Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

bersyukur dimulai melihat potensi

 Apa sih yang dilakukan dengan bersyukur ? Banyak dari kita menafsirkannya dengan berterima kasih dan menerima dengan ikhlas. Misalkan bersyukur dengan gaji. Menerima gaji dengan ikhlas, tapi terkadang kita ikhlas dengan masih adanya keluhan,"gajinya nggak cukup dan curhat banyaknya kebutuhan yang ditekan dan sebagainya". lalu kita pun berterima kasih dengan mengucapkan Alhamdulillah dan berterima kasih. Dari waktu ke waktu, kok sudah bersyukur tapi tidak memperbaiki keadaan kita ? Petunjuk Allah, "bersyukur ditambah nikmatnya".

Bagaimana sih sikap bersyukur yang baik itu ? Sebenarnya cerita di atas itu menyatakan bersyukurnya belum sempurna. Masih ada keraguan dengan petunjuk Allah. keraguannya ditunjukkan dengan keluhan dan tidak memperbaiki dengan kerja dan ibadah yang semakin meningkat. Maka petunjuk di atas ada lanjutannya,"jika tidak bersyukur maka tunggu azab Allah". Bisa jadi tidak ada perubahan dalam hidup kita karena kita tidak bersyukur (syukur yang tidak yakin seperti di atas), maka kita menerima azab, kesulitan dan penderitaan.

Kita dibalas Allah atas apa yang kita kerjakan. Jika ingin bertambah nikmatnya berarti kita bersyukur dengan meningkatkan jumlah dan nilai kerja kita. bagaimana kita kerja yang lebih banyak dan berkualitas ? Pertama kita mesti melihat potensi (apa yang kita miliki) yang disebut juga nikmat saat ini. Saat kita merasa nikmat itu adalah pemberian Allah, maka kita pun memuji Allah atas nikmat saat ini. Pemberian Allah ini tidak mungkin kita "diamkan" tanpa menghadilkan kerja yang lebih baik, maka bersyukur mengajak kita kerja yang lebih lagi. Tambah kerjanya, kualitaskan kerja kita. Karena kerja yang tambah dan kualitas kerja yang lebih tinggi inilah Allah melihat kita bekerja untukNya, maka Allah balas dengan ditambah nikmatNya. Begitulah bersyukur yang bisa kita kerjakan lebih baik.

Lihatlah potensi (nikmat) atau kekuatan kita, dengan mengakui dan merasakan nikmat potensi tersebut. lalu pujilah Allah dengan pemberian itu. Ya Allah ya Maha Pintar yang telah memberi pikiran dan ilmunya, maka mulai maksimal berpikir yang lebih dengan memanfaat tubuh dan potensi sekitar kita. lakukan dengan petunjuk Allah. Setelah kita bisa melakukan kerja sampai tuntas, lalu tambahkan lagi kuantitas kerja tersebut atau tingkatkan kualitas kerja tersebut agar setiap periode kita menjadi lebih baik.


1. Saat awal, kita bertanya apa yang bisa dilakukan dalam kerja. kerjakan.

2. Tambahkan ilmu dengan potensi silaturahmi (belajar dengan orang lain) dan kita bisa mengerjakan lebih baik

3. Selanjutnya bagaimana cara kita untuk meningkatkan nilai kerja yang sudah dilakukan ? Beberapa jawaban langsung dijalankan, Insya Allah kita menjadi lebih berkualitas kerjanya

4. Apa yang bisa kita tingkatkan lagi dari nilai kerja kita ? Jika jawaban memerlukan beberapa hal, maka pelajari dan pahami dengan belajar lagi.

Langkah bersyukur itu mesti membuat kita sadar untuk memperbaiki keadaan dengan kemampuan yang ada secara terus-menerus. Kerja dan kehidupan kita menjadi dinamis dan berkembang. Begitulah sikap dan perilaku bersyukur.


kerja yang suka aja 2

Sebelumnya saya sudah menulis kerja suka aja 1 yang berisi, menjadikan yang tidak disukai mulai disukai dengan cara belajar ilmunya agar kerja yang tidak disukai itu dapat dipahami. Temui cara mudah dan nyamannya. Selanjutnya saya berbagi bagaimana cara lainnya ?

