Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Saya tidak mau beriman

Judul di atas kayaknya nggak bener, tapi jangan protes dulu. Jika didalami dan melihat fakta pada diri kita atau kebanyakan orang, maka rasanya kita melakukannya. Melakukan apa ? Hampir banyak hal yang kita lakukan itu bernilai tidak beriman. Yang paling sederhana adalah kita tidak memanfaatkan waktu dengan hal baik. Memilih santai atau istirahat dibanding dengan berbuat kebaikan.
Bisa jadi Anda protes, tapi saya tunjukkan masih banyak hal negatif kita lakukan seperti berbuat zalim atau berbohong dan sebagainya. Bukankah semua itu adalah perbuatan dimana kita lagi tidak beriman ? 
Jika ditanya mau beriman nggak sih kita ? Jawabannya iya. Tapi seperti keinginan untuk beriman itu hanya lisan saja dan tidak melakukan upaya yang besar untuk beriman. Bahkan kita bilang,"mengalir aja". Contoh kemauan kita untuk beriman tidak ditunjukkan oleh keinginan kita untuk meningkatkan ibadah seperti shalat. Pernahkah dan seberapa sering kita berupaya untuk meningkatkan kualitas shalat ? Atau lebih detail lagi, adakah kita membaca pengetahuan tentang shalat yang semakin baik ? Ternyata kemauan tinggal hanya kemauan, tapi tidak diikuti upaya yang serius untuk melaksanakannya. Dengan demikian apa yang kita lakukan selama ini bisa jadi kita "tidak" mau beriman.
Disisi lain kalimat "saya tidak mau beriman" bermakna positif bagi otak. Karena kata "tidak" tidak membuat kita tidak beriman ... Yang membuat kita penasaran bahwa mengapa mau beriman ? Dalam hal ini saya contohkan, anak kecil jika dilarang "tidak boleh naik tangga" maka bagi anak itu diterjemahkannya malah "boleh naik tangga". Banyak berita buruk tentang Islam di dunia Barat, tapi ternyata bukan membuat dunia Barat benci Islam tapi malah banyak orang yang masuk Islam. Jadi kalimat "saya tidak mau beriman" bisa mendorong kita penasaran untuk mau beriman.
Apakah "saya tidak mau beriman" ? Saya yakin kita yang muslim menjawab "tidak", saya mau beriman. Kalimat pertanyaan jauh bermakna semakin baik dibanding kalimat "saya mau beriman". Jawaban atas pertanyaan membuat pikiran mencari jawabannya berupa apa yang sudah kita lakukan. Dan jawabannya belum ada, maka pikiran terus pikiran untuk menjawabannya dengan perbuatan. Akhirnya kalimat menjadi "saya mau beriman". Ada banyak cara menuju roma dan ada banyak cara untuk beriman asal mengikuti petunjuk Allah. Insya Allah kita dibimbing untuk selalu membaca Al Qur'an sebagai petunjuk agar pikiran kita selalu didorong untuk mengamalkannya. Aamiin

