Menyediakan pelatihan motivasi spiritual, pendampingan, e-book dan konsultasi pemberdayaan diri Islam, WA/CALL 087823659247

e-Book Munir Hsan Basri

e-Book Munir Hsan Basri

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

 Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya ada ? Pasti ada. Yang dimaksud memberontak adalah karyawan yang cenderung kritis dan menerima keputusan melalui proses pemahaman. Sebenarnya 90% karyawan atau anak buah itu nurut, karena kalau nggak nurut kan bisa masalah dengan atasannya. Bisa dicuekin, bisa dipindahkan ke posisi lain, bisa diserahkan ke HRD, atau diproses dengan surat peringatan. Ujungnya sih mau nurut (terpaksa) karena masih mau kerja.

Ada kondisi karyawan seolah menurut, tapi sebenarnya dia tidak menurut. Banyak hal yang dilakukannya tidak sesuai harapan atasan. Kerjanya lambat, kerja asal saja yang penting selesai, beberapa kali melakukan kesalahan, dan lainnya. Karyawan seperti ini membuat masalah bagi atasan, dimana atasan tidak melakukan kontrol dengan periodik. Karyawan seperti ini adalah karyawan yang membawa virus untuk karyawan lainnya. Tidak banyak, maksimal 10%. Ada 10% menjadi karyawan yang baik dan 80% karyawan tergantung situasi dan kondisi.

Banyak atasan mengurus karyawan yang tidak baik, tidak suka dan tukang kritik tapi tidak mau melakukan yang bener. Apa yang terjadi ? Seringkali menjadi konflik. Konflik ini dilihat dan didengar oleh semua karyawan. Berbagai macam reaksi atas konflik ini, kebanyakan cenderung melihat atasan tidak bijaksana dan berpandangan tidak baik. Maka statistik karyawan yang 80% dapat berpindah kelompok karyawan yang tidak baik. Tadinya 10%, sekarang bertambah menjadi lebih dari 10%. Maka kekuatan yang melawan lebih banyak. Fokus, energi dan waktu untuk berkomunikasi dengan karyawan yang tidak baik telah banyak dilakukan. Hasilnya kurang proporsional.

Terus apa yang bisa dilakukan ? Tidak selalu yang nurut itu bener, bisa jadi tidak mau pusing jadi nurut saja. Sebaliknya yang tidak nurut itu bisa jadi bener, maka perlu dibuktikan. Tidak nurut itu bisa jadi ada alasannya. Maka langkah terbaik adalah mencari alasan dibalik tidak mau nurut. Lalu berprasangka baiklah dan beri kepercayaan untuk melakukannya. Dalam proses ini wajib dilakukan kontrol dan monitor dengan dengan ketat, agar apakah yang dilakukan oleh orang yang tidak nurut ini bener. Kalaupun tidak bener, kita dapat mengambil hikmahnya dengan menagmbil yang baik dan memperbaiki yang tidak baik. Hal ini tidak didapat dari orang yang nurut.

Biasanya kita jarang mengontrol orang yang nurut sehingga hasilnya tidak memberi keuntungan bagi kita. Hasil yang tidak sesuai membuat kita tidak menegur keras, karena kita lebih senang dengan orang yang nurut daripada apa yang mesti dijalani dengan semakini baik. Bayangkan saat orang nurut dilakukan yang sama seperti orang yang tidak nurut, maka hasilnya menjadi luar biasa.

Sangat proporsional hasil yang didapat dari mempercayakan pekerjaan kepada orang yang nurut dan orang yang tidak nurut. Keduanya memberi hasil yang positif dan bisa diikuti oleh sisa orang yang 80% bekerja apa adanya. 

Bagaimana kalau kita tidak melakukan apapun terhadap karyawan yang tidak nurut ? Mereka yang tidak nurut menjadi semakin "menggila" untuk mempengaruhi 90% yang lain. Ini adalah kerugian besar dalam team. Jadi tetaplah terus memberi kesempatan bagi yang tidak nurut untuk membuktikan alasannya menjadi benar dengan kontrol dan monitor ketat. 

Saya membayangkan juga, ternyata dalam diri saya sendiri sama halnya dengan pola di atas. Dalam diri saya ada 10% sikap dan perilaku yang tidak baik, 10% sikap dan perilaku yang baik dan 80% sikap dan perilaku yang ikut-ikutan. Saya mesti memberi perhatian sikap dan perilaku yang tidak baik, dan jangan dibiarkan begitu saja. Misalkan saya memiliki sikap dan perilaku malas, maka saya mesti membuktikan sendiri bahwa malas itu tidak ada gunanya dan merusak diri. Sekali waktu saya malas seharian, apa yang saya rasakan ? Capek dan tidak ada hasil apa-apa. Maka temukan ilmu agar malas itu menjadi produktif, salah satunya bangun diri dengan banyak aktivitas sehingga malas itu semakin berkurang, menjadi sikap dan perilaku baik. Demikian juga untuk sikap dan perilaku yang tidak baik yang lainnya. Yang baik bisa mempengaruhi yang tidak baik dan bisa dengan mudah mengajak 80% yang ikut-ikutan. Dan sebaliknya untuk sikap dan perilaku tidak baik bisa mempengaruhi 90% untuk ikutan.

Persentase karyawan tidak baik


Saya tidak ingin membiarkan sikap dan perilaku yang tidak baik berkembang dan mempengaruhi hidup saya. Misalkan yang sederhana saja, malas. Bila dibiarkan terus bisa membuat malas untuk banyak hal. Saya mesti menemukan cara agar tidak ada tempat dan waktu untuk malas. Dengan apa ? menciptakan aktivitas sederhana dan ringan untuk dikerjakan. Dampaknya bisa membuat saya pengen beraktivitas lagi. Selalu ada solusi untuk sikap dan perilaku tidak baik. Yang pasti saya mesti belajar ilmu yang lebih banyak dan bermanfaat. Dengan pribadi yang memiliki sikap dan perilaku yang baik, maka saya bisa menjadi karyawan yang baik dan bisa mengajak dan mempengaruhi karyawan yang lain.

Kultum motivasi ini dapat dijadikan inspirasi untuk  menjadi semakin baik hari ini. Tidak lain dengan cara memberdayakan diri terus-menerus. Insya Allah rekan-rekan mendapatkan hikmah dan kebaikannya, serta Allah meridhaiNya.