Misalkan saya tidak suka membuat laporan, karena ribet dan lama. Langkah pertama saya belajar bagaimana membuat laporan yang nyaman dan mudah. Saya belajar ilmunya dan apa yang dibutuhkan oleh penerima laporan. Bisa jadi saya sudah tahu bahwa membuat laporan itu tidak ribet dan tidak lama, tapi masih berat aja. Keberatan ini membuat saya males dan masih belum suka. Keadaan ini solusi dengan ilmu atau logika. Bagaimana dengan hati ?

Apa bisa dengan hati bisa membuat saya suka ? Bagaimana caranya ? Sebenarnya saya bisa menggunakan hati asal hati saya terbuka dan tidak dipengaruhi oleh nafsu/berpikir emosional. Memahami dengan hati itu adalah mereferensikan kepada Al Qur'an. Saya mulai pertanyaan, siapakah yang memberi saya pekerjaan ? perusahaan atau atasan, tapi hati menjawab bahwa pekerjaan ini adalah amanah dari Allah yang telah mengizinkannya kepada saya. Karena ini amanah, saya pun mesti bertanggung jawab kepada Allah, BUKAN sekedar kepada atasan atau siapa saja yang meminta laporan tersebut. Mungkin bertanggung jawab itu belum membuat saya ikhlas, jika membuat laporan itu adalah ibadah dan menjadi amal saleh saya. Barulah saya merasa senang untuk mengerjakannya. Karena membuat laporan itu untuk kebaikan saya dimana bisa menjadi pembuka pintu rezeki saya. 

Dengan pemahaman di atas saya yakin membuat laporan mulai disukai dan berjalannya waktu saya pun dapat menikmati hasilnya. Hasil yang saya rasakan dan saya dapatkan diantaranya kepercayaan dan laporan saya menjadi dibutuhkan orang. Keadaan ini menjadikan saya semakin menyukainya. Saya membayangkan satu kerja yang tidak disukai sudah bisa disukai, maka ada dampak berikutnya untuk menjadikan yang tidak disukai lainnya menjadi disukai.


Hidup semakin bahagia karena pemahaman dengan hati itu mengantarkan saya semakin menikmati hidup dengan apa yang saya sukai semakin banyak. Kalau sudah suka, maka saya pun selalu ingin meningkatkan jumlah dan kualitasnya. 

Berbuat baiklah

 Terkadang memang berat untuk berbuat baik (kebajikan), karena memang pasti dilawan oleh setan yang menggoda kita dengan berbagai cara. Mulailah kita digoda dengan,"itu kan bukan kerja kamu, ntar keenakan orang lain" sampai,"kalau udah berbuat baik itu sampaikan ke orang bahwa itu saya yang kerjakan". Apalagi kita juga merasa sok sibuk sehingga tidak ada waktu. Mau berbuat baik ntar juga tidak direspon sama orang juga kok ?


Begitulah kita digoda untuk tidak berbuat baik. Itulah pikiran logis yang diajak untuk mengerjakan hal yang menguntungkan bagi kita dan diajak tidak nyaman untuk berbuat baik itu. Padahal petunjuk yang saya tulis dari referensi yang mutlak kebenarannya. Siapa yang berbuat kebaikan dengan iman, Allah menghapus kesalahan kita dan diperbaiki keadaan kita. Ada orang yang tidak mau dihapus kesalahannya. Bukankah kesalahan yang dihapus itu semakin membersihkan hati yang membuat kita semakin mudahberbuat baik. Apakah ada orang yang tidak mau diperbaiki keadaannya menjadi lebih baik ? Bukankah kehidupan yang lebih baik itu menjadi keinginan kita ? Yuk kita berbuat baiklah karena Allah membalasnya dengan yang lebih baik.