Belajar dari orang Bodoh

Seringkali kita merasa pintar karena tahu lebih dulu tentang sesuatu, dan jangan lupa kepintaran itu adalah bukan sekedar kita telah belajar tapi karena masih ada orang bodoh disekitar kita. Jika ada seorang murid bisa menjawab 100 pertanyaan matematika dengan benar, maka belum tentu murid itu pintar. Dikatakan pintar jika tidak ada murid lain yang bisa menjawab 100 pertanyaan.
Pintar adalah ukuran relatif terhadap orang lain yang tidak pintar. Bagaimana jika kita pintar satu ilmu ...lalu apakah kita disebut pintar ? bisa jika dibandingkan sama yang tidak tahu ilmu itu di sekitar kita. Lalu kepintaran itu menjadi tidak ada nilainya saat kita bertemu orang yang sudah tahu dan bahkan lebih pintar lagi. Kalau begitu kita tidak boleh sombong dengan kepintaran kita karena selalu ada yang lebih pintar lagi.
Lalu bagaimana kita bersikap tentang kepintaran itu ? Kepintaran bisa memberi motivasi kita belajar untuk lebih pintar dari orang lain, tapi bisa juga merasa minder menghadapi orang pintar. Sebaiknya tidak perlu membandingkan ilmu yang kita miliki (pintar) dengan orang lain tapi jadilah orang yang pintar menerapkan ilmu (kepintaran) itu dalam amal saleh yang memberi kebaikan bagi banyak orang. Artinya kita tidak perlu merasa pintar tapi benar-benar serius untuk menerapkan ilmu sekalipun sangat sedikit dengan amal saleh.
Siapakah yang hebat antara orang pintar dan orang bodoh ?  Atau seperti cerita perlombaan kancil dan kura-kura, dimana yang menang adalah kura-kura. Apa yang bisa kita pelajari dari orang bodoh :
1. Orang bodoh pastilah ilmunya tidak banyak, maka dia hanya mampu mempraktekkan ilmu yang sedikit yang dia miliki. Artinya dia lebih fokus bekerja daripada menambah ilmu untuk jadi pintar. Bagaimana dengan orang pintar ? Cenderung terus menambah ilmu dan sombong sehingga lalai bekerja (amal saleh).
2. Orang bodoh itu menjadi pintar dengan belajar dari kesalahan atau kegagalannya sehingga apa yang dia kerjakan selalu semakin baik setiap hari. Bagaimana dengan orang pintar ? Rasanya ilmu yang dimiliki hanya dianalisa dan dikembangkan sendiri (teoritis) dan menganggap ilmunya sudah paling hebat, padahal belum terbukti.
3. Orang bodoh memiliki motivasi besar untuk menjadi pintar, tapi sebaliknya orang pintar tidak cukup motivasinya untuk lebih pintar.
4. Orang bodoh menjadi lebih rendah hati dibandingkan orang pintar.
Dalam Al Qur'an orang yang bodoh karena ketidaktahuannya bisa dimaafkan, tapi sampai kapan dimaafkan ? Ketidaktahuan (kebodohan) itu mestinya mendorong kita untuk belajar terus agar semakin tahu. Semakin tahu membuat kita semakin yakin (beriman) dan semakin mendorong kita untuk mempraktekkannya (beramal saleh), begitulah rangkaian kata "beriman dan beramal saleh" itu tidak bisa dipisahkan.
Di ayat yang lain, seorang yang bertaqwa saja bisa berbuat salah. Maka orang yang bertaqwa itu sudah mengamalkannya dan salah. Artinya orang bertaqwa itu selalu belajar dan memperbaiki kesalahannya. Uraian dua paragraf terakhir ini merupakan sikap positif dari orang bodoh. Sudahkah kita merenungkan kebaikan dari orang bodoh ? Bukankah orang bodoh itu selalu dikaitkan dengan kesalahan atau kegagalan. tapi mereka selalu belajar untuk semakin baik.
Alangkah indahnya saat kita tahu dan sudah mengamalkannya, lalu tidak merasa pintar. Dalam hal ini kita tidak perlu membandingkan kepintaran kita kepada orang lain, tapi selalu melihat ke dalam diri untuk mengetahui hal lain yang belum kita ketahui. Bukankah tidak perlu melihat seseorang itu lebih bertaqwa dari orang lain, tapi teruslah bertaqwa untuk yakin kepada Allah dan beramal saleh.
Insya Allah kita diberi petunjuk untuk selalu belajar dan beramal saleh. Sadari dan mampukan kami untuk menjalaninya. Aamiin