Apa yang terjadi saat emosi ?

 Semangat pagi rekan-rekan, Insya Allah diberikan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini dan diberkahi. Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Belum Target", dimana terjadi komunikasi atasan dan bawahan yang cenderung "emosional". Ternyata yang terjadi adalah atasan menyerang dan kecewa dengan kinerja bawahan. Bawahan ada yang "yes sir" diam saja biar cepet urusannya atau Bawahan yang membela dirinya sudah bekerja dengan bener, kalau kurang oke bukan sayanya dan menyalahi diluar dirinya.

Saya belum menuju detail hal di atas, tapi ingin mengingatkan dampak bagi pelakunya. Apa yang terjadi dengan atasan yang terlihat "marah-marah" atas hasil target yang belum tercapai ? Yang pertama, suasana "marah-marah" itu tidak ada baik-baiknya. Tapi beberapa orang bilang,"kalau dimarahin itu bagus untuk memotivasi diri agar menjadi berubah dan semakin baik". Apa iya ? Apakah ada orang termotivasi karena dimarahin ? Yang ada motivasi tapi motivasinya terluka. Ada memori dalam pikiran yang tidak nyaman yang mendorong termotivasi. Bayangkan hasil yang baik diperoleh dari proses dan masukan yang baik. Bagi atasan menjadi sok merasa bener dan bawahan yang tidak bener. Kondisi ini pasti tidak ada komunikasi, syaratnya komunikasi itu adalah kesetaraan, bukan yang atasan merasa lebih tinggi dari bawahan yang menciptakan "perintah" atasan dan "menerima perintah" sebagai bawahan. Bukankah kedua orang ini mesti saling melengkapi atau sebagai team untuk meraih target bersama.

Sebenarnya atasan yang marah-marah/emosional itu sudah tidak zaman lagi saat ini. Tahukah nggak sih, atasan yang "emosional" itu telah menunjukkan kelemahannya dihadapan Bawahan. Kok bisa ? kalau atasan yang cerdas (kerja cerdas) pasti tahu cara mengelola sumber daya untuk meraih target. Sebagai Atasan yang memiliki Bawahan, mesti mampu mendelegasikan apa yang seharusnya dilakukan kepada Bawahan. Lalu Atasan memiliki kewajiban untuk mengukur secara periodik dan mengevaluasi untuk dilakukan perbaikan agar target tercapai. Apakah Atasan yakin dengan apa yang didelegasikan sebagai formula bener untuk capai target ? Apakah Atasan juga sudah melakukan pengukuran kinerja Bawahan agar menjamin target dapat diraih ? JIka kedua hal ini tidak dilakukan menunjukkan dirinya hanya bisa "emosional" sebagai Atasan dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. Ketidakmampuan ini dilimpahkan kepada Bawahan yang kerja tidak bener.

Mungkin ada juga Atasan yang sudah tidak memiliki kemampuan dan memiliki jabatan hanya karena tahu saja atau ada juga pemahamannya, tapi belum pernah berkomunikasi dengan pelaksana (belum pernah praktek). Maka yang dilakukan Atasan seperti ini adalah hanya perintah saja, lalu emosional dan perintah lagi. Ada sih yang berhasil dengan caranya ini, tapi dampaknya sangat buruk, Atasan sangat tergantung kepada Bawahan. Biasanya Bawahan sering memberi banyak alasan dan meminta Atasan untuk memberi solusi yang cenderung merusak kebijakan yang sudah ada. Misalkan dalam sales, menurunkan harga dengan kasih discount, hadiah dan promo lainnya sehingga nilai produk menjadi rendah.

Lebih lanjut saya ingin menunjukkan keadaan emosional yang berulang dapat merusak kesehatan, yang berdampak kepada ketidakseimbang diri. Bikin tidak sehat dalam pola berpikir dan juga secara fisik. Kok bisa ya ? Mari tenangkan diri dan berani untuk jujur kepada diri sendiri. Lihat dan lihat dari mereka yang emosional (marah-marah). Mukanya merah, dan memiliki kekuatan pada tangan untuk "memukul/melempar/menunjuk" dan sebagainya dan tanganya juga kelihatan merah, kekuatan fisik terletak di seluruh indra untuk bereaksi. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Karena darah mengalir dengan cepat ke seluruh organ tubuh. Darah yang mengalir itu memberi energi yang besar. Sebenarnya bagus sih, tapi ternyata otak (pikiran) mendapat aliran daran dan oksigen yang sangat sedikit. Akibatnya adalah kemampuan berpikir akal sehatnya tidak ada. bener nggak ? Waktu orang sedang emosional, pasti tidak bisa berpikir akal sehat. Secara tubuh, pembuluh darah ke otak (pikiran) mengecil, sedangkan pembuluh darah ke Muka, tangan dan lainnya membesar. Bayangkan keadaan ini berlangsung lama dan terus-menerus yang dapat membantu terciptanya pembuluh darah tetap mengecil. Bisa menjadi pemicu stroke, darah untuk otak tidak tercukupi. Bagaimana dengan dimarahi ? Sama terjadi karena merasa tidak nyaman dan disalahkan yang membuat Bawahan ikutan membela diri (emosional), tidak terima atas perlakuan tersebut.

Orang yang emosional cenderung mudah lelah, dan akibatnya memilih makan untuk menutupi kekurangan energi yang telah dikeluarkan. Lalu dengan kondisi makan yang tidak terkontrol ini dapat berdampak kepada aliran darahnya ke otak (pikiran) sedikit dan malah pindah ke perut yang banyak darahnya.

Apakah orang yang sedang marah (emosional) bisa dinasehati saat itu ? Kecenderungannya kecil, karena orang yang emosional (marah-marah) tidak mampu berpikir dengan akal sehat. Yang ada malah semakin marah-marah. Jadi dari semua itu menunjukkan bahwa orang yang sedang emosional (marah-marah) banyak memberi dampak buruk, mulai dari tidak disenangi orang, tidak sehat dan menjadi pribadi yang tidak baik.