Petunjuk ada di hati

 Kalau saya belajar dengan pikiran. Semua itu terjadi atas izin Allah. Sudah belajar tapi tidak paham, atau sudah paham tapi tidak mudah dikerjakan. Dengan bersungguh-sungguh belajar bisa jadi kita mendapatkan ilmu dan pengamalannya.


Kalau ingin merasakan senang, maka dengan mudah kita bisa mencari dan menemukan lokasi yang membuat kita senang. Tapi bisa saja perasaan kita tidak bisa senang karena ada masalah. Keinginan kita untuk senang atas izin Allah.

Yang memberi izin segala hal adalah Allah, termasuk musibah, kesulitan, masalah. Allah mengizinkan terjadi karena ulah perbuatan kita sendiri. Bisa jadi musibah yang mestinya menimpa kita dapat dicegah karena kita memohon maaf atas kesalahan dan berbuat baik. 

Allah memberi petunjuk bagi kita di hati untuk melewati musibah dengan baik, jika hati kita mau menerimanya. Hati yang mau menerima tentunya tidak ada "setan" atau selain Allah, hati yang tersambung dengan Allah, hati yang percaya tanpa ragu kepada Allah, hati yang mendorong ikhlas untuk berbuat baik, hati yang suka dibersihkan dengan istighfar dan zikir kepada Allah. 

Dengan hati yang mau menerima petunjuk, Insya Allah kita bisa belajar dan mengamalkan ilmu, bisa merasakan perasaan yang baik (senang) dan bisa berbuat yang baik.

Orang merasa bersalah pasti kerjakan yang baik

 Dalam hidup banyak pesan yang saya bisa dapatkan, terkadang tidak sengaja pesan itu saya dapatkan. Alhamdulillah hati dapat melihatnya dengan bener. Mungkin rekan-rekan juga pernah mengalaminya. Kalau dipikir nggak baiknya, apalagi perasaan kita. Misalkan saya menanyakan sesuatu kepada staf dengan mendekatinya,"pekerjaannya sudah selesai ?" Niatnya memang ingin bertanya saja, tapi staf tadi jadi merasa bersalah karena melakukan hal lain. Minta maaf dan berpura-pura sedang mengerjakannya. 

Ada hikmah dari contoh di atas, mesti ada kontrol dan minimal bertanya mengingatkan seseorang atas apa menjadi pekerjaannya. Hal ini dapat terjadi kalau saya memahaminya dengan hati. Kalau logika dan emosi, pasti tidak suka dan marah pada saat menemukan staf yang tidak mengerjakan tugasnya dan malah "bermain". 

Misalkan lagi anak saya ditanya,"udah belajar". Maka reaksinya pasti menunjukkan sedang belajar. Belajarnya hanya ingin merespon agar terlihat belajar. Tetapi selanjutnya bisa jadi anak saya belajar, dan seiring waktu dan tidak ditanya lagi. Belajar pun berhenti. Padahal saya hanya bertanya saja dan tidak ada niat memerintahkan belajar. 

Saya membayangkan jika saya mengingatkan seperti hal di atas menjadi periodik, maka bisa berdampak baik kepada yang diingatkan. Ada semacam tanda, misalkan waktu atau suasana yang membuat yang menerima pesan jadi siap-siap untuk menjawab pertanyaan. contoh lain adalah hanya bertanya,"sudah shalat belum ?" maka respondnya banyak yang segera shalat, "ini lagi mau shalat". Seolah memang saat ditanya sedang mau shalat. Begitulah yang terjadi dalam sehari-hari, tapi bagi mereka yang tidak peduli dengan pesan itu bisa menjadi khawatir bahwa mereka diketahui tidak dalam mengerjakan apa yang dipasankan. Ada takut dan marah, akhirnya orang diingatkan menjadi "basa-basi" waktu mengerjakan hal baik itu.


