yang lelah itu yang bekerja, tapi yang lain jadi ikut. Bagi yang lain, apakah juga melepaskan lelah "kerja" ?

Yang pertama adalah setiap hari kita bekerja sampai malam, tentu perlu waktu untuk memulihkan keadaan kita untuk bekerja hari berikutnya. Kita sudah disiapkan waktu malam untuk istirahat, tapi beberapa orang malah bekerja sampai larut malam sehingga tidur di waktu malamnya merasa tidak cukup. Dilematis aja, kurang tidur atau kurang cerdas kerjanya atau hanya ingin menghabiskan waktunya saja (di malam hari biar disebut gaul). Yang menjadi anehnya adalah waktu kerja yang tidak cukup itu diterusin setiap hari dan tidak ada kemauan yang tinggi untuk mencerdaskan diri (intelektual dan spiritual) agar mampu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan berkualitas. Keadaan ini semakin terpuruk karena semakin hari keinginan (target kerja) semakin tinggi sedangkan ilmu tak sebanding, yang menyebabkan kita bekerja lebih lama (semakin malam).  Akibatnya tidur tidak cukup, dan butuhlah yang namanya liburan. Apakah kita menyadari ini ? kondisi yang tidak memperbaiki keadaan. Sudahkah kita selalu belajar setiap hari ? Mungkin beberapa orang merasa tidak ada waktu lagi untuk belajar karena disibukkan dengan pekerjaan.

Yang kedua, sepertinya kita merasa kerja sendirian. Maksudnya kita bekerja yang staf atau temanlah yang levelnya sama. pernahkah kita berpikir bahwa keadaan inipun tidak memberi kebaikan. Ada sedikit, tapi tak banyak. Kalau kita atasan, malah kita menghabiskan memberikan waktu dan ilmu, sedangkan untuk diri kita sendiri sudah tidak ada. Meminta bantuan ke siapa ? Mungkin teman yang baik. Bisa saja sesekali, tapi tidak bisa terus-menerus. kembali lagi kepada kita sendiri. Kalau kita tidak sanggup menerima keadaan ini, yang muncul adalah "emosional". Lagi-lagi "emosional" ini tidak ada baiknya buat kita. Belajar lagi sangat mungkin jika ada kemauan yan besar, hal ini bersaing dengan waktu kerja. Bisa diraih ilmu baru tapi tak prosorsional dengan apa yang kita emban. Saat kita merenung di malam hari dan pagi, sering hadir yang namanya Allah. Adakah kita merasa penting menggunakan Allah dalam kerja kita ? Merasa kurang percaya, apakah shalat bisa membuat kerja kita semakin baik ? Apakah sedekah kita bisa meringankan kerja kita ? Apakah niat yang ikhlas itu dapat menyakinkan kita Allah membalasnya dengan kecukupan ? Padahal pertanyaan ini sudah dijelaskan Allah dengan terang. Allah membalas apa yang kita kerjakan dengan ikhlas dengan balasan yang berlipat dan bahkan mendudukkan kita sebagai pemimpin. Semakin banyak sedekah semakin mudah bagi Allah mencukupkan dan menolong kita dalam pekerjaan kita. Jika kita ingat Allah, maka apakah tak cukup Allah membantu kita dalam kerja ? dan Allah pun menidurkan kita dan membangunkan kita kembali dengan keadaan fresh di pagi hari. Setiap malam Allah sudah menyiapkan kita untuk istirahat dan bekerja di siang hari. Setiap hari kita diberi kesempatan untuk mau menyerahkan jiwa kita pada setiap malam atau kita terpaksa tidur karena kelelahan. Apakah masih perlu berlibur ? Ya pasti masih perlu, kita bisa berlibur karena ingin bersama dengan keluarga.