Pagi dan doa

Pagi menjadi awal dari kehidupan  dan doa berupa permohonan kita kepada Allah. Apa yang terjadi di pagi hari ? Ada yang melewatkan pagi alias masih tidur dan bertemu siang. Masalah nggak ? nggak masalah kali ya. Tetapi dalam kehidupan ini mereka yang bangun siang berarti tidak memulai dari titik start yaitu pagi hari. Mereka memasuki kehidupan tanpa titik start dan melanjutkan di siang hari. Apa maknanya
1. Mereka yang bangun di siang hari bahasa perlombaan sudah disqualifikasi. Mengapa ? Karena mereka tidak memulai di titik start, pagi hari. Allah yang membuat perlombaan amal pun tidak melihat dan meperhatikan mereka yang bangun siang. Terserah mereka lah.
2. Mengawali kehidupan ini di siang hari sudah membuat kita "buru-buru" untuk beraktivitas atau bahkan di saat hari libur kita bangun siang maka membuat kita malas beraktivitas.
3. Dan jarang sekali berdoa.
Jika benar kita orang muslim yang benar-benar beriman, maka bangun pagi menjadi sebuah keharusan dan bahkan ada orang yang mempersiapkan titik start dengan bangun pagi (shalat malam). Pastilah Allah yang Maha melihat itu senang atas hambanya yang mempersiapkan kehidupan ini dengan baik.
Semua awal yang baik itu dengan persiapan yang bangun lebih pagi membuat kita lebih siap dan tenang dalam menghadapi kehidupan ini. Dan selalu ada doa dalam mengawali kehidupan ini dengan shalat Tahajjud dan shalat subuh atau mengaji.
Yang luar biasa lagi, saat kita bangun pagi dapat menikmati kehidupan pagi yang banyak memberi kebaikan bagi kesehatan, proses belajar (pikiran), dan banyak hal lain membuat kita semakin sehat jasmani dan rohani.
Dengan kondisi itu sudah semestinya kita yang bangun pagi lebih optimis menghadapi kehidupan ini karena sudah siap dan selalu diiingi doa. Insya Allah kita selalu dibangunkan oleh Allah dalam setiap awal kehidupan dan dimampukan untuk mempersiapkan semua hal. Masihkah kita tidak berusaha untuk bangun pagi ?

Keinginan dan fakta

Keinginan dan fakta bisa jadi sesuatu yang berbeda, ada kalanya bisa sama. Keinginan adalah harapan sesuatu yang belum kita miliki di masa depan. Misalkan,"saya sih pengennya punya bisnis dan dengan itu saya bisa banyak beramal". Sedangkan faktanya sesuatu yang terjadi oleh kebiasaan, bukan yang bersifat emosional sesaat.
Contoh sederhana, kita ingin beli smartphone yang bisa nulis (note), harapannya adalah kita nantinya banyak menulis ide dan sebagainya. Kita berusaha untuk membeli dengan cara apapun karena kita sangat ingin. Setelah membeli smartphone tersebut, kita pun membuktikan mulai banyak menulis. Tapi fakta sebenarnya berjalan setelah 2 minggu .... kita sudah malas menulis. Maka dapat kita disimpulkan bahwa keinginan memang cenderung emosional sesaat karena keinginan menulis di smartphone itu BELUM menjadi kebiasaan kita.
Dalam kehidupan beragama kitapun bisa terjadi seperti itu, pengen sih punya mobil agar nanti bisa shalat di Masjid-masjid besar. karena dengan mobil semua jadi mudah. Tapi ingat itu hanya keinginan dan keinginan itu tidak didukung oleh kebiasaan yang kuat. Perhatikan setelah membeli mobil ... fakta menunjukkan keinginan itu tidak terjadi.
Bagaimana dengan keinginan kita saat ini ? Banyak. Dan lihatlah keinginan kita itu tidak didukung kebiasaan (kemampuan). Contoh lain, Kalau nanti saya sudah kaya, maka saya pasti banyak sedekah. Artinya saat ini karena kita belum kaya maka sedekahnya sangat sedikit. Karena tidak terbiasa sedekah maka saat kaya nanti juga sulit untuk bersedekah.
Allah mengingatkan bahwa keinginan itu cenderung membawa kita kepada keburukan kecuali keinginan yang dirahmati Allah. Boleh nggak punya keinginan ? Boleh saja, tapi mulailah saat ini untuk belajar dan berlatih atas keinginan itu. Jika kita sudah terbiasa maka siapkan diri kita untuk memenuhi keinginan kita. Insya Allah keinginan itu menjadi kebaikan buat kita.
Kalaupun keinginan itu tidak tercapai atau tidak kita paksakan .... Ingatlah bahwa Allah itu Maha mengetahui yang bathin (yang tersembunyi) dan juga Allah Maha melihat apa yang kita kerjakan. Kita beriman dengan apa yang kita kerjakan (kebiasaan) dan Allah pun membalasnya dengan adil.