Hikmah lain adalah saya dapat melihat orang berbuat baik menjadi tidak ikhlas, apa yang dikerjakannya ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang tidak nyaman dilihat. Hati saya dapat merasakannya. Keadaan ini bisa memancing emosi, tapi ingatlah bahwa saya tidak ingin menutupi hati yang sudah terbuka. Insya Allah banyak ilmu dan hikmah yang saya bisa dapatkan dari kehidupan ini, asal memahami dengan hati.

kekuatan dan impian

 



Kerja yang suka aja 1

 Kerja atau beraktivitas apa yang disukai aja, bener nggak ? Kayaknya bener. Apakah ada yang saya sukai tidak dikerjakan ? Bisa jadi tidak dikerjakan karena ada kerja lain yang lebih penting. Yang lebih penting itu apa ? Kerja yang seharusnya saya lakukan karena memang tanggung jawab saya atau rutinitas atau karena kebutuhan. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kerja/aktivitas yang tidak disukai ? Apakah dikerjakan dengan "terpaksa" ?

Paling sederhana adalah saya suka menulis, maka saya banyak menghabiskan waktu untuk menulis. Menulis yang menjadi pengetahuan dan pengalaman saya. Menulis itu menarik bagi saya, dan tanpa disadari sering mengatakan "bagus loh menulis itu dengan segala keuntungannya" kepada orang lain. Padahal tidak semua orang suka menulis. Kalau bukan ada hal lain, maka saya terus menulis. Menulis terus membutuhkan ilmu yang masuk, maka membaca menjadi aktivitas yang senangi juga. Terkadang ada malesnya membaca, padahal membaca itu bagian dari menulis (satu paket). Sebenarnya menulis lebih saya sukai dari membaca, tetapi seiring waktu membaca juga menjadi yang disukai. Saya mengerjakan dua hal ini dengan senang hati dan hasilnya memang ada. Tak hanya aktivitas yang sukai menulis dan membaca bisa merembet kepada hal lain yang terkait, saya suka membuat video atau presentasi (bagian dari jenis dari menulis), saya suka banyak tanya untuk menggali data dan informasi, dan banyak lagi. Membayangkan ada orang yang suka belanja, juga suka jalan-jalan, juga suka petualangan, suka fashion, suka mengendarai dan sebagainya. Tetapi banyak dari kita hanya suka satu hal saja, dan tidak mau ingin suka hal yang terkait dengan kesukaan yang utama ?

Sebenarnya kerja juga demikian, ada yang terpaksa mengerjakan. kerja cari duit, tidak suka tapi harus. Bukankah kerja memberi support kepada kerjaan lain yang saya sukai. Apa bisa saya menulis tanpa duit untuk membeli laptop, membayar listrik, membayar internet ? Mengapa saya tidak menyukai kerja, padahal kerja itu bagian dari menulis yang saya sukai ? Secara logika saya bisa menyukai kerja karena hal itu berdampak kepada kesukaan saya yang lain. Tapi dalam prosesnya, perasaan saya (atau emosional) saya menolak aktivitas lain (kerja) sekalipun terkait karena merasa menambah waktu, membuat aktivitas fisik lebih dan bikin lelah, dan menambah resiko lainnya. Semua itu membuat rasa tidak nyaman, maka dengan banyak aktivitas terkait itu melawan berpikir logika di atas. Yang menang adalah emosional saya. Saya menyukai menulis, tapi terpaksa membaca, terpaksa kerja untuk dapat duit, terpaksa juga untuk hal lain. Disinilah saya sadar masih ada penguasaan dari emosional saya dalam menyikapi kerja/aktivitas dengan tidak bener. Akibatnya saya hanya mengerjakan satu hal yang saya sukai saja. 

Saya menyadari sekarang bahwa saya menjadi tidak mudah untuk menjadi semakin produktif (semakin hebat) karena banyak kerja/aktivitas yang tidak terpaksa saya lakukan. Akibatnya saya gampang "bete", saya mudah lelah, saya merasa terbebani dan banyak lagi yang tidak baik bagi diri saya. Apalagi apa yang saya sukai itu tidak tersalurkan dan tidak ada waktunya.