Yang ketiga, apakah nggak bisa kita bekerja setiap hari seperti berlibur ? Kita menjawab,"mana mungkin". Mari kita pakai kata berlibur itu kan melepaskan lelah setelah seharian kerja. Pertanyaannya adalah bagaimana jika kita bekerja tanpa kelelahan yang berarti ? Apa bisa ? Perhatikan pelukis dapat menjadikan melukis itu sebagai yang menarik (hobby) sehingga sewaktu mengerjakan lukisan tidak terasa lelah. Artinya kerja melukis itu tidak menjadi beban tapi malah menyenangkan. Kita lelah bekerja karena cenderung menganggap kerja itu sebagi beban, berat dan melelahkan. Sedangkan berlibur itu enak dan menyenangkan. Konsep ini bisa kita diterapkan (mungkin tidak 100%), tapi dapat mengurangi kelelahan kita. Apa itu ? Bagaimana kalau kita kerja itu sebagai amanah Allah yang mesti kita pertanggungjawabkan dengan baik ? Semua itu bisa kita lakukan hanya dengan kerja yang ikhlas. Kerja ikhlas itu adalah menaruhkan kecintaan yang banyak pada kerjanya bukan berapa lama kita kerjanya. Insya Allah kerja yang ikhlas selalu diiringi dengan semangat (energi) sehingga kerja kita sangat kondusif. Senang mengerjakannya dan bahkan kita senang menghadapi masalah yang terjadi. Toh Allah selalu membimbing kita selama bekerja (selama kita ingat). Akhir waktu tetap ada kelelahan yang kita alami, tapi kelelahan ini sangat menyenangkan. Agar kerja kita ikhlas, maka dekatkan diri kita kepada Allah dengan memahami petunjukNya. Ikuti dengan belajar pengetahuan tentang pekerjaan kita agar mulai menyenanginya. Dan ciptakan setiap hari kita memiliki hal baru dalam bekerja. Masih ingin berlibur ? Beberapa orang menjadi "sakit" kalau nggak kerja. Berliburpun dijadikan waktu kerja dengan makna lain.

Terakhir yang dapat kita maknai dengan libur adalah libur itu sendiri bisa menjadi bagian dari kerja kita. Kita bukan lagi butuh libur untuk melepaskan kelelahan, tapi kita memerlukan libur untuk kerja yang lebih baik lagi. Insya Allah berlibur bukan saja melepaskan lelah, tapi menjadikan kita lebih baik. Habis libur tambah lelah dan sakit, itu artinya berliburnya tidak tepat. jangan sampai ya. Habis berlibur semakin bersemangat melanjutkan aktivitas lainnya.

Insya Allah kultum singkat membuka pikiran kita semakin bijak dalam hidup. Setelah itu mesti kita berdayakan diri untuk mengamalkannya. Inilah motivasi yang penting dalam hidup kita. Semua ini menjadi rasa syukur atas pemberian Allah dengan akal pikiran, hati, pendengaran, penglihatan dan tubuh ini. Maha suci Engkau, ya Allah. ajari kami, bimbing kami untuk menjadi hamba yang pandai bersyukur dengan mengoptimalkan apa yang telah Engkau berikan.

Sudahkah menyadari potensi kita ?

 Sebagai karyawan atau pekerja apapun, yang sering bicarakan adalah kesulitan dan tidak mudahnya mendapatkan rezeki Allah. Seolah kuluhan kita ini didengar orang lain dan mendapatkan solusi atau bantuan. Ternyata keluhan dijawab dengan hal sama, yaitu kesulitan yang sama. Beberapa orang mendengar dengan baik, tapi tetep saja mereka mengeluarkan masalah mereka juga. Keadaan ini tidak bisa membuka hati untuk dapat memahami banyak hal. Fokusnya hanya masalah dan kesulitan. Padahal disisi lain kita memiliki potensi untuk bisa menjalani kesulitan tersebut dengan aktivitas positif.

Banyak dari kita tidak ingin memahami potensi yang sudah kita miliki. Misalkan kemampuan berpikir (otak) kita. Apakah kita tidak mau berpikir lebih baik lagi ? Memanfaatkan potensi otak saja sudah cukup untuk menekan keluhan seperti di atas. Kok bisa ? Pemanfaatan otak untuk berpikir banyak hal dapat mendorong kita untuk beraktivitas dan tidak ada waktu lagi untuk bercerita kesulitan. Yang ada dalam pikiran kita adalah sangat menarik untuk terus berpikir yang positif. 