Belajar dari perampok

Judul di atas aneh, masak sih kita belajat dari perampok ? Bukankah perampok itu oang yang nggak bener dan menyesatkan. Mari dengan tenang kita menyimk lebih dalam, bukankah perampok itu manusia yang bisq bener dan bisa juga salah. Jadi tidak salah dong kita belajar dari perampok BUKAN melihat orangnya tapi apa yang dikerjakannya.
Seorang penceramah bilang,"yang bener itu datang dari Allah dan yang salah itu datang dari saya". Jika yang bicara seperti dari seorang perampok bisa juga dong. Maka yang penting bukan melihat orangnya tapi apa pesannya.
Pesan dari seorang perampok :
1. Perampok selalu punya rencana. Bukankah rencana itu rencana keberhasilan. Bagaimana dengan kita yang mengaku orang baik, sudahkah selalu merencanakan sesuatu dengan benar ?
2. Rencana yang sudah dibuat memerlukan persiapan dan ilmu yang mateng, begitulah seorang perampok melakukannya. Jika ilmunya tidak cukup, maka mereka belajar dan berlatih. Bagaimana dengan kita ? 
3. Seorang perampok menjadi sangat sabar dalam aksinya menunggu waktu yang tepat. Apakah kita sabar dalam amal kita ?
4. Perampok itu tidak banyak menabung, tapi lebih banyak bersedekah ke masjid atau memberikannnya ke orang jalanan. Setelah habis mereka merampo lagi. Bisa jadi kita beramal tapi hasilnya banyak ditabung daripada sedekah ? 
Dari 4 pesan atau perilaku perampok tadi sebenarnya baik tapi salah menempatkannya.  Dengan niat bercermin yang ikhlas, perampok ternyata menerapkan petunjuk Allah. Bagaimana dengan kita yang merasa jadi orang baik ? Bukankah Allah itu adil, maka orang jahat dapat rizki ... Lalu mengapa kita yang merasa diri orang baik seret rezekinya ? Mari muhasabah diri ... Hasil atau rizki kita hari ini bisa menjadi kita belum mengamalkan petunjuk Allah dengan benar.
Insya Allah kita diberi kemampuan mengevaluasi diri agar mampu melihat kekurangan kita lalu dimampukan pula untuk mengamalkannya.