Dari penjelasan di atas, masih ada yang mau emosional ? Sebagai manusia biasa bisa saja terjadi, bersegeralah untuk berhenti dan menciptakan kebiasaan baru yang sehat dan cerdas. Saya mengulangi kembali tentang emosional ini ;

  1. Orang yang emosional, terutama marah-marah. Bisa saja dapat berpikir bahwa marah-marah itu diperlukan untuk merubah perilaku seseorang. Tetapi kebaikan ini tidak sebanding dengan ketidakbaikan yang didapat. Apakah ada orang mau dimarahi ? Sebenarnya yang sedang marah saja tidak mau marah.
  2. Emosional dan marah-marah alami sebagai manusia. Alangkah baiknya, jika kita menjadi orang yang tidak umumnya (marah/emosional). Menjadi manusia dengan perilaku baik dan disenangi orang banyak, inilah upaya untuk mengendalikan diri yang terbaik.
  3. Emosional atau marah, bukan menemukan solusi tapi cenderung berdampak tidak baik. Ada kesehatan yang terganggu, tidak disukai sikap dan perilakunya, mudah lelah, dan lainnya
  4. Emosional atau marah menunjukkan diri kita lemah, memiliki ketidakmampuan dalam kompetensi, tidak memiliki kemampuan juga dalam mengendalikan diri. Masak mau sih menunjukkan ketidakmampuan kita ?

Insya Allah tulisan ini dapat memberi inspirasi dan motivasi dalam memperdayakan diri menjadi semakin baik hari ini. Cek hari ini, apakah ada diri kita yang berperilaku emosional ? Orang yang mampu mengendalikan dirinyalah adalah orang hebat dan berkemampuan tinggi.

 

Belum target

     Semangat pagi semua, doa mengiringi semua dimampukan sehat dan dimampukan SIAP kerja yang semakin baik hari ini.

   Pagi itu baru mau mulai kerja, saya sudah dipanggil sama bos. Self talk liar saya sambil jalan menuju bos,”Apa salah saya ya, yang penting aja dulu”. Sesampai di pintu ruangan bos sembari membuka pintu,”Selamat pagi bos”. Dan bos mempersilahkan duduk. Tanpa basa-basi bos langsung “marah” dan mempertanyakan,”kenapa bulan lalu tidak capai target ?”. Saya terdiam sebentar,” Begini bos bulan lalu itu tidak capai target karena pasanya lagi lesu”. Langung dibantah bos,”Pasar mana yang lesu, brand sebelah capai target kok” dan bos pun ngerocos terus kesalahan saya. Saya membela diri sedikit dan ternyata bos semakin tinggi marahnya. “Mau gajimu dipotong ?” lanjut bos. Saya hanya bisa diam. Akhirnya obrolan tadi tak memberi apa-apa, yang ada hanya emosional semua. Tersisa seberapa dalam emosional itu dirasakan ... bos kecewa dan kesel, dan saya tak terima caranya dan ada kekahwatiran kalau ketemu bos lagi.





Setelah dari bos, pikiran saya kacau dan kepikiran terus semua ucapan bos tadi. Bahkan hari berikutnya masih kepikiran terus. Kapan selesainya penguasaan emosional saya ? Saya mesti stop hal ini, karena saya tidak melakukan apa-apa dan membuat suasana diri saya semakin tidak baik. Saya bisa bayangkan hanya karena belum capai target sudah begini, bagaimana hal lain. Bos kan mau semua perfect. Berapa banyak hari yang hilang yang membuat saya tidak nyaman dan tidak produktif.

Yuk belajar dan mengamalkan yang terpenting dalam hidup ini adalah penguasaan diri, dalam agama disebutkan orang hebat itu adalah yang bisa mengalahkan hawa nafsu. Sekalipun bisa mengalahkan orang lain karena sesuatu ... sebenarnya saya sudah tidak menang terhadap diri saya.  Apa iya ? Iya lah apa iya dong. Perhatikan hari sebelum hari ini banyak emosi atau nafsu menguasai diri saya ...

1.1. Bangun pagi tak jadi lebih awal karena saya mengikuti hawa nafsu untuk tidur lagi dan baru bangun karena keterdesakan mesti bangun untuk kerja. 

   2. Karena ada kebiasaan minum pagi, maka saya pun mengikuti hawa nafsu minum kopi dulu. Akhirnya waktu mepet untuk bersiap ke kantor.

33. Ntah karena ada, saya menganggap berangkat ke kantor pun ditunda sedikit saja. Bukankah ini juga ketidakmampuan saya untuk menguasai diri saya. Kalaulah ada urusan antar anak yang sudah terburu-buru, paling mudah lagi saya bilang naik ojek aja atau antar sama ibunya.

44. Sesampai di kantor masih ada syukur karena tiba tepat waktu. Ngobrol dulu bareng rekan kerja dan baru kerja. Ini urusan gaul biar nggak jadi orang dijauhin sama rekan kantor. Sekali lagi inipun saya tidak bisa mengatakan iya dan tidak untuk urusan yang penting atau tidak penting. Bukankah ini urusannya ‘nafsu”.

55. Mau mulai kerja pun masih mau ditunda dengan urusan yang remeh-temeh.

66. Dalam kerjapun HP masih menghiasi dalam kerja. Mata dan bunyi nitofication selalu menggoda untuk melihat HP isinya. Hitunglah berapa lama waktu kerja saya telah dibajak oleh HP, bisa 1 jam hingga 2 jam.

77. Ada hal yang menghambat saya kerja, lalu saya tergoda untuk relax dulu atau ngerokok dulu untuk cari ide.

88. Menjelang waktu pulang ontime, 30 menit sebelumnya pikiran sudah tidak fokus kepada kerja

99. Belum waktu ngobrol dengan alasan diskusi telah dihabiskan, ngobrol sesama yang berisi curhatan sesama.

Kebayang nggak sekarang kalau waktu kerja 8 jam sehari itu telah dihabiskan oleh nafsu dan emosional. Bisa jadi hanya kerja 5 jam atau lebih rendah lagi. Bagaimana saya bisa mencapai target kerjaan tepat waktu ? Tidakkah saya bisa memanfaatkan waktu yang habis oleh nafsu tadi untuk :

1.1. Mempercepat kerja yang berkualitas. Yang tidak lain hal ini untuk mengantisipasi pekerjaan yang diberikan bos. Bahkan dapat saya berkomunikasi periode mingguan atau periode hari untuk mengkalibrasi pekerjaan saya dengan harapan bos. Kalau pun belum tercapai sepertinya bisa saling dimengerti oleh saya dan bos.