Setelah kita menyadari potensi berpikir kita, maka selanjutnya bukankah kita memiliki tubuh yang sehat untuk menjalani apa yang kita pikirkan. Apakah kita nggak mau bertindak atas pikiran yang positif ? Apakah pernah menyadari semua itu sebagai pemberian Allah, yang Maha rahman dan rahiim ? Lihat itu semua dengan hati, bersihkan hati agar dapat melihat itu semua dengan banyak istighfar. Iman yang sudah ada adalah modal untuk melihat pemberian nikmat Allah tersebut, ada niat dan semangat dari sikap untuk memaksimal potensi (nikmat) yang ada pada diri kita. Allah sudah menjanjikan balasan kebaikan dari apa yang sudah kita pikirkan yang positif dengan satu kebaikan, dan saat kita melaksanakannya mendapatkan balasan 10 asmpai 700 kali lipat. Bayangkan apa sih yang kita dapakan dari selain Allah ?

Menyadari potensi kita itu seperti kita merasa ada potensi uang yang kita miliki, maka uang yang miliki itu pasti dimaksimalkan penggunaannya. Sama halnya kita memiliki orang tua, maka potensi orang tua itu dapat kita mintakan restu dan doanya. Jadi kuncinya tanpa menyadari potensi yang sudah kita miliki, kita tidak mampu memaksimalkannya dengan baik. Agar proses menyadari potensi ini semakin sempurna adalah kita menemukan cara memanfaatkan (belajar ilmu) agar tidak berat untuk memaksimalkannya. 

Insya Allah tulisan mengingat kita semua agar selalu bersyukur atas apa yang kita sudah miliki, dan bukan ingin memenuhi apa yang tidak kita miliki tanpa menyadari potensi kita. Siapkan diri untuk belajar dan bertindak sesuai dengan petunjuk Allah dalam menyadari potensi kita dan siap pula dengan keyakinan mampu beramal (bertindak yang baik).

Sabar dan cerewet

 Menjadi orang sabar adalah impian semua orang, perilaku yang cerewet itu sangat tidak sukai banyak orang. Lalu membayangkan tidak ada yang cerewet didunia ini, kayaknya sepi. Dan memang keadaan ini tidak terjadi. Sabar dan cerewet adalah 2 sisi dari mata uang, yang satu cerewet dan yang sisi lain sabar. Bisakah saya sabar dengan lawan hidup yang cerewet ?

Orang berpandangan bahwa orang sabar terjadi jika orang lain sabar. Orang yang ingin sabar selalu berharap tidak bertemu orang cerewet. Logika kita membenarkan ada laki-laki dan perempuan, ada positif dan negatif, dan seterusnya. Semua berlawanan, tapi sebenarnya Orang sabar bikin orang lain tidak sabar (cerewet), sebaliknya orang cerewet bikin orang sabar. Jangan langsung komentar, tapi renungkan lebih dalam. 

Kita dilatih menjadi sabar karena keseringan bertemu orang cerewet, terkadang kita bilang,"kok ada ya orang cerewet begitu". Orang cerewet itu tidak ada yang ingin terjadi, cerewet itu terjadi karena sudah membiasa tanpa disadari. Cerewet adalah ungkapan rasa kecewa yang membangkitkan emosional. Lihat keadaan yang tidak bersih setiap hari, bisa membuat orang kecewa dan cerewet untuk menyelesaikannya. Apa yang terjadi saat kita menghadapi orang cerewet setiap hari ? Apa yang menjadi isi dari cerewet segera kita selesaikan agar kita tidak mendengarkan cerewetan lagi. Atau dengan tenang kita menjawab cerewet itu dengan sikap yang berbeda yang menenangkan yaitu sabar. Sabar bukan sekedar tenang mendengarkan cerewetannya, tapi mulai menjalani isi ceretannya. 

Ingin jadi sabar ? hadapi mereka yang cerewet. Bagi yang cerewet mungkin rugi, dan kitalah yang beruntung jika merespon positif (sabar). Langkah menjadi sabar itu adalah tidak panik atau responsif sehingga membangkitkan keadaan kita untuk mau jadi pendengar yang baik. Dengan menjadi pendengar yang baik, dapat membuka hati untuk mau berempati dan mau membantu orang yang cerewet itu menjadi lebih baik. Kita dapat memahami cerewetannya karena kita mampu mendengar dengan baik dan berempati, lalu kita memberikan melaksanakannya. 