Berani menerima kenyataan

Bisa jadi kita sendiri tidak berani menerima kenyataan, kok gitu ? Pastilah saya terima kenyataan hidup ini. Bagaimana kita tahu bahwa kita menerima berani kenyataan ? Buktinya saya jalani hidup ini. Cukupkah itu ? 
Kata berani memberi makna bahwa mau mengambil tanggung jawab dan menerima resiko apapun. Jadi jika berani menerima kenyataan berarti kita mau mengambil tanggung jawab atas apa yang ada pada diri kita saat ini. Saat kita masih memiliki motor, maka saya dengan penuh tanggung jawab menggunakan motor itu dengan baik dan memanfaatkannya bagi kebaikan kita sendiri. Selain itu kita bisa menerima resiko atas penggunaan motor, ya kalau hujan harus meneduh atau kehujanan, ya panas-panas di perjalanan dan sebagainya. Begitu juga jika kita seorang karyawan, maka mau tidak mau mengambil tanggung jawab tugas yang diberikan sebagai karyawan untuk kebaikan diri sendiri dan perusahaan. Kondisi ini menciptakan suasana yang nyaman dan baik bagi perasaaan kita. Dan perasaaan itu bisa membangkitkan semangat dalam mengerjakannya.
Jadi berbeda jika kita tidak berani menerima kenyataan alias pasrah menerima kenyataan yang membuat kita menjadi tidak bersemangat dengan apa yang kita miliki. Bahkan kita sendiri sering menutupi keadaan itu dengan apa yang belum seharusnya kita miliki (dengan berhutang). Contoh, saat kita hanya punya hp jadul, maka saat kita berani menerima kenyataan ... Kita pun tetap menggunakannya dan bahkan memanfaatkan hp dengan luar biasa tanpa malu. Sebaliknya jika kita tidak menerima kenyataan maka kita pun berusaha mengganti hp dengan hp terbaru yang sebenarnya kita tidak mampu membelinya ... Tapi semua itu demi pergaulan kita berhutang.
Orang yang punya motor lalu tidak berani menerima kenyataan maka mereka membeli mobil dengan hutang dan apa saja yang merupakan barang konsumtif.
Bagaimana dengan iman kita ? Berani beriman berarti berani mengambil tanggung jawab atas iman saat ini yang masih rendah dan meningkatkannya. Kenyataan dengan iman yang rendah , bukan berarti kita menunjukkan amal saleh kita sebagai upaya menutupinya sehingga kita bisa tidak ikhlas.
Mari kita berani beriman yang memberi dorongan luar biasa untuk mengakui lemahnya iman kita lalu berusaha menigkatkannya. Maka kita berani memohon ampun dan semakin banyak lagi ibadah dan amal saleh yang kita lakukan.

Yang pertama atau yang berikutnya

Ada orang yang bilang masih ada kesempatan kedua tapi jarang, maka jangan pernah sia-siakan kesempatan pertama. Jika ada kesempatan atau kita sendiri merasa ada peluang, maka ambillah hal tersebut karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok. Jadi kesempatan bertindak dan beramal lebih awal ...
Tapi disisi lain, ada orang yang menunggu atau tidak memilih karena ingin ada yang lebih baik. Pastilah selalu ada yang lebih baik dari yang pertama. Dan bahkan setelah pilihan kedua yang kita pilih memunculkan pilihan baru yang lebih baik lagi. Jadi tak pernah habis atau selesai jika kita selalu memilih yang lebih baik.
Pilihan apapun yang kita pilih saat ini bukanlah yang terbaik, tapi semakin baik jika kita mulai mengisi dan memanfaatkan pilihan itu dengan semaksimal mungkin. Sikap ini mampu menjadikan kita selalu bersemangat untuk memanfaatkan dari waktu ke waktu, yang terpenting bagaimana kita mampu menemukan ilmu (belajar).
Bagaimana dengan iman kita dan nikmat yang telah Allah berikan, sudahkah kita mensyukurinya dengan mengisi dan memanfaatkan iman untuk kebaikan kita hari ini ? Sama halnya dengan kondisi di atas, nikmat yang kita inginkan seperti kesempatan yang kita tunggu terjadi dan kita tidak pernah tahu kapan, bahkan bisa jadi nikmat itu tidak pernah diizinkan Allah buat kita. Lalu ? Begitulah hendaknya kita bersyukur dengan nikmat sekarang dengan iman yang terus ditingkatkan sehingga nikmat menjadi semakin baik. Nikmat tidak ditambah oleh Allah jika iman kita tidak semakin baik, maka belajarlah membaca Al Qur'an dan beramal saleh agar iman itu semakin kuat dan mampu memanfaatkan nikmat yang telah Allah berikan. Dengan demikian hari demi hari dalam hidup ini banyak dipenuhi oleh tindakan belajar meningkatkan iman  dan beramal saleh, Insya Allah kita tidak disibukkan untuk meminta ini dan itu tapi hanya fokus mensyukuri nikmat yang ada.