22. Menyisihkan waktu untuk belajar kompetensi yang semakin tinggi. Buat apa ? Mempersiapkan diri untuk SIAP menerima pekerjaan yang lebih banyak atau berkualitas. Lalu bukannya itu menambah kerjaan ? Insya Allah SIAP kerja itu memunculkan kepercayaan dari bos, yang bermakna untuk menambah pendapatan.

33. Kapan untuk urusan diri sendiri ? Gunakan setiap hati untuk melakukan tindakan-tindakan kecil untuk mengantarkan saya kepada tujuan pribadi. Gunakan waktu sebelum waktu kerja dan beberapa saat setelah pulang kerja.

Bukankah kekhawatiran yang mesti saya hapuskan adalah tidak mampu mengendalikan diri, yang telah menghabiskan waktu yang tidak memberi apa-apa untuk kebaikan saya. Setiap hari saya mengulangi penguasan nafsu atas diri saya telah menjadi kebiasaan tanpa disadari. Akibatnya saya tetap dengan pekerjaan saya saat ini ... adapun kerja yang ditambahkan kepada saya karena bos melihat saya masih ada waktu bukan sebagai kepercayaan. Alhasil pendapatannya SAMA setiap tahun. Ada ketakutan menerima kerjaan lebih tinggi karena saya tidak SIAP. Keadaan ini membuat saya semakin nyaman tidak ingin berubah, semakin terpuruk. Masih mau keadaan seperti ini ? Yuk belajar tentang nafsu, emosional dan referensi yang bener agar hidup semakin baik hari ini.

Insya Allah tulisan ini dapat memberi inspirasi dan menyadarkan diri saya dan siapapun yang membacanya. Tidak lain ada pesan “Wake up”.

Sudah bersungguh-sungguh ?

 Seorang temen bilang,"Mas, kok beberapa keinginan saya tidak tercapai. Ada apanya ? Padahal semua itu sudah saya lakukan dengan sungguh-sungguh." Dan saya pun membalas,"Apa iya ? Kok bisa begitu ? belum rezekinya kali". Temen saya menjadi kurang optimis dalam hidupnya, karena menganggap keinginan itu hanya mimpi dan menyikapi hidupnya dengan ada apanya.

Lalu saya pun merenungkan hal tersebut. Saya mesti perhatikan beberapa hal. Apa iya keinginannya tidak tercapai ? Apa sih yang menjadi keinginan temen saya tadi ? Sebenarnya saya pun mengalaminya dan semua orang. Yang menjadi kurang pas itu adalah saat temen saya mengharapkan keinginan itu tercapai, tapi nyata tidak. Padahal untuk keinginan yang lain diperolehnya. Dari sini saya mesti membangun sikap pertama dulu yaitu "Tidak semua keinginan tercapai". Lalu apakah saya tidak perlu memiliki keinginan lagi ? Tidak begitu juga, karena saya tidak tahu keinginan yang mana yang tercapai dan yang tidak tercapai, tetaplah memiliki keinginan dan keinginan itu adalah harapan untuk lebih baik.

Biasanya keinginan itu saya sampaikan kepada Allah agar dikabulkan. Artinya yang memenuhi keinginan saya itu adalah Allah. Allah memiliki kehendakNya sendiri dan tidak bisa dipengaruhi oleh saya. Saya membayangkan kalau keinginan saya itu tidak sesuai kehendak Allah, apa iya Allah mau memenuhinya ? Yang pasti tidak dipenuhi Allah. Agar keinginan saya bisa dipenuhi oleh Allah paling tidak saya mesti memiliki keinginan yang baik dan sesuai kriteria Allah. Jika memang keinginan saya itu memiliki nilai kebaikan, yang bukan saja kepada diri saya sendiri tapi memberi kebaikan juga buat orang disekitar saya. Maka keinginan itu mesti disampaikan kepada Allah untuk mendapatkan rahmatNya dan diupayakan sungguh-sungguh. Orang yang bersungguh-sungguh itu pasti menemui hasilnya yang gigih, konsisten dan istiqamah memperjuangkannya. kalau saya bilang sudah sungguh-sungguh mengejar keinginan tersebut, tapi sebenarnya kesungguhan itu belum terjadi bahkan sudah tidak ada. Saat saya bilang sungguh-sungguh, apa yang terjadi ? Saya sudah berhenti untuk sungguh-sungguh dan mulai ada keluhan atas hasil yang dicapai. "kok tidak ringan ya ?" atau "kapan keinginan itu tercapai ?" Pertanyaan-pertanyaan ini hasil dari status kesungguhan yang belum tercapai. Jika memang keinginan saya itu sudah baik, maka saya mesti yakin Allah memenuhiNya. Yang saya lakukan adalah sungguh-sungguh mengerjakan keinginan saya dan sayalah yang menentukan tercapainya keinginan tersebut. Allah ? Allah mengizinkan semua terjadi. 

Disisi lain, saat keinginan saya itu hanya sekedar nafsu saja. Hal ini terlihat dari dorongan di awal yang besar dan sangat fluktuatif dalam perjalanan waktunya. Untuk keinginan seperti ini, saya mesti uji apakah keinginan itu nafsu atau kebutuhan ? Kalau hanya nafsu sesaat saja, saya mesti mengurungkan niat untuk mewujudkannya. Tak hanya itu, Allah juga tidak ingin mengabulkannya kecuali saya maksa banget (hasilnya juga belum tentu berhasil). Jangan pernah untuk bersungguh-sungguh dalam memenuhi keinginan yang berdasarkan nafsu sesaat. Dari sini saya ingin mengatakan bahwa kesungguhan itu hanya untuk keinginan yang baik, yang memberi kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.