Saya mulai mengaitkan apa yang saya sukai itu dengan kerja/aktivitas yang mendukung (terkait) sebagai bagian dari proses menjalankan apa yang saya sukai. Masak sih saya hanya berdoa agar apa yang saya sukai tidak diganggu orang lain atau dimudahkan ? Kan tidak mungkin saya bisa menulis tanpa ada uang secukupnya ? kan tidak mungkin juga saya bisa menulis tanpa membaca atau menggali informasi ? kan tidak mungkin saya bisa menulis tanpa menyenangi kerja (cari duit) untuk membiayai saya menulis ? Saya mesti jawab semua itu dan saya mesti merubah sikap untuk menyenanginya.

Saya menyukai sesuatu karena nyaman dan sebagainya, peran perasaan atau emosional saya yang kuat. Salah satu caranya kerja/aktivitas yang lain yang tidak saya sukai juga karena pilihan oleh perasaan saya. Berarti saya bisa merubah perasaan saya itu dari terpaksa (tidak disukai) menjadi suka. Perasaan saya bilang,"nggak bisa", tapi perasaan positif saya ingin menyukainya. Keadaan ini saya membutuhkan logika (ilmu) terhadap apa yang tidak disukai. Jika saya memiliki ilmu yang membuat yang tidak disukai itu menjadi menarik atau mudah, maka perasaan saya bisa menyukainya. Jadi sikap menyukai memang dasarnya karena nyaman, mudah, menarik. Untuk itu saya bisa membuat semua saya sukai, asal saya memiliki ilmu untuk menjadikan nyaman, mudah dan menarik.

Yuk sekarang saya mengajak saya sendiri mulai belajar untuk membuat yang saya tidak mau saya kerjakan itu, yang saya kerjakan terpaksa, yang saya tidak sukai menjadi mulai disukai. Tak terbayangkan dengan banyaknya kerja/aktivitas yang saya lakukan dengan suka, maka hidup ini menjadi bermakna. 

Hanya kepadaMu kami bergantung

Dalam kehidupan berkeluarga, anak dan isteri menggantungkan kebutuhannya kepada suami atau bapak. Atau setiap melakukan sesuatu yang penting mesti izin dulu kepada bapak. Izin diberikan mengikuti syarat yang dimiliki bapak. Jika izin itu tidak diperkenankan maka tidak boleh dijalankan atau kalau terjadi juga, ada dampak yang direspon bapak terhadap kesalahan tersebut.

Dalam berorganisasi dalam perusahaan kita kerja. Tentu sama halnya dengan berkeluarga di atas. Atasan atau yang lebih tinggi lagi direktur atau pemilik memiliki kuasa untuk memberikan izin kepada karyawannya untuk melakukan sesuatu. Karyawan atau atasan bergantung atau menggantung nasibnya kepada pimpinan tertinggi.
Soal ketergantungan ini dalam keduniaan masih ada sisa pertanyaan, yaitu kepada siapa bapak atau pimpinan tertinggi bergantung ? Bagaimana juga ketergantungan keluarga yang tidak diketahui bapak karena pengetahuan yang terbatas atau tidak dapat melihat 24 jam aktivitas keluarga ? Sama halnya dengan karyawan. Yang jadi pertanyaan juga bahwa kita sebagai bapak atau pimpinan perusahaan tidak bisa menjamin apapun atas ketergantungan itu. Misalkan anak minta uang, apakah bapak mau memberi uang sesuai permintaan anaknya ? belum tentu. Dan sama halnya dengan karyawan, apakah pimpinan dapat selalu menjamin atas permintaan karyawan ? Jawabnya tidak. Lalu bagaimana ?