Profesional dan ulama

Berikut ini saya kutif dari wikipedia 
Profesional adalah istilah bagi seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya.
Ulama (Arab:العلماء Ulamāʾ, tunggal عالِم ʿĀlim) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan
Membedakan keduanya profesional cenderung urusan dunia dan ulama urusan akhirat. Mengapa saya membahas kedua hal ini ? Saya ingin kita mampu menjadikan ulama yang profesional atau dibalik seorang profesional yang "berulama" (berdasarkan agama).
Seorang profesional belajar dan meningkatkan ilmu sesuai bidang dengan harapan bisa mendapatkannya kembali lewat service yang diberikan berupa uang atau materi. Orang ini sangat menguasai ilmunya dengan baik dan mampu menyampaikan/memberikan dengan baik pula. Sedangkan ulama sama dengan profesional karena menguasai ilmu agama dengan baik dan mampu pula menyampaikannya dengan baik pula. Yang berbeda adalah bidang ilmunya dan ulama tidak mengharapkan balasan alias ikhlas.
Bisakah kita menjadi keduanya ? Bisa tapi rasanya bisa tercampur. Mari kita renungkan ...
Ilmu agama itu adalah ilmu agama (berdasarkan Al Qur'an dan Hadist) bukan sekedar ilmu akhirat tapi juga membahas urusan dunia seperti manajemen, kemasyarakatan dan sebagainya. Jika benar seorang ulama itu menguasai betul ilmu agama maka dia juga termasuk profesional yang luar biasa. Perhatikan penemu-penemu ilmu matematika, fisika dan kedokteran adalah seorang pemikir agama yang mendalaminya sehingga menjadi ilmu (petunjuk) bagi ummat dalam kehidupan sehari-hari (urusan dunia). Mari kita memahami hal ini untuk menjadikan kita semakin kuat dalam mendalami agama (ilmu Al Qur'an dan Hadist) agar kita mampu menerapkannya dalam kehidupan ini (petunjukk kehidupan di dunia), menjadi ulama yang profesional. Belajar ilmunya ibadah dan menyampaikannya amal jari'ah. 
Bandingkan dengan seorang profesional yang "berulama" ?  

Katanya membaca Al Qur'an itu berpahala

Hampir setiap muslim tahu bahwa membaca satu huruf dari Al Qur'an saja mendapat pahala. Terus jika didalami lebih lanjut Al Qur'an yang dibaca adalah petunjuk Hidup manusia atau solusi hidup atau pedoman hidup orang yang beriman. Bisa dibayangkan jika kita membaca setiap hari .... Bukankah pahalanya banyak. Dan pahala itu bisa untuk mengimbangi dosa yang kita perbuat.
Faktanya lagi banyak pula orang bisa dengan fasih membaca Al Qur'an tapi kalau ditanya apakah mereka sering membacanya ? Sepertinya jarang. Bahkan orang yang memahami dengan baik ilmu tentang Al Qur'an bisa jadi juga tidak sering membacanya.
Perhatikan metode iqra dalam belajar Al Qur'an yang menganut konsep bukan cara cepat tapi belajar membaca sedikit demi sedikit yang akhirnya sampai bisa membaca Al Qur'an. Anak saya pun melakukan itu. Tapi ada orang yang belajar cepat membaca Al Qur'an dan terbukti sebagian bisa, apa yang terjadi setelah itu mereka yang sudah membaca tidak membaca lagi. Cukup bisa membaca saja.
Dalam salah satu bukunya "urusan lancar dengan Al Qur'an", Yusuf Mansyur mengutip hadist bahwa siapa saja yang membaca dan memahami serta mengamalkan Al Qur'an merupakan keluarga Allah (hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Majah). Mesti kita mulai berpikir untuk membaca Al Qur'an.
Membaca dan memahami Al Qur'an bukan perkara sudah bisa atau sudah mahir atau sudah hafal tapi persoalannya mau nggak baca setiap hari dan setiap hari juga mau memahami dan mau juga mengamalkan secara bertahap seperti halnya Al Qur'an diturunkan secara bertahap pula. Sudah saatnya kita bertanya, saat waktu kematian tiba. Malaikat bertanya, mengapa kamu tidak beramal ini dan itu ? Bisa jadi kita menjawab,"sudah". Tapi malaikat menajamkan pertanyaannya, "tahukah kamu cara beramal yang benar ?" Jawaban atas pertanyaan inilah yang kayaknya kita jawab,"saya melakukan apa yang sudah diajarkan orang tua atau guru saya". Tahukah cara yang kita lakukan itu benar atau salah ? Ya percaya saja. Kemudian malaikat bertanya," bukankah cara beramal yang benar dan sempurna itu ada dalam Al Qur'an ? Kalau begitu kamu tidak pernah membaca Al Qur'an
Mari kita ambil hikmahnya, bukan sekedarnya mendapatkan pahala tapi jadikan membaca untuk bisa beramal saleh yang diperintahkan Allah dalam Al Qur'an. Amal saleh itu adlah solusi hidup kita di dunia ini.pahalanya adalah kebaikan Allah dalam menyempurnakan kita dalam beramal saleh.