Apa yang perlu dalam perilaku bersungguh-sungguh ? Apakah hanya mengandalkan tenaga saja ? Tentu tidak hanya fisik (tenaga), karena fisik itu bisa naik turun dan dipengaruhi/mempengaruhi pikiran. Fisik yang lemah dapat merubah sikap yang ada dalam pikiran dan pikiran membalas untuk mempengaruhi fisik . Kesungguhan itu sangat memerlukan fisik yang sehat, pikiran yang sehat, dan pikiran yang sehat itu mesti disupport oleh keyakinan dan ilmu. Insya Allah kesungguhan yang dilakukan semakin dimudahkan karena kemampuan yang semakin baik. Dalam banyak persepsi orang, kesungguhan itu berat. Jika ini yang terjadi, maka kesungguhan itu bisa melemahkan. Sikap ini seperti ini mesti diubah dengan sikap bahwa kesungguhan itu mesti mengantarkan saya menjadi lebih mudah dan cepat dalam meraih keinginan saya, dimana kesungguhan itu mesti diberi ilmu, sehat fisik dan sehat pikiran, dan keyakinan yang menguat.




Saya mengajak saya sendiri untuk menyikapi dan perilaku sebagai berikut :

1. Tidak semua keinginan itu dapat diraih. Hanya Allahlah yang memenuhi keinginan tersebut, yang diberikan sesuai kehendakNya. 

2. Ciptakan keinginan yang baik, baik dimata Allah dan memberi kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain. Sampaikan kepada Allah untuk dimampukan mewujudkannya lewat kesungguhan saya lakukan.

3. Jika ada keinginan yang cenderung didasari oleh nafsu, maka sebaiknya tidak untuk dipenuhi.

4. Kesungguhan itu tak pernah ada ujungnya. Ujungnya adalah terpenuhinya keinginan itu sendiri. Kesungguhan butuh didukung oleh fisik yang sehat, pola pikir yang sehat, terus menjaga keyakinan kepada Allah. 


Insya Allah kultum motivasi ini dapat menginspirasi saya untuk bisa bersikap dan berperilaku yang benar terhadap keinginan yang hadir. keinginan yang benar mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh yang mampu memberdayakan diri dari ilmu, fisik yang sehat dan keyakinan agar tercapai.

Tujuan yang suka berubah

 Semangat pagi yang mencerahkan buat semua, hari ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hari sebelumnya yang belum dikerjakan atau yang mau diperbaiki. Kesempatan ? Iya, bersyukur atas semua ini. lakukan yang semakin baik hari ini yang membuat saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu demi waktu sampai saya bisa berbuat yang lebih baik. Insya Allah saya dimampukan oleh pemilik alam semesta ini.

Saya pernah memiliki tujuan atau keinginan. Saking pengennya, tujuan itu sangat berarti dan mendorong saya untuk mewujudkannya. Mulailah saya kerja/beraktivitas, tapi ditengah perjalanannya saya merasa ada yang tidak bener dengan tujuan saya, 

a. Bisa karena tidak mudah dicapai, "apa ya saya bisa capai ?" Mulailah ada keraguan dan menurunkan semangat untuk mencapainya.

b. Kok tujuan ini menurun dan ada tujuan lain yang lebih menarik. Mulailah imajinasi saya mengarah kepada tujuan lain untuk dicapai. Ada ketidakpastian untuk memilih meneruskan tujuan awal atau berganti tujuan baru.

c. Dengan sibuknya aktivitas/kerja rutin yang dituntut mesti diselesaikan, membuat waktu yang pendek untuk mengejar tujuan sehingga melemahkan semuanya. Akhirnya saya hanya berharap,"suatu hari saya bisa meraih tujuan saya itu".

d. Misalkan tujuan itu pengen beli rumah. Apa cukup dengan gaji saya membeli rumah ? kalau saya bisa membeli tapi rumahnya jauh banget dari tempat kerja, bikin keluar uang lagi ? Apa nggak saya kontrak rumah saja dulu ? begitu banyak tujuan awal bisa berubah menjadi lebih rendah atau lebih tinggi tergantung suasana saat itu.

Semua itu terjadi pada setiap orang sesuai tujuannya. Atau ada yang bilang,"saya mah nggak pengen apa-apa, jalani aja hidup ini". Tapi tetep aja tujuan itu bisa berubah, waktu bergaul sama temen yang punya rumah sederhana ... hadirlah tujuan pengen punya rumah dan lainnya.

Apapun tujuan atau keinginan itu baik asal dihadirkan oleh emosional. Tujuan yang emosional  cenderung tidak baik, awalnya juga tidak baik dan biasanya diikuti oleh tindakan yang tidak baik pula. Sebaiknya diam sejenak (bisa juga beberapa hari) saat ada tujuan atau keinginan. Buat apa ? Untuk memastikan tujuan atau keinginan itu diuji oleh akal sehat sebagai kebutuhan. Selanjutnya tujuan atau keinginan itu dianalisis oleh akal sehat agar menjadi nyata untuk diwujudkan. 

Tujuan atau keinginan yang sudah bulat untuk dicapai itu menjadi bener menurut saya saat itu. Apa yang terjadi ? Ada lintasan pikiran yang menghambat untuk memulai tujuan itu, ada rencana bagus yang disusun, ada banyak cara untuk mewujudkannya. Sempurna ! Langkah pertama berjalan mulus, semua hambatan atau persoalan yang dihadapi dapat dilewati. Masih ada semangat besar ...

Apakah iya saya memiliki tujuan itu saja ? pasti tidak, banyak sekali tujuan lain. Kalau mau ditulis, kayaknya lebih dari 10 tujuan, tujuan keluarga, tujuan pasangan, tujuan anak-anak dan sebagainya. Tujuan mana yang lebih dulu untuk dicapai ? Disini mulai bercabang dan salah satu tujuan bisa melemah saat itu. Tidak bisa disalahkan bahwa tujuan hadir dan berkembang sesuai waktunya. Bahkan bisa jadi tujuan awal melemah dan berganti dengan tujuan lain.

Apa yang terjadi ? Tujuan itu sebaiknya mesti memiliki batas waktu pencapaiannya, terjadwal dan memiliki komitmen untuk mencapainya. Batas waktunya tidak terlalu lama, sebaiknya dalam rentang maksimal 1 bulan atau lebih sedikit oke saja. Bagaimana kalau 6 bulan atau 1 tahun ? Bisa juga, sesuai dengan besar kecilnya tujuan. Alangkah baiknya, tujuan itu dipecah menjadi beberapa tujuan kecil bertahap. Tujuan yang pendek memudahkan pikiran untuk meraihnya dan memberi semangat tambahan saat mendekati waktunya. Selanjutnya tujuan berikutnya menjadi menarik untuk diwujudkan. Ini adalah cara menyikapi saya tidak berubah-berubah terhadap tujuan yang berubah.