Dalam sudut pandang lain, orang cerewet menjadi sebuah kebutuhan untuk mengingatkan orang menjadi baik. Penyeimbang agar balance. bayangkan tidak ada orang cerewet, maka kita bisa berjalan tanpa kontrol atau pengingat. Kalau sudah begini, cerewet menjadi profesi yang jauh lebih bijak. Cerewet bukan lagi "marah-marah", tapi memberi masukan. Kita sering bilang,"yang begini aja diingatkan, saya sudah tahu". Jika yang kecil saja sering dibicarakan semakin membuat kita tidak sabar. Disinilah kita diuji bisa sabar atau tidak ? Bersabar itu bukan urusan logika, tapi urusan hati. Bahkan saya membayangkan ketika saya bicara sendiri, "ayo bersihkan aja dulu, nanti dicerewetin loh tentang kebersihan", dimana saya menciptakan saya sendiri cerewet dan menuntaskannya sendiri cerewetnya. langkah yang antisipatif yang baik, karena awalnya ada yang cerewet dan membangkitkan saya dengan kesadaran sendiri.

Saya membuat level sabar dan cerewet itu sebagai berikut :

1. Level dasar adalah sabar terpaksa, dengan cerewet yang cenderung emosional

2. Level menengah adalah sabar karena tidak ingin berhadapan orang cerewet sehingga melakukan langkah antisipatif

3. Level tinggi adalah menciptakan sabar dan cerewet itu dalam diri sendiri. Kita mengempati orang yang cerewet dalam diri kita, lalu kita melakukan langkah perbaikan agar orang tidak cerewet (tidak terjadi). Saat kita menghadapi orang cerewet yang terjadi adalah komunikasi yang baik, sama-sama menjadi sabar.

Dimanakah tingkat sabar dan cerewet kita ? Insya Allah kita bisa belajar untuk semakin tinggi level. Tidak "membenci orang yang cerewet", tapi ingin memberi kebaikan agar orang cerewet menyadari keadaannya. Cerewet sebagai media mengungkapkan peringatan kepada orang lain bisa digantikan dengan lebih bijak.  Dengan hati semua orang bia mendapatkan kebaikan.


Bisa juga sabar itu sebagai langkah bersyukur kita, karena kita memiliki hati  untuk merespon dengan lebih baik. Sudahkah kita memanfaatkan hati dalam merespon perilaku orang lain terhadap kita ? Lihatlah dalam ketenangan, Allah telah memberitahu kita bahwa hati itu lebih baik dari logika dan emosional. Petunjuk sudah Allah sampaikan kepada kita, "Allah bersama orang yang memilih sabar". Apakah kita masih tidak bersyukur dengan hati dan petunjuk bener ? Kalau kita menggunakan emosional kita, atau logika karena ada kepentingan, maka kita termasuk orang yang kufur. Insya Allah bukan sekedar menjadi sabar pada level tinggi, tapi jauh lebih tinggi lagi dengan bersyukur untuk memilih sabar.










Manajemen syukur, melihat nikmat

Manajemen syukur, saya menyenangi manajemen ini karena berbasis kepada kemampuan dan potensi yang ada. Memaksimalkan potensi yang ada untuk ditingkatkan menjadi bernilai lebih, dan tentu hasilnya ada sesuai apa yang dikerjakan. Manajemen syukur ini tidak memberi tekanan yang berarti sehingga saat mengerjakan (memaksimalkan) potensi yang ada dengan perasaan senang. Saya menekuni manajemen syukur ini sebagai langkah solusi buat kinerja yang lebih tinggi.

Manajemen syukur adalah manajemen yang didasari iman kepada Allah. Allah sendiri yang mengajarkan manajemen syukur ini lewat ayat 7 dari surah Ibrahim. 