Kematian dan amal saleh

Jika seseorang ditanya tentang kematian, maka jawabannya "semua juga mati termasuk saya". Dan bisa jadi merasa kematian datangnya masih lama karena masih muda. Bagi yang tua merasa kematian itu sudah dekat dan seolah menunggu. Tapi di saat kita mendengar orang yang meninggal dunia dan baru saja kita bertemu, rasanya tak percaya. Semua itulah fakta yang tidak bisa dibantah lagi. Bagaimana dengan kita ?
Saat tak berdaya seperti mendapat musibah seperti sakit dan kecelakaan hebat, maka kematian itu terasa lebih dekat. di saat itulah kita merasa tak berdaya dan mengakui keberadaan Allah lalu segera memohon ampun. Dan segera sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang baik.
Satu hal lagi saat kita mengantarkan orang terdekat meninggal dunia mulai dari dimandikan, dikafani, dishalatkan sampai dimakamkan (dan kita sempat menemani saat meninggalnya) atau kita sering melihat orang meninggal dan mengantarkannya ke kuburan, maka muncul hikmah yang yang menggugah hati kita saat itu .... Ternyata mereka pergi meninggalkan dunia tanpa membawa apapun dan hanya sendirian. Bagaimana jika kita yang meninggal dengan kondisi begitu ? Apakah kita masih mengumpulkan harta, murah, mobil, jabatan atau apa saja yang kita inginkan di dunia dengan berdoa kepada Allah untuk mengabulkannya ? Sedangkan semua materi itu dan doa kepada Allah itu hanya sebatas dunia yang tidak bermanfaat sama sekali saat kita memasuki kuburan. Astaghfirullah al azhiim.
Ketiga hal di atas jika kita maknai di saat sehat, maka kematian itu yang datangnya pasti dan tidak diketahui kapan datangnya. Mesti memacu kita untuk mempersiapkan banyak amal saleh yang dirahmati Allah.
1. Hendaknya membuat kita smakin Percaya dan yakin dengan kekuasaan Allah yang Besar
2. Berdoa hanya untuk Allah berikan iman dan kemampuan beramal saleh yang banyak.
3. Menjadikan hari demi hari hanya untuk beramal saleh demi mengabdi kepada Allah
4. Jadikan amal saleh itu untuk kebaikan di dunia bagi diri sendiri, keluarga, teman, perusahaan, masyarakat dan rahmatan lil alamin
Untuk mengapilkasikannya maka bangun tidur kita, mandi kita, subuh, sarapan kita, berangkat kerja dan semua pekerjaan yang kita lakukan, isitirahat kita, silaturahmi kita dan semua aktivitas bisa menjadi amal saleh dengan menerapkan petunjuk Allah. Sempurnakan dari hari ke hari sehingga menjadikan kita semakin tenang hati ini dan siap selalu sadar kepada Allah. Percayalah semua itu jika diridhai Allah kita mendapatkan pahala kebaikan di akhirat dan BONUS kebaikan di dunia (apa yang kita inginkan). Insya Allah hari ini kita diberi cahaya yang menerangi hati untuk semakin beriman dan beramal saleh. Aamiin

Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...