Tujuan bisa saja berubah sesuai waktunya. Saya bisa mengubah tujuan asal masih sejalan dan lebih baik. Yang terpenting adalah tujuan itu pasti untuk dicapai, jadi hindari untuk meninggalkan tujuan tersebut. Alangkah indahnya, saat saya memiliki tujuan dan tujuan itu saya sampaikan kepada Allah agar diberi rahmat lewat doa. Doa yang tidak memaksa untuk diizinkan (dikabulkan) atas tujuan saya. Kalimat yang pantas saya sampaikan kepada Allah untuk tidak mendikte tapi hanya menyampaikan apa yang saya alami, "Ya Allah hari ini saya memiliki tujuan membeli rumah, tujuan ini sesuai dengan apa yang saya rasakan penting bagi saya dan keluarga. Kalaulah tujuan ini Engkau rahmati, mampukan dan mudahkan jalan menuju tujuan itu. Tapi kalau tujuan ini belum Engkau rahmati dan belum baik bagi saya sekarang, maka sudilah Engkau yang Maha Penyayang dari yang paling sayang di bumi ini memberi saya yang lebih baik. Bimbing, arahkan dan mampukan saya untuk menjalaninya" Dalam doa ini saya berharap dengan tujuan saya, tapi saya tahu bahwa Allah Maha Tahu yang terbaik buat saya dan saya memohon petunjuk yang lebih baik buat saya. Tidak memaksa dikabulkan tapi berharap rahmat Allah untuk saya.




Demikianlah apa yang bisa saya bagikan untuk menghadapi tujuan yang suka berubah. Tujuan yang berubah tak perlu disesali, tapi perlu disikapi dengan ilmu yang lebih baik. Inilah kultum motivasi yang bisa menginspirasi saya untuk lebih baik, memberdayakan diri untuk jauh lebih baik.

Amunisi Semangat

 Kalau ditanya tentang amunisi, banyak orang menjawab berhubungan dengan senjata. Memang begitulah persepsi lama, tapi sekarang amunisi bisa berhubungan dengan apa saja. Kalau dalam tentara, amunisi senjata dan peluru sangat menentukan kelangsungan operasi ketentaraan. Tanpa amunisi yang cukup membuat operasi menjadi terhenti dan bisa jadi tidak berhasil. Atau amunisi disiapkan bila diperlukan, yang dikirim dengan sangat cepat dan tepat.

Hari ini saya bicara amunisi untuk mempertahankan semangat kerja atau aktivitas. Kok pakai amunisi segala ? Faktanya beberapa orang bisa bersemangat kerja mulai pagi hingga siang aja dan berikutnya semangat turun atau di awal beraktivitas/kerja masih memiliki semangat tinggi dan tak lama menurun. Yang sering terjadi adalah awal tahun membuat komitmen untuk perubahan untuk masa depan yang lebih baik, tapi bulan Maret atau Juni atau sekarang (Agustus), bagaimana semangat perubahannya ? Sepertinya kembali kepada rutinitas biasa. Masih ada sih keinginan, tapi semangat untuk menggerakkannya sudah melemah. Semua kejadian ini terus berlangsung seiring waktu, dan apa yang diinginkan tak tercapai. Ada beberapa orang yang masih bisa membangkitkan semangatnya dan terus menuju keinginannya.

Apa sih yang terjadi ? Inilah yang saya bilang semangat tanpa ilmu, berjalan menuju keinginan tanpa perbekalan sehingga tidak mudah bertahan. Misalnya seorang penulis, mesti memiliki perbekalan (amunisi) yang cukup seperti membaca buku, menambah wawasan dan sejenisnya. Anumisi ini penulis dapat menjadi bekal  untuk ditulis dan menambah semangat menulisnya. Ada kalanya amunisi penulis ini bisa mendobrak sikap mental negatif dalam menulis. Atau kalau saya karyawan untuk mencapai target kerja, maka perlu amunisi yang benar (dengan ilmu), yang bukan sekedar "paksaan" dari atasan atau pekerjaan itu sendiri. Amunisi yang bener itu adalah meningkatkan kemampuan dengan ilmu yang mengantarkan saya menjadi mudah dan cepat menyelesaikan pekerjaan. Kalau hal ini tidak saya lakukan, maka saya hanya mengandalkan tuntutan dari pekerjaan itu ... terpaksa, hasilnya bisa ada tapi tidak memberi kebaikan.

Salah satu yang mesti saya pikiran tentang amunisi saya yaitu semangat, ya semangat yang konsisten. Bisa jadi 95% orang tidak pernah memikirkan amunisi semangat, yang penting semangat dulu dan kerja. karena sikap inilah banyak dari mereka mengalami kemerosotan semangat dan akhirnya kerjanya menjadi apa adanya. Pak Ogah bilang,"mau semangat cepek dulu" atau "wani piro". Seolah semangat itu bisa dibeli dengan uang. Berarti kalau semangat itu dibangkitkan oleh uang, maka orang kayalah yang paling bersemangat. Apakah iya ? BUkankah uang itu benda mati, hanya kertas atau hanya imajinasi uang itu sendiri yang mendorong orang untuk berbuat banyak hal. Yang bener, si A yang hebat yang menjadi penutan saya telah menjadi inspirator atau penyemangat saya. Kalau saya tanya, si A bisa mengatakan sesuatu yang membuat saya semangat. Kalau saya ada masalah, si A bisa menjawab dan diajak komunikasi sehingga memberikan solusi untuk meneruskan semangat. Begitulah semestinya semangat dengan amunisi yang bener.

Tapi yang menjadi pertanyaan saya, saat si A lagi tidak semangat juga (bukankah si A sama seperti saya). Iya ya ? Terus amunisi seperti apa yang saya butuhkan. Amunisi semangat saya itu mesti mutlak kebenarannya sehingga membuat saya melakukan kerjanya yang terus-menerus. Lalu siapa yang bisa memberikan itu ? Sesuatu yang lebih hebat dari manusia, siapa dia ? Allah swt, Tuhan yang menciptakan manusia dan saya. Hal ini terjadi yang dapat membangkitkan keimanan saya, keyakinan penuh. Yang luar biasanya, Allah menghadirkan hati yang bersemangat, yang berilmu dan yang berenergi. Hanya keyakinan kepada Allah lah yang mampu terus menjaga semangat untuk menuju tujuan (yang benar).