Ketergantungan semua di atas tidak mutlak, kita hanya bergantung kepada yang menciptakan kita, Allah Maha Pencipta, yang Tahu segalanya dan berkuasa atas segala sesuatu. Hanya kepada Allah lah kita bergantung. Rezeki Allah yang berikan, Izin Allah yang berikan, Pertolongan yang Allah berikan kepada semua oang, Maha Penerima Taubat, Allah siap menerima kesalahan  kita dan dapat menghapus kesalahan kita. Mau kita sebutkan semuanya ... Allahlah yang Maha mengurus segala makhluknya termasuk alam semesta. Allah itu hanya satu dan tidak beranak dan tidak diperanakan, serta tidak ada yang setara denganNya. 

Masak sih kita merasa bisa mengerjakan banyak hal dengan mengesampingkan peran Allah. Atau saat kita merasa memiliki segala hal, maka saat itu pula kita merasa berkuasa. Sehebat apapun manusia, tetap saja menggantung hidupnya kepada Allah. Apapun itu, siapapun dan dalam hal apapun. Allah itu Esa, Maha Besar.  

Ada gengsi dan ada harga diri

Apa yang terjadi jika kita saling tidak mau mengalah ? Paling bagus kita saling diam dan tidak menegur sapa. Komunikasi ada tapi dalam hati selalu muncul konflik yang terjadi dan hanya bicara sebatas perlunya saja. Terus mau bagaimana lagi ?
Tidak saling mengalah itu adalah peran emosional kita yang menguasai pikiran kita. Jarang menang dan dipastikan ilmu logika kita kalah. Ada gengsi yang tidak ingin gengsinya hancur, ada harga diri yang mesti dibela (masak sih saya mau mengalah), ada merasa sudut pandang kita yang bener (ego kita), dan ada sentimen tertentu yang menutupi ilmu logika kita. Ilmu kita bilang,"konflik itu tidak baik atau bertemen itu yang bener dan sebagainya". 
Kadang selagi emosional itu turun atau mereda seiring waktu, ada keinginan untuk mengalah saja agar memberi kebaikan. Tapi dengan sangat cepat, emosional itu muncul lagi. Semakin kuat materi konflik itu semakin menyimpan kuat dalam memori kita untuk selalu muncul. Karena ada kepentinganlah biasanya mengalah itu terjadi dan secara terbuka tidak mengalah, tapi berbaikan lagi.
Tumpukan konflik yang sering terjadi, mengalah atau tidak mengalah membuat tumpukan memori yang siap merusak pola pikir kita dan bahkan menggerogoti keikhalan kita bekerja yang berhubungan dengan orang yang berkonflik. 
Ada cara yang lebih santun yaitu meminta maaf yang diajarkan oleh agama. Tapi kadang ajaran ini pun masih ditentang emosional kita, meminta maaf itu berarti kita salah. Masak mau sih mengaku salah ? Ilmu agama ini dapat dikuatkan dengan keyakinan tanpa ragu kepada Allah. Mesti beriman dengan petunjuk ini memberi kebaikan bagi kita. Masak sih Allah yang Maha Pencipta tidak tahu yang baik bagi manusia ? Alalh Maha Tahu dan untuk itu Allah turunkan petunjukNya agar diikuti, yang kebenarannya mutlak. Kuatnya kehadiran Allah di hati, yang membuka kehadiran Allah dapat menekan godaan apapun dari emosional kita atau setan yang tidak suka manusia dekat kepada Allah.

Insya Allah kita belajar dari konflik yang ringan sampai berat. Beberapa fakta, konflik uang Rp 1.000 saja bikin saling membunuh. Hanya karena tersinggung saja bikin perkelahian dan banyak lagi. Kita pasti tidak ingin terjadi saat emosional itu mereda dan akal sehat bilang, kok bisa terjadi ? Ubahlah diri kita menjadi lebih baik dengan belajar dari setiap konflik yang terjadi. Insya Allah hati ini semakin bersih dan mengantarkan kita bersikap yang bener dalam hidup ini. 


Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...