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. [14] Ibrahim : 7)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad, telah menceritakan kepada kami Imarah As-Shaidalani, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa seorang pengemis datang meminta-minta kepada Nabi Saw. Maka beliau memberinya sebiji buah kurma, tetapi si pengemis itu tidak mau menerimanya. Kemudian datanglah seorang pengemis lainnya, dan Nabi Saw. memerintahkan agar pengemis itu diberi sebiji buah kurma pula. Maka pengemis itu berkata, "Mahasuci Allah, sebiji buah kurma dari Rasulullah." Maka Nabi Saw. bersabda kepada pelayan perempuannya, "Pergilah kamu ke rumah Ummu Salamah dan berikanlah kepada pengemis ini empat puluh dirham yang ada padanya."

Manajemen syukur mengajari saya untuk beberapa hal :

Bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan. Pada point ini banyak orang tidak melihat apa yang telah Allah berikan, yang dapat dimanfaatkan menjadi bernilai lebih. Mereka condong melihat apa yang belum dimilikinya, yang membuat mereka lalai dengan apa yang sudah diberikan Allah.

a. Allah telah  memberi saya dan manusia dengan nikmat yang tidak terhitung banyaknya. Di awal kelahiran saya, Allah telah memberi pendengaran, penglihatan dan hati. Ada saya bersyukur dengan hal itu. Sudahkah sampai hari ini, saya bersyukur atas pendengaran, penglihatan dan hati ? Sudahkah saya memanfaatkan pendengaran untuk mendengarkan ayat-ayat Allah ? Demikian juga dengan penglihatan saya. Apakah yang saya dengar dan saya lihat ... mampu saya pahami dengan hati ? Dalam kenyataannya, saya jarang memanfaatkan hati untuk memahami. Saya lebih memahami dengan pikiran dan emosional saja.

b. Allah juga telah memberikan nikmat, apa saja ? Nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat sehat. Nikmat iman atas izin Allah, dan tidak semua orang mendapatkannya. Sepantasnya saya mensyukurinya dengan menguatkan iman itu dengan berbagai ibadah dan amal saleh. Tapi saya dan beberapa orang hanya menjalankan sebagai ibadah yang rutin tanpa makna. 

c. Allah pun telah menundukkan alam semesta ini untuk keperluan manusia. Sudahkah saya merasakannya ? Salah satu alam semesta itu adalah keluarga. Sudahkah saya bersyukur dengan orang tua yang selalu mengingatkan, mendoakan dan memberi nasehat kebaikan untuk hidup ini ?  kehadiran orang tua tidak menjadi bermakna untuk kehidupan saya, sehingga rasa syukur itu tidak ada. Jika memang orang tua itu ada, bukankah saya ingin membahagiakan mereka. Bagaimana dengan isteri, anak dan saudara ?

d. Allah telah memberi izin atas kerja saya hari ini. Amanah ini Allah berikan agar saya bisa bertanggung jawab. Tapi mengapa sampai hari ini, saya tidak kerja dengan kinerja yang luar bisa sebagai rasa syukur . Yang ada saya lebih sering mengeluh dan meminta "uang" yang lebih dengan apa yang saya kerjakan. Bukankah saya mesti kerja dulu dan mempertanggungjawabkan dengan luar biasa.

e. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, Tak hanya itu saya pun telah diberikan potensi berupa pikiran, tubuh, pendengaran, penglihatan dan hati. sudahkah saya merasakan potensi tersebut ? Sudahkah saya merasakan hati, dimana hati itu media saya untuk menerima petunjuk Allah. 

Saya mengajak diri saya sendiri untuk melihat dengan mata dan hati agar saya sadar dengan nikmat Allah itu. Hati yang bersih mengajak saya untuk mengakui Allah itu Maha Esa dan Maha Besar, Allah juga Maha berkuasa. Pengakuan ini dapat mengantarkan saya memuji Allah. Langkah awal ini menjadi penting untuk melanjutkan proses bersyukur selanjutnya. Tanpa ini kemungkinan besar saya bersyukurnya tidak kuat atau tanpa dasar yang kuat.

Sampai sini, saya menyadari bersyukur itu adalah langkah yang diminta Allah kepada saya. Karena Allah telah memberi nikmat yang banyak kepada saya. 


Saya meneruskan tulisan manajemen syukur ini pada tulisan selanjutnya.


Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...