Bersemangat itu tidak cukup, tapi butuh ilmu yang mengantarkan saya kepada semangat yang konsisten. Semangat mesti berilmu dengan merencanakannya :

1. Memiliki energi yang kuat untuk beraktivitas/kerja

2. Melemahkan hal yang menghambat saya untuk tidak bersemangat.

3. Mendorong untuk selalu menjadi semakin baik sehingga semakin berkembang.

4. Memberi keyakinan diri untuk meraih keinginan bersama Allah swt (amunisi saya).

Mau ? Tulisan ini terdapat dalam buku saya,"Semangat kerja yang konsisten". Dalam buku semangat kerja yang konsisten ini dibahas banyak hal tentang semangat, pendorongnya, dan menemukan semangat yang sebenarnya.


Insya Allah tulisan hari ini bisa menginspirasi untuk memotivasi diri. Saya menyebutkan kultum motivasi untuk memberdayakan diri. 




Kapan Ujian hidup ?

 Semangat pagi semuanya, Insya Allah sehat dan diberi kemampuan untuk beraktivitas hari ini. Hari ini saya menulis tentang Ujian hidup, memang agak terlalu luas dan saya memberi beberapa contoh sederhana. Ada yang bilang kalau ujian hidup sih setiap hari terjadi dan dalam setiap langkah kehidupan. Kalau memang setiap aktivitas saya itu adalah ujian, tapi mengapa saya mengulang hal yang sama ? Apakah saya tidak lulus ? atau masih terus mengikuti ujian ? atau saking rutinnya ujian itu membuat saya merasa tidak ujian.

Contoh sederhana, "Saya ingin tidak emosi atau sabar". Tanpa ada orang atau tidak banyak saya terlibat dalam berbagai aktivitas, maka menjadi sabar itu lebih mudah. karena tidak ada yang ganggu atau menguji ? Lulus nggak saya ? Ya, belum lulus karena tidak mengikuti ujian yang sesungguhnya. Ujian mulai berlangsung saat saya yang sabar untuk membuat ruangan selalu bersih, tiba-tiba ada orang yang membuang tissue sembarangan. Apa reaksi saya ? Saya mengerutkan dada dan dalam hati berkata, "kok nggak ngerti ya perilaku seperti itu tidak bener dan bikin emosi ?" Tak sampai disini, ada lanjutannya. Saya mesti menegur agar tidak terjadi lagi. Saya bilang dengan santun,"Mas, mohon tissuenya dibuang di tempat sampah dong". Dan dengan santun pula orang itu mengerjakannya. Selesai ? Ternyata tidak, emosi saya masih "membara". Dalam hati,"kok gitu aja. nggak ada minta maafnya". bahkan saya sudah menyimpan memori tentang orang itu yang sembrono. Ternyata sabar itu tidak perlu panjang, menyelesaikan masalah emosi saat itu juga dan menerima keadaan dengan ikhlas. Sabar menjadi tidak sabar karena perasaan selalu diikuti lagi dengan perasaan (prasangka yang belum tentu terjadi). hampir semua orang mengalami hal ini. "Sabar tapi belum sabar".

Ada berapa ratus kejadian setiap hari seperti hal di atas. Yang saya bayangkan adalah betapa lelahnya saya yang terkuras oleh energi emosi tadi yang begitu panjang sehingga tidak mudah untuk fokus beraktivitas/kerja. Dari sini ternyata sabar itu berhubungan dengan produktivitas, orang yang sabar memiliki fokus kerja yang bener dan sangat produktif. Salah satu penyebabnya adalah selalu mengandalkan akal sehat bahkan hati dan meminimalkan emosi. 

Berandai ruangan yang bersih tadi dikotori oleh sesuatu yang tidak saya lihat kejadiannya. Bagaimana sabarnya ? Apakah mencari penyebabnya ? atau Saya beranikan diri untuk membersihkannya tanpa perlu meneruskan penyebab kekotorannya. Artinya saya sudah menghentikan perasaan (tidak emosi) dan segera fokus kerja. Sama halnya dalam dunia kerja, ada bos marah-marah kepada saya atas kerja saya. Disinilah kesabaran saya diuji untuk meneruskan persoalan marah-marah bos itu menjadi panjang, yang berupa self talk dalam diri saya. Self talk itu tidak ada ujungnya karena bos tidak terlibat dalam self talk tersebut. Saat saya bertemu bos lagi, saya jadi bete. Begitulah ujian kesabaran itu terjadi. Buatlah diri saya untuk relax dan tenang dalam menghadapi segala hal. Mengapa mesti begitu ? Semua keadaan itu mendorong diri saya tidak terpancing emosional dan tetap terus berpikir akal sehat. Dengan akal sehat itu saya mengikuti ujian kesabaran dengan segera menyelesaikan masalah dengan tuntas dan cepat.

Perhatikan ... 

  1. Saya sering bete dalam kerja. Segera hentikan karena itu membuat saya tidak produktif, tidak sabar. 
  2. Saya sering malas kerja atau kerja apa adanya. Segera hentikan karena kemalasan itu membuat saya kerja yang menjadi lama (tidak produktif), ambil udara segar dan buatlah diri tenang agar oksigen (udara segar) memberi otak untuk berpikir akal sehat.
  3. Kalau kerja tidak beres-beres. Stop dan ambil waktu rehat, jadilah orang sabar yang memutuskan tercampurnya akal sehat dengan emosional (tidak fokus). Mulai berdiskusi atau bertanya kepada teman yang mahir dan bersegeralah untuk meneruskan pekerjaan sampai tuntas. 
  4. Dan banyak kejadian lain untuk menguji kesabaran saya, Ujian hidup.
kapan ujian hidup itu terjadi ? Untuk kesabaran, ujian itu terjadi saat saya tidak mampu mengendalikan emosi yang berkelanjutan. Stop emosional, dan segera relax untuk bisa berpikir akal sehat. 
Sabar bukan berarti tidak "marah" atau emosi, tapi bersegeralah untuk menghentikan kelanjutan perasaan dan menggantikannya dengan akal sehat. Akal sehat mendorong saya untuk berbuat baik, "Orang-orang sabar bersama Allah dan Allah itu dekat dengan orang yang berbuat baik". Iringi pula dengan doa untuk bersabar.
Insya Allah kultum motivasi ini dapat memberdayakan diri saya untuk menjadi produktif dalam kerja dan hidup ini. 

Tindakan negatif akibat respon tidak positif

 Judul di atas saya tulis setelah membaca dengan tenang tentang kisah Nabi Yunus as terhadap kaumnya. Apa yang terjadi ? Beginilah kisahnya,

Dan ingatlah kisah Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah, karena mereka berpaling dari dirinya dan tidak mau menerima ajaran Allah ketika ia berdakwah kepada mereka. Lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya karena sikapnya yang tidak sabar itu. Lalu ia naik perahu, namun beban perahu yang ditumpanginya terlalu berat sehingga harus ada seorang yang dilemparkan ke laut. Setelah diundi tiga kali, Nabi Yunus yang harus dilemparkan ke laut. Allah segera mendatangkan seekor ikan menelan beliau. Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, di dalam perut ikan, di dalam laut, dan pada malam hari dengan kesadaran, “Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim, karena aku marah meninggalkan kaum yang seharusnya dibimbing olehku.”



Kisah Nabi Yunus as tersebut banyak kemiripan dengan perjalanan hidup semua orang. Saya pernah kecewa karena respon tidak positif orang lain, lalu saya bisa tidak nyaman dan bertindak yang tidak positif lagi. Dapat musibah lagi ... Lalu semakin tidak nyaman. Solusinya adalah doa sepenuh hati dan mengakui apa yang saya lakukan semua itu adalah zalim terhadap diri sendiri, dan iringi dengan doa di atas.

Al Qur'an itu petunjuk bagi semua orang yang bertaqwa. Mau baca saja udah bagus, apalagi memahaminya. Tapi percuma dong kalau saya paham saja. Mari ikut mengamalkannya dan berbagi ke semua orang agar mendapatkan kebaikan untuk diri sendiri dan menjadi amal jariah.

Insya Allah kultum motivasi singkat untuk menginspirasi dan memberdayakan diri agar semakin produktif dalam hidup. 

Berkata baik itu buat diri sendiri

 Apa sih makna dari perkataan saya yang ucapkan ? Pertama adalah saya mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya saat itu. Misalkan dalam pikiran saya memikirkan "mau berbagi ilmu", maka perkataan saya adalah mengajak orang untuk ngobrol dan berdiskusi. Saya menyampaikan ilmunya. Ada kata,"Mas, tahu nggak tentang syukur ?" Saya mau berbagi nih dan seterusnya.

Untuk siapa sih ucapan yang saya sampaikan ? Untuk diri sendiri atau orang lain. Ucapan itu merupakan sesuatu yang saya keluarkan seringkali mengundang saya (membuat saya senang) untuk dinilai atau dihargai sama orang lain. Seperti memberi ilmu, memberi nasehat atau malah membimbing dan sebagainya. Kalau hal ini yang terjadi, maka saya bisa merasakan senang dan bisa juga merasakan tidak nyaman atas respon (nilai dari) orang lain. Porsi senangnya tidak melebihi dari yang tidak senang. Lalu jadi pertanyaan saya adalah buat apa dong saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tidak senang dan tidak nyaman ? Dari sini saya mulai berpikir ulang bahwa saya berkata baik dan sejenisnya adalah untuk saya sendiri.

Kok bisa saya berkata baik itu buat diri sendiri ? Kalau masih dalam pikiran, saya pun belum "mengamalkan apa yang saya yakini dalam pikiran". Maka saya mesti mengutarakannya agar saya memahaminya dengan benar. Apa yang ada dalam pikiran saya belum nyata, dan apa yang saya ucapkan menjadi nyata. Dimana nyatanya ? Ada feedback atas apa yang saya ucapkan, "kok jadi begini ?" atau "kayaknya saya salah ngucapin" dan sebagainya. Dan saya pun mendapatkan feedback dari orang lain, misalkan "Nggak begitu juga dan mesti dicek dulu bener atau nggaknya". Sebenarnya kedua feedback ini menjadi evaluasi untuk menyempurnakan ucapan saya (atau apa yang saya pikirkan). Jadi kedua feedback itu menjadi baik buat saya. 

Apa yang saya ucapkan menjadi nyata benernya, maka menambah keyakinan saya dalam berpikir. Tapi sebaliknya juga dapat mengkoreksi pikiran saya menjadi semakin bener. Biasanya feedback dari orang lain itu bisa bener, tapi saya cenderung sudah menilai orangnya yang kurang bener.

Apa sih yang saya rasakan saat ada feedback dari orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan saya ? Saya cenderung emosional dan tidak nyaman, sepertinya orang itu tidak menghargai saya. Penerimaan feedback orang lain dominan oleh emosional/perasaan bukan akal sehat sehingga saya tidak senang dan tidak nyaman. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu benar, maka ucapan saya dimaksudkan untuk menguji kebenaran ucapan saya. Dan orang lain yang saya ajak bicara mesti diacungi jempol dan ucapan terima kasih karena mau merespon dan tidak dibayar lagi.

Jangan pernah berpikir lagi bahwa ucapan saya adalah untuk orang lain. Untuk orang lain ? hanya dampaknya saja. Misalkan saya mengucapkan,"mas, jangan ke situ. Jalannya buntu". Makna pesan itu adalah saya pernah mengikuti jalan itu dan berharap orang lain tidak mengikutinya. Ada 2 kemungkinan yang terjadi orang itu mengikuti ucapan saya atau tidak mengikuti. Apapun yang dilakukan orang itu tidak menjadi penting buat saya. Pesan itu sudah membuat saya lebih baik.

Miliki buku Semangat kerja yang konsisten agar menjadi pribadi yang produktif.


Insya Allah saya mulai memahami bahwa ucapan saya adalah apa yang saya pikiran, dan apa yang saya pikirkan belum tentu bener (nyata baiknya). maka sampaikan untuk terus menguji dan memperbaiki menjadi semakin bener (nyata).



Featured post

Apa iya karyawan itu mesti nurut ?

  Judul ini saya ambil dari pengalaman memimpin sebuah team. Ada karyawan yang nurut dan ada yang "memberontak". Apakah keduanya a...